Tengah malam, tepatnya pada pukul 1 dini hari, Devina terbangun.
"Lapar," keluh Devina sambil terus mengusap perutnya yang mulai berbunyi.
Alasan Devina bangun karena Devina merasa sangat lapar. Devina sudah mencoba untuk menahan rasa laparnya, lalu mencoba untuk tidur lagi, tapi ternyata tidak bisa. Sekarang Devina yakin jika ia tidak akan bisa tidur jika belum makan.
"Om Dean sudah tidur atau belum ya?" Devina berharap kalau Dean tiba-tiba memeriksanya, tapi Devina tahu jika kemungkinan tersebut sangatlah kecil.
Setelah cukup lama berpikir, Devina memutuskan untuk keluar dari kamar.
Devina akan pergi ke dapur untuk melihat, adakah makanan yang tersisa. Devina berharap akan ada makanan yang tersisa meskipun hanya sedikit, setidaknya ia bisa mengganjal perutnya.
Devina sudah berada di luar kamar. Devina menatap ke kanan dan kiri, menghela nafas panjang ketika suasana di sekitarnya sangat terang, tidak gelap.
"Ternyata tidak semenakutkan yang gue bayangkan," gumam Devina. Awalnya Devina berpikir jika penerangan di sekitarya akan tampak remang-remang, tapi ternyata tidak.
"Tapi dapurnya di sebelah mana ya?" gumam Devina bingung.
Devina baru pertama kali ini mengunjungi kediaman orang tua Dean, jadi Devina belum tahu seluk beluk rumah tersebut.
Devina terus melangkah, mencoba menebak di mana letak dapur atau ruang makan.
Tanpa Devina sadari, ada orang yang mengikutinya dari arah belakang, dan orang tersebut adalah Dean.
"Devina."
"Akh!" Devina sontak menjerit, terlalu terkejut begitu mendengar suara Dean memanggilnya sekaligus juga menepuk ringan bahu kanannya.
Dengan gerakan cepat, Dean membekap mulut Devina menggunakan telapak tangan kanannya. "Jangan teriak-teriak, Devina! Nanti yang lain pada bangun!" bisik Dean tepat di telinga kanan Devina.
Devina mengangguk.
Dean melepas bekapan tangannya dari mulut Devina, lalu mundur beberapa langkah, menjaga jarak dengan Devina.
Devina berbalik menghadap Dean. "Ternyata beneran Om Dean," gumamnya dengan perasaan lega.
"Tentu saja ini saya. Kamu pikir siapa yang menyapa kamu? Hantu?" tanya ketus Dean diakhir kalimatnya.
Dengan polosnya, Devina mengangguk. "Iya. Aku pikir hantu, makanya tadi aku teriak."
"Heh, dasar menyebalkan," gerutu Dean sambil menjitak pelan kepala Devina.
"Ih, sakit tahu!" keluh Devina sambil mengusap kepalanya yang baru saja Dean jitak.
"Kamu bangun karena lapar, kan? Ayo kita pergi makan." Dean mengabaikan keluhan Devina. Dean berlalu pergi menuju ruang makan, diikuti oleh Devina yang berjalan di belakangnya.
Jika Devina bangun karena lapar, maka Dean bangun karena tahu kalau Devina pasti akan bangun.
Sekarang, Dean dan Devina sudah berada di ruang makan yang terhubung secara langsung dengan dapur.
Devina duduk di kursi, sementara Dean sedang memeriksa isi kulkas.
"Kok Om tahu kalau aku bangun karena lapar?"
"Tentu saja tahu. Tadi kita tidak makan malam, dan tadi, kamu juga menangis cukup lama. Menangis itu menguras banyak tenaga, jadi pasti sekarang ini kamu sangat lapar."
"Om benar, menangis itu menguras banyak sekali tenaga," gumam Devina sambil tersenyum masam.
Dean mulai membuka kulkas untuk melihat, makanan apa yang ada di dalam kulkas, atau bahan makanan apa yang bisa ia masak untuk Devina.
"Ada pasta," gumam Dean. Tanpa sadar, Dean mulai menyebutkan satu-persatu bahan makanan yang ada di dalam kulkas.
Entah Devina sadar atau tidak, tapi saat ini Devina memperhatikan setiap gerak-gerik Dean secara seksama.
"Devina, kamu mau makan apa?" Dean menoleh, saat itulah Dean menangkap basah Devina yang ternyata sedang memperhatikannya.
Dean menaikan salah satu alisnya, saat itulah Devina akhirnya sadar jika Dean baru saja menangkap basah dirinya.
Devina salah tingkah, malu karena tertangkap basah sedang memperhatikan Dean. Devina menundukkan wajahnya, tidak berani menatap Dean yang terus menatap lekat dirinya.
Dean tersenyum tipis, merasa sangat gemas ketika melihat Devina yang malu-malu.
"Jadi, kamu mau makan apa, Devina?" Dean bersandar di kulkas dengan kedua tangan yang kini bersedekap.
"Terserah, Om aja." Devina tidak mau merepotkan Dean jadi Devina membiarkan Dean yang memilih makanan apa yang malam ini akan ia konsumsi.
Devina yakin, Dean pasti sudah tahu daftar makanan apa saja yang ia suka dan tidak ia sukai.
"Apa kamu mau Spaghetti?"
Devina mengangguk sambil mendongak. "Mau, Om."
"Tunggu sebentar, ok."
"Ok."
Dean mulai membuat spaghetti pesanan Devina, sementara Devina duduk manis di kursi sambil terus memperhatikan Dean yang sedang memasak.
Posisi Dean membelakangi Devina, tapi Dean tahu jika saat ini Devina sedang memperhatikannya. Dean bisa merasakannya. Dean memang terlihat santai, tapi sebenarnya Dean merasa sangat gugup.
Tak sampai 10 menit kemudian, spaghetti pesanan Devina sudah jadi.
Setelah menata makanan tersebut di piring, Dean menyajikannya pada Devina.
"Silakan dinikmati, Devina," ucapnya sambil tersenyum lebar. Dean merasa puas dengan spaghetti buatannya.
"Om enggak mau?" Hanya ada 1 piring spaghetti, jadi Devina berpikir jika spaghetti tersebut hanya untuknya saja.
"Om masih kenyang, Devina." Dean tidak lapar karena tadi sebelum tidur, Dean sudah makan roti dan 1 gelas s**u cokelat.
"Jadi ini hanya untuk aku?" tanya Devina sambil menunjuk dirinya sendiri.
"Iya, makanlah."
"Terima kasih banyak, Om."
"Sama-sama, Devina."
Devina mulai menikmati makanannya, sementara Dean memilih untuk membuat kopi.
Waktu yang Devina butuhkan untuk menghabiskan semua makanannya tak lebih dari 10 menit.
Devina sangat lapar, jadi Devina bisa dengan cepat menghabiskan makanannya.
"Masih lapar?" Jika Devina masih lapar, maka Dean akan kembali memasak makanan untuk Devina.
"Devina sudah kenyang, Om." Devina akan membawa piring bekas makannya ke dapur untuk ia cuci, tapi Dean melarang Devina melakukan hal tersebut, lalu Dean mengambil piring bekas Devina.
Apa yang Dean lakukan memang sederhana, tapi itu sudah mampu membuat perasaan Devina bahagia.
"Mau lanjut tidur lagi?" tanya Dean yang sekarang sudah berdiri di hadapan Devina.
"Iya, tapi nanti, enggak sekarang juga." Saat ini, makanan yang baru saja masuk ke dalam perutnya belum di cerna dengan baik, jadi Devina tidak bisa langsung tidur.
"Ya sudah, kita kembali ke kamar sekarang juga."
"Ok."
Dean dan Devina kembali ke kamar masing-masing.
Sekarang, Devina bisa tidur pulas, begitu juga dengan Dean.
***
Saat memasuki ruang makan, Dean melihat Sofia yang sedang sibuk menata alat makan di meja.
Kedatangan Dean disadari oleh Sofia.
Sofia menoleh, tersenyum lebar pada Dean. "Hai, Dean."
"Hai, Mom."
"Mana Devina?" Sofia pikir, Dean datang bersama dengan Devina, tapi ternyata Dean datang sendiri.
"Devina masih di kamarnya, Mom." Sebelum pergi ke ruang makan, Dean sudah terlebih dahulu memeriksa kamar Devina, dan saat Dean menerobos memasuki kamar Devina, ternyata Devina sedang berada di kamar mandi.
Tadi Dean memang terpaksa menerobos memasuki kamar Devina karena Devina yang tidak kunjung menyahuti panggilannya.
Awalnya Dean berpikir jika sudah terjadi sesuatu yang buruk pada Devina. Dean takut jika Devina mencoba untuk bunuh diri, tapi ternyata Devina tidak menyahut panggilannya karena saat itu Devina sedang berada di dalam kamar mandi.
Tak lama setelah kedatangan Dean, datanglah Emily.
"Selamat pagi semuanya!" Dengan penuh semangat, Emily menyapa Sofia dan Dean.
"Selamat pagi juga, Sayang." Hanya Sofia yang membalas sapaan Emily.
Emily menghampiri Sofia, seperti biasa, mengecup pipi kanan dan kiri dari wanita yang sudah melahirkannya tersebut. Setelah menyapa Sofia, barulah Emily beralih pada Dean.
"Selamat pagi, Kak."
"Pagi." Dean membalas singkat sapaan Emily.
"Devina mana, Kak?"
"Dia masih di kamarnya. Sebentar lagi dia juga datang kok."
Ucapan Dean terbukti benar. Selang beberapa menit kemudian, Devina datang.
"Selamat pagi, semuanya." Devina mencoba santai, tapi ternyata tidak bisa.
"Selamat pagi, Devina." Sofia dan Emily membalas kompak sapaan Devina. Sedangkan Dean hanya diam, fokus pada ponselnya.
"Duduk sini, Devina." Emily menarik kursi di sampingnya, meminta Devina duduk di sana.
Sikap hangat Emily pada Devina membuat Dean senang. Padahal pada awalnya, Dean takut jika Emily tidak menyukai Devina, dan akan bersikap dingin atau bahkan tak peduli pada Devina.
Sama seperti Dean, Sofia juga senang saat melihat Emily bersikap hangat pada Devina.
Dengan perasaan ragu, Devina mendekati Emily, duduk di kursi yang ada di samping kanan Emily.
"Sekarang semuanya sudah berkumpul, jadi mari kita sarapan," ucap Sofia sambil menatap Dean, Emily, dan Devina.
"Maaf ya, Sayang, sarapan hari ini hanya roti bakar."
"Itu sama sekali enggak masalah, Tante."
Sarapan pun dimulai.
"Devina, hari ini kamu mau ke mana?"
"Devina harus kuliah, Emily."
Emily bertanya pada Devina, tapi Deanlah yang menjawab pertanyaan Emily.
"Emily bertanya pada Devina, bukan sama Kakak," balas ketus Emily sambil memutar jengah kedua bola matanya.
"Toh jawabannya akan sama saja, Emily." Dean menyahut santai ucapan ketus Emily.
"Hari ini aku kuliah, Emily." Devina yang sejak tadi diam akhirnya bersuara. Devina tidak mau Dean dan Emily terus berdebat karena dirinya.
Jawaban Devina membuat Emily seketika merasa sedih. "Yah, aku pikir hari ini kamu tidak kuliah."
Tadinya Emily berencana untuk mengajak Devina jalan-jalan, tapi karena Devina akan pergi kuliah, Emily terpaksa membatalkannya.
"Apa besok kamu libur, Emily?"
Emily menjawab pertanyaan Dean dengan anggukan kepala.
"Besok, Devina juga libur kuliah, kalau kamu mau mengajak Devina jalan-jalan, besok saja. Tapi, itupun kalau Devina mau." Dean tahu kalau Emily berniat mengajak Devina untuk jalan-jalan.
Raut wajah Emily yang awalnya terlihat sangat sedih berubah menjadi kembali ceria. Dengan cepat, Emily menoleh pada Devina.
"Bagaimana? Apa kamu mau jalan-jalan sama aku?" tanyanya antusias.
Devina melirik Dean yang ternyata sedang menatapnya juga. Dean mengangguk pelan, dan setelah itu, raut wajah Devina pun berubah menjadi sama cerianya dengan Emily.
"Tentu saja aku mau." Devina sudah mendapat izin dari Dean untuk pergi jalan-jalan, jadi Devina tidak akan menolak ajakan Emily.
Devina memang butuh jalan-jalan, dan sepertinya, jalan-jalan bersama dengan Emily adalah pilihan yang sangat bagus.
Seusai sarapan, Dean mengantar Devina untuk pergi kuliah.