PART. 7 PERSIAPAN AKAD NIKAH

1324 Kata
Pulang kerja, tiba di rumah. Mia langsung mandi. Setelah mandi, mempersiapkan pakaian yang akan dibawa ke rumah Sean. Mia hanya membawa beberapa lembar pakaian saja. Karena ia pikir tidak akan lama menginap di sana. Setelah beberapa hari menginap, bisa pulang ke rumah. Tidak akan disentuh setiap waktu oleh Sean. Membayangkan dirinya akan disentuh oleh Sean, perasaannya jadi berdebar-debar. Hal ini juga dirasakan saat ia menikah dengan Fiki. Meski menikah karena dijodohkan. Fiki wajahnya ganteng, tubuhnya gagah, sehingga Mia tidak menolak. Tapi mereka hanya berjodoh setengah hari saja. Karena ketahuan kalau Fiki berselingkuh dengan ibu tirinya. Ibu tirinya, Wulan. Wanita usia tiga puluh lima tahun. Dua tahun menjadi ibu tirinya. Sampai ayahnya meninggal, beberapa bulan yang lalu, karena sakit. Hubungan dengan ibu tirinya tidak dekat. Mia mengikhlaskan ayahnya menikah lagi, karena ayahnya sudah lama menduda. Ditinggalkan pergi begitu saja oleh ibu kandungnya. Di saat usia Mia baru dua tahun. Ibunya tidak tahan lagi hidup di kampung. Mia tidak pernah mencari tahu tentang ibu kandungnya. Baginya, jika seorang ibu meninggalkan anaknya yang masih kecil. Itu artinya memang tidak ingin mengasuh dan mendidiknya. Tidak perlu dicari atau dikenang lagi. Karena diantara mereka tidak tersisa apapun. Mia tidak mengingat apa-apa tentang ibunya. Tidak ada foto ibunya di rumah. Mia juga tidak pernah menanyakan siapa nama ibunya. Baginya itu tidak penting, karena Mia yakin, bagi ibu kandungnya, dirinya juga tidak penting. Kalau dirinya penting, pasti ibunya akan mencari, dan berharap mendengar kabar tentang dirinya. Tapi ini tidak ada sama sekali. Mia tidak ingin mengingat lagi. Apalagi berharap untuk bertemu. Mia menganggap ibunya sudah mati. Mia sudah mempersiapkan semua barang yang ingin ia bawa ke rumah Sean ke dalam tas yang cukup besar. Mia sudah siap untuk dijemput. Setelah maghrib nanti akad nikah akan dilakukan. Karena Mia tidak mempunyai keluarga, jadi dipersiapkan wali hakim untuk wali nikahnya. Mia sudah pasrah apa yang akan terjadi pada dirinya. Menikah, lalu hamil, melahirkan, bercerai, dan harus melupakan sudah memiliki anak. Ini seperti karma pada dirinya. Karena dulu ibunya meninggalkannya, sekarang ia melakukan hal yang sama, hanya beda versi saja. Ibunya meninggalkan dirinya karena keinginan sendiri, sedang dirinya harus meninggalkan anak karena perjanjian nikah kontrak. Air mata menetes di pipi Mia. Sekuat apapun hatinya, rasa sedih itu hadir juga. Rasa sedih saat membayangkan akan terpisah dari anak yang dilahirkan. Apalagi Mia belum tahu seperti apa Sean. Di kantor Sean, jarang bicara jika tidak penting. Tidak segan meledak dan marah, saat ada sesuatu yang tidak sesuai dengan keinginannya. Karena itu Mia sangat berhati-hati saat membersihkan ruangan dan kamar mandi di ruangan Sean.. Wajahnya juga dingin tidak ramah. Itu suatu hal yang membuat Mia takut menjadi istri Sean. Takut kalau dirinya tidak sesuai harapan Sean. Meski yang Sean inginkan darinya adalah seorang anak. Bukan seorang istri. Terdengar ketukan di pintu. "Assalamualaikum. Mia!" Suara Sutris, sopir pribadi Sean memanggil. "Wa'alaikum salam." Mia segera membuka pintu. "Sudah siap?" Tanya Sutris. "Iya." Mia menganggukkan kepala. Mia menutup dan mengunci pintu. Lalu melangkah pergi dari rumah petaknya. Keadaan lingkungan rumah petak cukup ramai. "Mau ke mana, Mia?" Tanya salah satu tetangga rumah petaknya. "Mau jadi ART di rumah bos." Mia terpaksa menjawab berbohong. Karena tidak mungkin mengatakan, jadi istri kontrak bos. "Jadi kamu berhenti bekerja di kantor?" "Tidak. Siang bekerja di kantor, malam bekerja di rumah." "Bekerja apa malam?" "Mencuci dan menyetrika pakaian saja." "Oh. Semoga lancar terus rezeki kamu." "Aamiin. Saya permisi dulu. Assalamualaikum." "Waalaikumsalam." Mia sudah lega karena memberikan penjelasan kepada tetangganya. Ini dilakukan agar tidak ada pertanyaan kalau dia tidak pulang lama. Kontrakan rumah sudah dibayar untuk enam bulan. Uang itu tadinya dipinjam dari teman ayahnya, tapi sudah ia bayar lunas. Di dalam mobil ternyata ada Ibra. Mia masuk ke dalam mobil, dan duduk di jok belakang. "Selamat sore, Mia." Ibra menyapa Mia dengan suara lembut. "Selamat sore, Pak Ibra." Mia membalas sapaan Ibra. "Bagaimana? Apa sudah siap untuk malam ini?" Tanya Ibra ingin tahu bagaimana kesiapan Mia untuk akad nikah malam ini. Bagi Ibra, Mia harus kuat fisik dan mental. Karena ibra tahu bagaimana Sean saat bercinta. Sean pria yang agresif dalam bercinta meski tak banyak bicara. "Insya Allah." "Semoga lancar ya." "Aamiin." Di dalam perjalanan. "Deg-degan tidak Mia?" Ibra penasaran dengan apa yang dirasakan Mia saat ini. Seorang janda yang masih perawan, sudah pasti belum pernah berhubungan dengan lelaki di atas ranjang. "Namanya perawan ya pasti deg-degan." Mia menjawab seraya tertawa pelan. "Kamu tenang saja. Tuan Sean sudah pernah menikah. Jadi tahu apa yang harus dilakukan." Ibra membesarkan perasaan Mia agar jangan gugup. "Saya takut kalau Tuan Sean marah. Tuan Sean pemarah sekali kalau di kantor." Mia menyampaikan rasa cemas di hatinya. "Kalau kamu tidak berbuat kesalahan, dia tidak akan marah." "Takutnya kalau saya pikir yang saya lakukan benar, tapi Tuan Sean anggap salah."❤️ "Tidak usah terlalu dipikirkan. Lakukan saja apa yang menurut kamu benar. Jika dia marah cukup dengarkan saja, tidak usah dibantah. Sebentar juga marahnya reda." Perasaan Mia sedikit tenang mendengar apa yang Ibra katakan. Bagi Mia, Ibra terlihat berwibawa dan bijaksana. Seorang ayah impian bagi orang seperti dirinya. Mereka tiba di depan rumah. Pintu gerbang dibuka oleh satpam di rumah itu. Mobil parkir di depan rumah. Ibra dan Mia turun dari dalam mobil. "Ayo kita masuk." Ibra meminta Mia untuk mengikuti langkahnya. Mia melangkah di belakang Ibra dengan membawa tas sandang di bahu, dan tas berisi pakaian di tangan. "Selamat malam, Bu Mia." Tiga orang wanita, dan dua orang pria menyambut mereka. "Mia, kenalkan mereka adalah asisten rumah tangga di rumah ini. Ada tiga asisten rumah tangga wanita. Tiga orang asisten rumah tangga pria, merangkap supir. Ada tiga satpam yang bergiliran menjaga." Ibra menjelaskan semua orang yang bekerja di rumah itu. Totalnya ada sembilan orang. "Selamat sore, Bu Mia. Saya Dinah, ini Eli, ini Cici, ini Pardi, suami Eli. Ini Mamat, suami Cici. Suami saya Pak Sutris. Semoga Bu Mia betah di sini. Kalau ada yang diperlukan katakan saja kepada kami." Bik Dinah memperkenalkan asisten rumah tangga di rumah itu. Wajah Mereka tampak ramah, tersenyum dan menganggukkan kepala kepada Mia. Mia tenang karena merasa kedatangannya disambut dengan ramah tamah. "Terima kasih. Tolong jangan panggil saya Bu Mia. Cukup Mia saja." Mia merasa tidak enak dipanggil dengan sebutan Bu Mia, karena merasa dirinya juga setara dengan mereka semua. Sama-sama digaji oleh Sean. "Baik. Mari saya antar ke kamar." "Terima kasih." "Istirahat dulu sebentar Mia. Setelah maghrib akad nikah akan berlangsung. Beritahu Mia pakaian yang akan dipakai nanti." Ibra memberi perintah kepada Bik Dinah. Bik Dinah tampaknya pemimpin para ART di rumah Sean. "Baik, Pak Ibra. Mari." Bik Dinah mengantar Mia menuju kamar tempat Mia akan beristirahat. Pintu kamar dibuka, terlihat kamar yang cukup luas. Kamar yang lengkap perkakasnya. Ada kasur besar, lemari pakaian, lemari rias, kulkas di pojok kamar, rak kecil di samping kulkas. Bik Dinah membuka tirai. Terlihat taman indah di sebelah kamar. "Kalau ingin bersantai di teras kamar. Di sini pintunya. Itu pintu kamar mandi. Apa ingin dibantu menata pakaian ke dalam lemari?" Tanya Bik Dinah. "Tidak usah. Terima kasih banyak, Bik." Mia menggelengkan kepala. Pakaian yang dibawa hanya beberapa lembar saja. Tidak perlu bantuan untuk menata di dalam lemari. "Di kulkas sudah ada minuman. Barangkali ingin segera minum." Bik Dinah menunjuk kulkas yang ada di sana. "Iya terima kasih." "Saya permisi. Jika perlu sesuatu tekan saja bel di sana." Bik Dinah menunjuk bel yang ada di atas meja di samping tempat tidur. "Oh iya. Terima kasih." "Saya keluar dulu." "Silakan, Bik. Terima kasih banyak." "Oh saya lupa memberitahu, baju untuk akad nikah nanti." Bik Dinah berjalan menuju lemari tiga pintu. Terlihat baju panjang warna putih tergantung di dalam lemari. "Ini pakaian untuk akad nikah. Kalau Non Mia perlu bantuan untuk mengenakannya, tekan saja bel. Saya pasti akan datang membantu." "Terima kasih, Bik." "Saya pamit. Permisi." "Silakan." Bik Dinah keluar dari kamar di bawah tatapan Mia. Mia menutup pintu dan mengunci. Berada di ruangan, yang baru pertama kali ia masuki hatinya cukup tenang. Tidak ada rasa khawatir dalam hati Mia. Mia berharap semua akan berjalan lancar sesuai rencana. *
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN