Part 8

1758 Kata
Semua yang telah ia perjuangkan sepertinya akan sia-sia. Perkataan yang belum lama ia dengar sudah mampu mematahkan semangat yang Reval bangun sejak dia di rumah sakit. Bisa saja Reval beranggapan bahwa perkataan itu hanyalah gurauan atau emosi yang tidak bisa ayahnya tahan. Namun, sepertinya anggapan itu tidak akan mampu menjelaskan bahwa orang tua mana yang tega berkata seperti itu terhadap anaknya sendiri. Menginginkan kematian, tidak peduli keadaan anaknya. Lantas sebenarnya siapa Reval? Anak siapa dia? Tidak pantas untuk disebut anak olehnya? Lalu dia tidak berhak mendapatkan kebahagiaannya? Kemudian berujung pada satu pertanyaan terakhir, untuk apa terlahir di dunia ini? Perlahan-lahan bayangan hampir tujuh tahun lalu mulai menyeruak di pikiran pemuda yang hampir berusia tujuh belas tahun. Membuat sclera berwarna putih di sana berubah menjadi kemerahan. Lalu permukaannya mulai basah dan mengilatkan cahaya yang terpantul. “Terus kalau misal aku bantu Revan, aku dapat apa?” tanya Reval pada ayahnya. “Kamu boleh tinggal di rumah ini.” “Terus kalau udah tinggal di sini?” “Terus tinggal di sini karena hidup kamu hanya untuk Revan!” Reval berlari sekuat tenaganya, menaiki anak tangga satu persatu dan mengabaikan teriakan ayahnya di bawah sana. Tidak peduli kalau dia dibilang pembangkang dan dibilang durhaka karena percuma saja dia menurut pun tidak akan terlihat baik di hadapan ayahnya. Yang baik hanya Revan, Revan, dan Revan, tidak ada namanya di dalam hidup Rangga. Pemuda itu sudah berada di kamarnya sekarang dengan keadaan kamar yang gelap tanpa penerangan sedikit pun. Jika saja lampu di kamarnya menyala, kalian akan melihat keadaan kamar yang sangat berantakan. Reval pikir berteriak dan mengancurkan barang-barang di sekitarnya mampu membuat ia lebih lega. Nyatanya pemuda itu malah duduk terdiam menatapi hidupnya yang sangat suram. Tanpa air mata di wajahnya dan tanpa kemarahan di dalam hatinya. Ia hanya diam, merasakan kecewa yang sangat mendalam. Terdengar berkali-kali gedoran pintu di depan kamarnya. Dia mendengar suara kembaran yang terus memanggil namanya. Memohon untuk dibukakan pintu, tetapi Reval tidak peduli. Dia tidak mau diganggu dan hanya ingin diam di posisinya sekarang. Walaupun dia harus menghadapi hukuman yang lebih berat nanti dari ayahnya, tetapi dia tidak peduli. Justru dia berharap kalau ayahnya akan membunuhnya malam ini. Dia kembali mengambil buku yang disimpan rapi di selipan rak. Baru detik itu dia menangis, menumpahkan emosi yang telah lama dia tahan dari tadi. Reval membaca setiap curahan hatinya yang sering dia tulis. Kecewa. Kecewa. Kecewa. Tidak ada tulisan selain mengartikan kalau dia kecewa dengan semuanya. Dia kecewa dengan dirinya, Revan, teman, takdir, bahkan dia kecewa dengan Tuhan yang mengizinkan dia untuk lahir di dunia. “Tuhan selalu kasih cobaan sesuai batas, Val. Lu pasti bisa lewatin ini semua,” kata Alvin. “Sayangnya Tuhan nggak paham kalau batas gua udah habis, Vin! Lu nggak paham juga sama keadaan gua!” Pintu kamarnya terbuka dengan keras, menampilkan sosok tegas yang sedang dilanda amarah. Sosok itu menatap tajam Reval yang sedang duduk di samping kasurnya. Reval tahu apa yang akan didapat malam ini. Reval tahu malam ini akan menjadi malam yang lebih suram. Sosok itu perlahan menghampiri Reval. DUG! Seolah tidak puas dengan perkataannya yang menusuk hati Reval, sekarang badan Reval ia tendang dengan sekuat tenaga. Badannya terdorong hingga kepalanya terbentur nakas di sampingnya. Tangan Rangga langsung menarik tangan Reval hingga berdiri dan menarik Reval pergi dari kamar ini. “Mau ke mana, Ayah? Reval mau tidur cepat malam ini,” kata Reval sambil menarik dirinya untuk menolak. Dia sadar kalau dirinya belum sembuh total, dia masih membutuhkan waktu istirahat. “Tolong besok aja ....” Satu tamparan telak berhasil Reval dapatkan. Reval pasrah, apa pun yang ayahnya lakukan sekarang dia sudah tidak bisa melawan. Dalam hatinya, dia berkata seharusnya dia bersyukur diperhatikan berbeda dengan Revan, tandanya Reval itu spesial dan Reval harus bangga dengan itu. Pikiran itu membuat diriya tersenyum bangga dalam diamnya. Kini mereka berdua sudah berhadapan di ruang kerja ayahnya. Reval hanya menunduk menatap lantai yang sudah sangat Reval kenali sedangkan Rangga menatap anaknya dengan bengis, seakan manusia di depannya adalah seseorang yang telah melakukan keasalahan besar kepadanya. Padahal tidak sama sekali. Beberapa pukulan itu diterima Reval dengan senang hati. Pikirnya dia pantas mendapatkannya. Reval tahu mukanya telah hancur sekarang, bau anyir darah yang keluar dari mulutnya sudah mulai tercium. Reval harus menikmati malam ini, Reval rindu dengan sosok ayahnya dan hanya dengan cara ini ayahnya memberikan kasih sayang padanya. Reval bodoh, bukan kasih sayang namanya jika diperlakukan dengan cara seperti ini. Tidak puas dengan pukulan itu, Rangga meninggalkan Reval yang sedang menggigit bibirnya untuk menahan sakit. Dia mencari benda yang pantas. Rangga kembali dengan stik golf di tangannnya. Reval melihat itu, Reval juga ingat bahwa tongkat itu juga yang membuat dirinya koma hampir seminggu lamanya. Tongkat itu seperti sudah bersahabat dengan Rangga, membantu pemegangnya memukul manusia di hadapannya tanpa rasa kasihan. Rangga seperti orang kesetanan sekarang, menyiksa anaknya tanpa henti dan melayangkan pukulan tongkat itu ke badan anaknya yang sekarang sudah terkulai lemas di lantai. Bisakah Reval menarik ucapannya? Sepertinya Reval sudah tidak kuat sekarang. Reval sudah menyerah, sakit di kepala dan punggungnya seakan bekerja sama membuat dirinya merasakan sakit yang lebih sakit lagi. Bahkan warna merah dari cairan tubuhnya mulai menembus jaketnya yang dia gunakan hingga menampakkan noda merah darah di setiap titik punggungnya. Rangga menyudahi itu semua, menginjak punggung itu sekali lagi dan menarik rambut Reval hingga wajahnya terangkat. Wajah Reval sudah tak dapat dikenali dengan merah darah yang menghiasinya. Pukulan yang Rangga berikan sepertinya terlalu keras. Rangga menarik surai hitam itu dengan kasar, membuat sang empunya meringis. "Itu semua pantas kamu dapatkan! Kamu telah merubah anak saya menjadi anak pembangkang! Saya tidak akan pernah melupakan apa yang kamu lakukan terhadap isteri dan anak saya! Saya tidak akan pernah berhenti membencimu!” Reval berusaha untuk tersenyum walau rasanya sangat sulit. Sakit di badan dan hatinya seakan menyuruhnya untuk diam. Hingga akhirnya dia tersenyum tipis dan memberikan tatapan hangat untuk ayahnya. “Anak Ayah? Siapa itu? Reval atau Revan?” “Oh kamu tahu jelas siapa yang saya maksud.” “Reval maksud Ayah?” “Mungkin jika itu di dalam mimpi indahmu,” sahut Rangga tanpa pikir panjang. Semakin bertambah besar lubang yang menganga di rongga dadanya. Sakit ... tidak mampu dia mendengar kata-kata dari ayahnya. Berlari juga tidak sanggup. “Terima kasih ....” “Bagaimana? Kamu sudah ke rumah sakit? Apa kamu sudah memeriksanya? Apa—“ Rangga menyudahi ucapannya setelah melihat darah yang keluar dari hidung orang di hadapannya. Dia sadar dengan hal itu, tetapi dia tidak mau memedulikannya. Rangga menyudahi aksinya dengan membenturkan kepala anak itu ke lantai dengan keras lalu langsung pergi dari ruangan itu, menyisakan kegelapan yang menghampiri Reval dengan kesakitannya. Kepala Reval semakin sakit, seluruh badannya juga sakit saat ini. Reval harus bangkit, Reval harus kembali ke kamarnya, ia tidak ingin menikmati sisa malamnya yang suram di ruangan ini. Dengan tenaga yang tersisa, Reval mencoba merangkak untuk kembali ke kamarnya, berusaha menggapai gagang pintu yang tidak terkunci. Pintu itu berhasil terbuka, Reval hanya perlu merangkak untuk sampai kamarnya. Tidak sulit, Reval pasti bisa melakukannya. Reval mulai merangkak mendekati tangga rumah itu, sakit di kepalanya tidak tertahan lagi. Payah! Merangkak saja kau lemah, apalagi berjalan. "Bantu aku, Tuhan. Berikan sakit ini saat aku sampai di kamar nanti. Aku mohon ....” Reval membatin. Namun, tetap saja takdir tidak membuat dirinya lebih tenang. "REVAL!" Revan berteriak dari lantai atas. Reval menyesal keluar dari ruangan. Dia pikir kembarannya sudah tertidur, tetapi Revan ternyata belum tidur dan Reval salah sangka. Reval sudah tidak memiliki jalan lain, tenaganya benar-benar habis saat ini. Ia menyesal pulang dari rumah sakit. Ia menyesal keluar dari ruangan itu, dan ia menyesali kebodohannya sendiri. Sekarang Revan akan melihat dirinya yang tidak berdaya akibat ayahnya dan pasti akan menimbulkan masalah lain. Revan berlari dari atas menuruni tangga dengan cepat dan menghampiri adiknya. Reval mendengar bunyi gaduh Revan menuruni anak tangga. Hati-hati, kau bisa saja terjatuh. "Ya Tuhan! Apa yang terjadi sama lu?" tanya Revan panik. “Lu habis dari mana? Siapa yang mukulin lu kayak begini, Val?” Reval tidak memedulikannya, Reval terus berusaha merangkak meninggalkan Revan yang berjongkok di hadapannya. Namun, Revan justru menghalangi Reval dan berjongkok membelakangi Reval sekarang. “Tolong jangan ganggu gua, Van ....” Revan menoleh ke belakang dan menatap wajah saudaranya dengan sendu. Reval memanggil namanya setelah bertahun-tahun Reval tidak menegurnya. Setelah bertahun-tahun Reval tidak berbicara dengan nada yang enak untuk didengar. “Gua nggak nggaggu ....” “Bisa menyingkir? Gua mau ke kamar dan istirahat. Harusnya lu juga tidur karena udah makin malam.” Tidak mungkin Revan rela meninggalkan saudaranya dalam keadaan seperti ini. Dia tidak bisa, dia ingin membantu Reval. “Gua bantu ke kamar, yuk!” “Menyingkir! Gua bisa sendiri. Lu nggak perlu bantuin gua ....” Revan terdiam melihat sikap Reval yang kembali dingin. Lalu tiba-tiba sosok itu terjatuh dengan mata yang telah tertutup. Revan segera mengangkat tubuh Reval ke kamarnya. Dia tidak mungkin membiarkan adiknya istirahat di kamarnya yang berantakan. Sesampainya di kamar, dia merebahkan tubuh adiknya di kasur empuk miliknya. Revan segera membuka pakaian adiknya berniat menggantikan baju Reval yang telah basah dengan darah. Revan tak tahan melihat badan Reval yang tertutup kaus dan jaket yang basah dengan darah. Saat itu juga Revan meneteskan air matanya. Begitu banyak luka di lengannya, dan punggung sang adik yang masih segar dengan darahnya. Revan tidak menyangka, apa yang Alvin ucapkan memang benar. Dia segera mengambil kotak P3K dan langsung mengobati luka-luka itu dengan telaten, menahan gemetar di tangannya yang tidak kuat melihat badan yang tak semulus dulu. Berkali-kali tangannya mengelap aliran air mata di wajahnya, berusaha tegar di saat dirinya tidak bisa tegar. Semuanya sudah berubah memang, Revan salah, seharusnya Revan bisa merasakan yang Reval rasakan, seharusnya Revan bisa merasakan sakit yang Reval rasakan. Mengapa Revan tidak bisa merasakannya? Dua hal yang mungkin terjadi, Reval yang terlalu rapi menyembunyikan luka ini atau Revan yang tidak peduli dengan Reval. Pilihan kedua lebih tepat sepertinya, Revan sangat menyesal sekarang. Lalu dia membalik badan adiknya, berusaha mengelap seluruh badan itu agar tidak lengket. Alih-alih mengelapnya, yang Revan dapatkan malah ukiran kata-kata yang sangat Revan benci di dadanya. Ukiran yang sepertinya sudah sangat lama membekas. Tulisan 'pembunuh' itu sepertinya digoreskan dengan pisau, cutter, atau benda semacamnya. Semakin lemas Revan dibuatnya. Air matanya juga seakan mendukung itu semua. Revan menangis sekarang, menangisi kebodohan dirinya yang tidak bisa menjaga adiknya sendiri. Hingga Revan merasakan lemas di badannya. Revan sudah sangat lelah, Revan harus tidur juga, ia bahkan lupa meminum obatnya. Ia mendudukkan badannya di lantai, takut adiknya terganggu jika Revan tidur di sampingnya. "Gua sayang sama lu, Val. Gua minta maaf."  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN