25 - Berakhirnya hubungan Devina dan Benedick.

2511 Kata
Saat ini, Dean dan Devina masih dalam perjalanan menuju tempat di mana Devina akan belajar. "Kak Devian telepon." Devina memberi tahu Dean kalau Devian menghubunginya. "Angkat saja, Devina." Semalam sebelum tidur, Dean sudah menghubungi Devian, memberi tahu Devian kalau Devina akan menginap di rumah orang tuanya. Begitu tahu kalau Devina akan menginap di rumah orang tua Dean, Devian seketika berpikir jika adiknya tersebut sedang tidak baik-baik saja. Dean akhirnya memberi tahu Devian kalau Devina memang memiliki masalah, tapi Devina baik-baik saja, jadi Devian tidak perlu khawatir berlebih pada Devina. Setelah mendengar penjelasan dari Dean, Devian pun menjadi sedikit lebih tenang. Devian sama sekali tidak mempermasalahkan Devina yang mau menginap di rumah orang tua Dean. Devina mengangguk, menyetujui saran Dean. Devina lalu mengangkat panggilan dari Devian. "Halo, Kak." "Kamu di mana, Devina?" Devian mendengar suara bising, jadi Devian ingin tahu di mana posisi Devina saat ini. "Devina dalam perjalanan menuju kampus. Kakak sendiri di mana?" Devina balik bertanya setelah menjawab pertanyaan Devian. "Kamu kuliah?" Devian pikir hari ini Devina tidak akan kuliah. Tapi jika Devina kuliah, itu artinya Devina baik-baik saja, kan? "Iya lah kuliah. Kalau Devina tidak kuliah, pasti Daddy akan marah." Devina tak tahu alasan apa yang harus ia gunakan jika ia bolos kuliah hari ini. "Kakak belum jawab pertanyaan Devina, Kakak ada di mana?" "Kakak baru saja sampai di kampus." Devina sama sekali tidak terkejut begitu mendengar jawaban Devian. "Ya sudah, sebentar lagi Devina juga sampai kok." "Ok, Kakak tunggu kamu di sini." Devina kembali menaruh ponselnya ke dalam tas. Devina lalu menatap Dean yang fokus menyetir. "Jadi, sejak kapan Om tahu kalau Benedick adalah pria b******k?" tanyanya sambil bersedekap. Pertanyaan yang Devina ajukan mengejutkan Dean. Dean pikir, sepanjang perjalanan menuju kampus, Devina hanya akan diam, tidak mengatakan apapun, apalagi membahas tentang Benedick. "Sejak pertama kali melihatnya." Dean menjawab jujur pertanyaan Devina. Sejak pertama kali melihat Benedick, Dean sudah memiliki perasaan jika Benedick bukanlah pria baik-baik. Hanya saja, saat itu Dean masih berharap kalau firasatnya salah. "Om tahu kalau Benedick adalah pria b******k sejak pertama kali melihatnya?" Ulang Devina memperjelas, kali ini menatap Dean dengan mata melotot. Devina sama sekali tidak menyangka jika ternyata Dean sudah tahu tentang kebrengsekan Benedick sejak pertama kali melihatnya. Dean mengangguk. "Iya." "Kenapa tidak bilang sejak saat itu kalau Benedick bukan pria baik-baik?" Pekik Devina emosi. "Apa kamu akan percaya pada ucapan saya?" Dean menyahut ketus. "Kemarin saja kamu menolak percaya kalau kekasih kamu itu adalah pria b******k, padahal jelas-jelas ada banyak sekali buktinya," lanjutnya ketus. Devina merenggut, marah pada dirinya sendiri karena sempat meragukan semua bukti yang kemarin Dean berikan padanya. Apa yang barusan Dean katakan memang benar, jadi sekarang, Devina tidak lagi menyalahkan Dean, tapi mulai menyalahkan dirinya sendiri. Sebenarnya sampai saat ini Devina masih tidak percaya jika ternyata selama ini Benedick membohonginya habis-habisan. "Astaga Devina! Kenapa kamu sangat bodoh?" Umpat Devina pada dirinya sendiri. "Akhirnya kamu sadar juga kalau kamu itu bodoh." Dengan santainya, Dean menanggapi ucapan Devina. "Sialan!" umpat Devina sambil memijat keningnya yang terasa sangat pusing. "Kamu mengumpati saya, Devina?" "Tentu saja bukan." Dengan cepat, Devina memberi bantahan. "Lalu siapa yang kamu umpati?" "Tentu saja Benedick." Devina menyahut kesal. Devina tak habis pikir, bisa-bisanya Dean berpikir jika dirinya mengumpati pria itu. Padahal seharusnya Dean tahu jika dirinya baru saja mengumpati Benedick, bukan Dean. "Oh," ucap lirih Dean dengan perasaan lega. Devina memutar jengah matanya. "Apa yang selanjutnya akan kamu lakukan Devina?" Dean ingin tahu, langkah apa yang akan Devina ambil selanjutnya. "Tentu saja mengakhiri hubungan dengan Benedick." Devina sudah tidak sabar untuk bertemu dengan Benedick. Devina ingin segera bertemu Benedick bukan karena Devina merindukan pria b******k itu, tapi karena Devina sudah tidak sabar ingin segera mengakhiri hubungannya dengan Benedick. "Dia pasti akan sangat terkejut." Dean jadi ingin melihat bagaimana reaksi Benedick saat nanti Devina memutuskannya. "Bukan hanya dia yang akan terkejut, tapi Carlos dan Krystal juga akan sama terkejutnya dengan Benedick." Devina akan memutuskan Benedick tepat di depan Carlos dan Krystal. Dean mengangguk, menyetujui ucapan Devina. 5 menit kemudian, Dean dan Devina sampai di tempat yang mereka tuju. Mobil yang Dean kemudikan sudah memasuki tempat parkir. "Kapan kamu akan menemui mereka semua?" Dean ingin tahu, karena Dean ingin melihat langsung ketika Devina memutuskan Benedick di depan Carlos dan Krystal. "Nanti setelah kelas selesai, dan kita akan bertemu di sini, di tempat parkir." Devina tidak mau bertemu di tempat lain. Menurut Devina, tempat parkir adalah tempat terbaik. Nanti setelah memutuskan Benedick, Devina bisa langsung memasuki mobil, dan pergi meninggalkan mereka semua. "Baiklah." Devina pergi memasuki kampus, sementara Dean tetap berada di dalam mobil. Hari ini, Han dan Arion tidak menemani Dean untuk mengawal Devina. Dean meminta keduanya untuk istirahat. Waktu istirahat yang Dean berikan, Han dan Arion gunakan untuk pulang, menjenguk keluarga mereka. *** Saat ini, Dean menunggu di dalam mobil, sementara posisi Devina sekarang berada tak jauh dari mobil. Devina masih menunggu kedatangan Benedick, Carlos, dan Krystal. "Kenapa mereka lama sekali?" Untuk kesekian kalinya Devina mengeluh. Devina terus berjalan mondar-mandir ke sana ke mari sambil menatap jam yang melingkari pergelangan tangan kirinya. "Devina!" Devina berhenti melangkah begitu mendengar teriakan dari Krystal. Devina menoleh ke samping kanan, saat itulah Devina melihat kedatangan Krystal. Krystal tidak sendiri, tapi bersama dengan Benedick, dan Carlos yang berjalan tepat di belakangnya. Krystal berlari mendekati Devina, sementara Benedick dan Carlos berjalan santai. Devina berbalik menghadap ketiganya yang kini sudah berdiri tepat di hadapannya. "Bagaimana kalau kita pergi makan siang ke restoran yang biasa kita datangi?" Devina sama sekali tidak terkejut dengan usul yang baru saja Krystal berikan. Devina sudah menduganya, karena memang selalu seperti itu. "Kenapa gue baru sadar kalau selama ini mereka hanya memanfaatkan gue?" keluh Devina dalam hati. "Ayo." Carloslah yang menyahut. "Kalian bisa pergi nanti setelah gue selesai bicara." Devina akhirnya bersuara. Nada bicara Devina yang dingin, disadari oleh Benedick, Carlos, juga Krystal. Ketiganya menatap Devina yang ternyata saat ini memasang raut wajah tak bersahabat, tampak sangat datar, tidak sehangat biasanya. "Sayang, kamu kenapa? Apa kamu ada masalah?" Benedick akan menyentuh bahu Devina, tapi Devina menghindar dengan cara mundur menjauhi Benedick. Devina tidak akan menepis tangan Benedick. Devina tidak mau bersentuhan dengan Benedick walau hanya itu hanya dibagian tangan. Apa yang Devina lakukan bukan hanya mengejutkan Benedick, tapi juga mengejutkan Carlos dan Krystal. Keduanya saling pandang dengan raut wajah yang sama-sama bingung. "Sayang, kamu kenapa sih?" Benedick menatap bingung Devina. "Gue cuma mau bilang kalau gue mau mengakhiri hubungan gue sama lo." Devina tidak mau lagi menyebut nama Benedick, karena baginya, nama Benedick sudah tidak lagi pantas untuk ia ucapkan. Benedick melotot, terlalu terkejut dengan apa yang Devina katakan. Bukan hanya Benedick yang terkejut, tapi Carlos dan Krystal juga sama-sama terkejut. Keduanya sama sekali tidak menyangka jika Devina akan mengakhiri hubungannya dengan Benedick. Menurut mereka, ini semua terlalu mendadak. "Kenapa tiba-tiba kamu mengakhiri hubungan kita, Sayang?" "Mulai saat ini, hubungan diantara kita berdua sudah resmi berakhir." Tanpa menunggu tanggapan dari Benedick, Devina berlalu pergi menuju mobilnya. "Devina, tunggu dulu!" Teriak Benedick sambil berlari mengejar Devina. Devina tidak memberi tahu Benedick apa alasan Devina mengakhiri hubungan mereka, jadi Benedick penasaran, dan ingin tahu apa alasannya. Dean mendengus ketika melihat Benedick berlari mengejar Devina. Dean bergegas keluar dari mobil, lalu menghalangi Benedick yang hampir saja menggapai Devina. Benedick menatap tajam Dean, tapi Dean membalas tatapan Benedick dengan tak kalah tajamnya. Dean sama sekali tidak takut dengan tatapan tajam Benedick. "Minggir lo!" Benedick mencoba lolos dari Dean, tapi Dean terus menghalanginya. Ketika Benedick bergeser ke kanan, maka Dean akan mengikutinya. "Gue bilang minggir!" Teriak Benedick pada akhirnya. "Maaf, tapi gue enggak akan biarin lo mendekati Devina lagi." Balas tegas Dean. Dean menoleh, bernafas lega ketika melihat Devina sudah memasuki mobil. Benedick mendorong Dean, dan Dean balas mendorong Benedick, jauh lebih kuat dari dorongan yang sudah Benedick berikan. "Sialan lo!" Umpat Benedick yang hampir saja jatuh terjungkal. Untung saja ada Carlos yang dengan sigap menahan tubuh Benedick, jika tidak ada Carlos, pasti Benedick sudah jatuh tersungkur. Dean melangkah mendekati Benedick yang juga melangkah mendekati Dean. "Alangkah baiknya kalau lo menerima keputusan Devina, Benedick," ucap Dean sambil tersenyum mengejek. "Sayangnya gue enggak bisa menerima keputusan Devina," sahut tegas Benedick. Kekesalan Benedick semakin bertambah besar ketika mendengar ucapan Dean. Itu artinya, Dean tahu kalau Devina akan memutuskannya jauh sebelum Devina bertemu dengannya. "Sebaiknya lo sadar diri kalau lo itu sama sekali enggak pantas untuk Devina." Dean menyerahkan amplop yang ada di tangan kanannya pada Benedick. "Apa itu?" Benedick menatap bingung Dean. "Lo akan tahu setelah lo melihatnya sendiri." Dean tidak akan memberi tahu apa isi dari amplop tersebut. Dengan perasaan ragu, Benedick menerima amplop tersebut. Dean mendekatkan wajahnya pada telinga kanan Benedick. "Kalau bisa, jangan sampai menangis ya." Setelah membisikkan kata-kata yang tentu saja membuat Benedick bingung, Dean pergi meninggalkan Benedick. Dean kembali ke mobil, lalu melajukan mobil tersebut keluar dari area parkir. Carlos dan Krystal yang sejak tadi berdiri di belakang Benedick langsung mendekati Benedick. "Itu apa?" tanya Krystal sambil menunjuk amplop yang saat ini Benedick pegang. "Gue enggak tahu apa isinya." Benedick menjawab jujur pertanyaan Krystal. "Coba buka." Carlos ingin tahu apa isi dari amplop tersebut. "Iya, ayo buka." Bukan hanya Carlos yang penasaran, Krystal juga penasaran dengan isinya. Dengan tidak sabaran, Benedick membuka amplop tersebut, lalu mengeluarkan isinya. Benedick membaca secara seksama isi dari kertas-kertas yang baru saja ia keluarkan dari dalam amplop, begitu juga dengan Carlos dan Krystal. "s**t!" Umpat Benedick secara spontan. Benedick terkejut, begitu juga dengan Carlos dan Krystal. "Bagaimana mungkin mereka tahu kalau kita menggunakan obat-obatan terlarang?" gumam Carlos penuh kebingungan. "Apa kita pernah melakukan tes?" Secara bergantian, Krystal menatap Carlos dan Benedick. Kedua pria tersebut menggeleng. "Lalu bagaimana cara mereka mendapatkan sampel untuk melakukan tes tersebut?" "Entahlah," balas Benedick yang juga sama bingungnya dengan Carlos juga Krystal. "Apa hanya ini isi dari amplopnya?" Krystal yakin jika ini bukan satu-satunya alasan Devina memutuskan Benedick. Krystal yakin, ada alasan lain kenapa Devina mengakhiri hubungan asmaranya dengan Benedick. "Sepertinya masih ada lagi," gumam Benedick sambil merogoh amplop tersebut. "s**t!" Benedick kembali mengumpat, kali ini bukan hanya sekali, tapi berkali-kali. "f**k!" Teriak Benedick sambil meremas kuat rambutnya, lalu foto-foto yang di pegangnya pun jatuh berserakan di bawah. Benedick benar-benat tak menyangka jika kejadian tadi malam, saat dirinya pergi bersama Amanda, dilihat secara langsung oleh Devina, bahkan ketika dirinya dan Amanda melakukan hubungan intim di dalam mobil, Devina juga melihatnya. Krystal berjongkok, meraih semua lembaran foto Benedick dan Amanda yang kini berserakan. "Pantas saja Devina memutuskan untuk mengakhiri hubungannya sama lo, ternyata dia sudah tahu bagaimana kelakuan lo yang sebenarnya." Carlos ikut berjongkok, meringis saat melihat foto Benedick dan Amanda yang sedang berhubungan intim di dalam mobil. Seperti biasa, Benedick sangat ceroboh. "Sialan! Sekarang apa yang harus gue lakukan?" Benedick seketika merasa sangat frustasi. Benedick baru saja kehilangan Devina, itu artinya, Benedick baru saja kehilangan sumber keuangannya. Selama ini, Benedick bisa berfoya-foya, pergi ke klub mewah, lalu membeli minuman beralkohol, sekaligus membeli banyak obat-obatan terlarang itu karena uang dari Devina. Sekarang hubungannya dengan Devina sudah berakhir, itu artinya, sumber keuangannya pun hilang. "Lo enggak mungkin bisa balik lagi sama Devina, Ben." Krystal yakin 100% jika Devina tidak akan pernah mau lagi kembali pada Benedick. Jangankan untuk kembali bersama Benedick, mungkin saat ini, melihat Benedick saja Devina juga tidak mau. Krystal tahu, Devina pasti sangat kecewa pada Benedick. Devina bukan hanya kecewa, tapi mungkin sangat membenci Benedick, Carlos, juga dirinya. "Sialan!" Benedick terus berteriak, dan teriakan Benedick menarik perhatian dari orang-orang yang saat ini memenuhi tempat parkir. "Sebaiknya kita bahas masalah ini di mobil." Carlos tidak mau menarik perhatian dari orang-orang di sekitarnya, jadi Carlos segera membawa Benedick pergi ke mobil. Setelah memastikan jika tidak ada foto-foto yang berserakan di bawah, Krystal menyusul Carlos dan Benedick. Sesampainya di dalam mobil, Benedick mulai mengamuk. Amukan Benedick membuat Krystal ketakutan, jadi Krystal memutuskan untuk keluar dari mobil, dan pulang menggunakan taksi, sementara Carlos memutuskan untuk tetap menemani Benedick. Jika saat ini Benedick tampak frustasi, maka lain halnya dengan Devina. Sesekali, Dean melirik Devina yang sejak masuk ke dalam mobil hanya diam membisu. Dean pikir, Devina akan menangis, sedih karena hubungannya dengan Benedick sudah berakhir, tapi ternyata apa yang Dean pikirkan atau bayangkan sama sekali tidak terjadi. "Kamu tidak menangis, Devina?" Dean tidak bisa menahan rasa penasarannya, jadi Dean memutuskan untuk bertanya, dari pada terus-menerus merasa penasaran. Devina menoleh ke arah Dean sambil memasang raut wajah bingung. "Apa Om mau aku terus-menerus menangis?" tanyanya ketus. Dengan cepat, Dean menggeleng. "Tentu saja tidak!" "Lalu apa?" Nada bicara Devina kali ini jauh lebih ketus dari sebelumnya. "Kamu tidak sedih karena hubungan kamu dengan Benedick sudah berakhir?" Dean membalas pertanyaan Devina dengan pertanyaan. "Bukankah aku seharusnya bahagia karena lepas dari pria b******k seperti dia?" Dan Devina balik bertanya tanpa menjawab pertanyaan Dean. "Iya, sih," jawab Dean sambil menggaruk tengkuknya yang sejujurnya tidak terasa gatal sama sekali. "Ya sudah, lalu kenapa aku harus menangis atau sedih?" Devina kembali menatap lurus ke depan. Sebenarnya Devina sedih, tapi sedih bukan karena hubungannya dengan Benedick berakhir, tapi sedih karena dirinya begitu bodoh sampai tidak sadar jika Benedick, Carlos, dan Krystal hanya memanfaatkannya. Dean diam, tidak lagi menanggapi ucapan Devina. Dean tiba-tiba tidak tahu apa yang harus ia katakan lagi pada Devina. "Kangen Mommy," ucap Devina setelah cukup lama terdiam. "Kamu hanya tinggal menghubunginya Devina." Devina bergegas meraih ponselnya, lalu menghubungi Brianna. "Mommy!" Devina berteriak, terlalu senang begitu Brianna mengangkat panggilannya. Dean terkejut ketika mendengar teriakan Devina, tapi tak lama kemudian, Dean tersenyum. "Kamu di mana, Sayang?" "Devina dalam perjalanan pulang ke mansion, Mom. Kapan Mommy dan Daddy akan pulang?" Devina sudah sangat merindukan kedua orang tuanya, terutama Brianna. "Sebentar lagi ya, Sayang." "Mommy tidak mau pulang, Devina!" Teriak Brian. Brianna meloudspeaker panggilannya dengan Devina, jadi Brian bisa mendengar pertanyaan Devina. "Bohong!" Devina menyahut ketus. "Mommy bilang kalau Mommy betah berada di Indonesia. Katanya, Mommy mau menetap di sini, Devina." Brian kembali bersuara. "Daddy bohong!" Devina tidak akan percaya begitu saja pada ucapan Brian. "Daddy sama sekali tidak berbohong, Devina. Kalau kamu tidak percaya, kamu tanya saja sama Mommy." "Mommy, Daddy berbohong kan?" "Sayangnya, apa yang Daddy katakan benar, Sayang. Mommy betah berada di sini, dan Mommy ingin sekali menetap di Indonesia." Sayangnya, jawaban yang Brianna berikan tidak sesuai harapan Devina. Devina berharap kalau Brianna akan memberi bantahan, tapi ternyata Brianna malah membenarkan semua ucapan Brian. "Ih Mommy," keluh Devina kesal. Jika Devina merajuk, maka lain halnya dengan Brian yang malah tertawa terbahak-bahak. "Kan sudah Daddy bilang kalau Mommy mau menetap di Indonesia." "Kalau Daddy sama Mommy enggak pulang ke sini, Devina sama Kak Devian mau menyusul ke sana." "Emangnya kamu tahu di mana posisi Daddy dan Mommy?" "Enggak tahu, tapi kan Devina bisa minta tolong sama Om Lucas. Om Lucas pasti tahu di mana posisi Daddy dan Mommy." "Itu namanya curang, Devina," sahut Brian yang seketika kesal begitu mendengar jawaban Devina. "Biarin!" "Mommy dan Daddy pasti akan pulang setelah urusan kita di sini selesai, Sayang." Brianna mencoba menenangkan Devina yang sepertinya mulai berpikir jika dirinya benar-benar akan menetap di Indonesia. Dean tersenyum tipis saat mendengar pembicaraan antara Devina dengan kedua orang tuanya. Dean senang karena ketakutannya tidak terjadi. Padahal tadi Dean sudah berpikir jika Devina akan menangis tersedu-sedu. Tapi lihatlah sekarang, Devina malah terlihat sangat bahagia.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN