Part 7

1701 Kata
Perubahan sikapnya selama hampir sepuluh tahun terakhir ini memang aneh. Sorotan mata yang membuat Revan takut selama ini seolah menunjukkan ada yang salah pada Reval dan ketakutan yang Revan rasakan tentang sosok itu perlahan menjadi kenyataan. Hanya satu yang tidak Revan ketahui, apa alasan di balik semua ini? Apa tujuannya melakukan itu semua? Apa yang dia sembunyikan dengan rapi? Mengapa Revan tidak boleh mengetahui alasannya? Terlalu banyak pertanyaan yang ingin ia tanyakan. Namun, dirinya tidak tahu harus bertanya kepada siapa. Tidak mungkin ia bertanya kepada Reval, anak itu pasti akan pergi tanpa mendengarkan ucapannya terlebih dahulu. Tidak mungkin juga kepada Alvin, ia pasti akan menjawabnya dengan berbagai pertanyaan-pertanyaan yang selalu Revan hindari. Revan akui memang pagi ini dirinya tidak sadar kalau Reval tidak ada di kamarnya dan ucapan pedas Alvin sangat telak Revan dapatkan. “Tidur satu rumah masa nggak tahu kalau kembaran lu sendiri nggak pulang semalaman? Lihat jam! Ini udah jam sebelas dan dia masih belum di rumah. Gua bahkan nggak yakin kalau lu telepon dia untuk nanya dia di mana, apalagi lu khawatir!” Bukan Revan tidak peduli dengan Reval, bukan Revan tidak sayang dengan Reval, bukan Revan tidak menanyakan itu semua pada kembarannya. Dia bahkan tidak mendapatkan akses untuk menghubungi Reval. Dia tidak bisa membuka pintu kamar sebelahnya, tidak memiliki nomor HP kembarannya sendiri, apalagi akun sosial media Reval. Lalu bagaimana dia menghubungi Reval? Sejak pagi Revan memang merasakan kejanggalan. Tidak ada sepatu Reval di dekat pintu dapur, sampai siang pun Reval tidak mengisi botol minumnya dengan air di dapur. Sudah berkali-kali Revan memeriksa, tetapi hasilnya tetap saja Revan tidak dibukakan pintu. Saat itu Revan berpikir kalau kembarannya tidak mau keluar kamar. Akhirnya dia abaikan, tetapi ketika Alvin datang, Revan baru sadar. Seharian ini ia dilanda kegelisahan. Ia sudah menanyakan Reval kepada seluruh temannya, barangkali mereka melihat Reval pikirnya. Bahkan Revan telah memeriksa kamera pengintai di rumahnya hanya untuk mengetahui apakah adiknya telah sampai di rumah lalu pergi atau tidak. Revan benci situasi seperti ini, dirinya tidak bisa mendapatkan info sedikit pun tentang keberadaan Reval. Perlahan Revan merenungi dirinya sendiri, seolah-olah dialah yang salah dari semua kejadian ini. Lalu seketika ucapan Alvin terngiang di kepalanya, bagaikan suara tanpa wujud yang terus berteriak kencang. "Reval selfharm sekarang. Bocah bodoh itu udah berani nyakitin dirinya sendiri hanya untuk kesenangan di dalam dirinya! Bocah yang dulu selalu nangis kalau kita jahilin, bahkan udah pernah menjadi pembunuh bayaran ...." Aksi menguntitnya yang tidak disengaja membuahkan hasil yang sebenarnya Revan bingung menyikapinya. Dia senang mendapatkan satu informasi penting, tetapi dia juga merasakan kecewa karena sikap Reval. Pernyataan Alvin sangat tidak masuk akal untuk dipercaya, tetapi tidak bisa juga dikatakan kalau Alvin berbohong. Selama ini Reval selalu bersama dengan Alvin, bisa saja itu semua nyata terjadi dan Revan belum siap jika semua itu terjadi. Bagaimana bisa adiknya yang dulu pendiam bahkan manja itu bisa menjadi seorang pembunuh bayaran? Atau melukai dirinya sendiri? Revan sudah tiba di rumahnya sekarang. Dengan gontai ia bawa langkahnya ke depan pintu kokoh di bagian depan rumah. Revan mendorong pintu utama rumah dan kemudian mulai memasukinya tanpa semangat. Ia dapat melihat jelas ada ayahnya di sofa sambil menonton televisi. Sosok itu menoleh dan kemudian berdiri seolah menyambutnya. Ia tidak ingin berbicara saat ini. Yang ia inginkan adalah kamarnya untuk menetralisir pikiran-pikiran negatif yang sedari tadi menggentayangi akalnya. Langkah gontainya mulai tergerak, membawa tubuh itu mendekat ke arah anak tangga sampai suara ayahnya terdengar di telinganya. "Kamu dari mana Revan?" tanya Rangga dengan sangat khawatir. “Sudah hampir jam sebelas malam dan kamu tidak angkat telepon Ayah. Kamu lupa kamu masih drop kemarin? Bagaimana kalau kamu sakit lagi?” Revan terdiam di ujung tangga. Dia tampak berpikir untuk menjawab pertanyaan ayahnya atau tidak. Hatinya sangat ingin mengabaikan dan berlalu, tetapi Revan justru membalikkan badan dan mendekat menghampiri ayahnya. Sampai membuat jarak beberapa meter, Revan berhenti. "Mencari Reval," jawab Revan dengan lesu. Jawaban Revan membuat Rangga mengerutkan kening dan menautkan kedua alisnya. Dia menatap anaknya dengan tajam dan membuat Revan bingung dengan sikap ayahnya. Mengapa ayahnya begitu tersulut ketika ia menjawab mencari Reval. “Kenapa Ayah menunjukkan wajah itu?” "Buat apa kamu mencari dia? Diri kamu sendiri saja sedang sakit, kamu seharusnya istirahat agar keadaan kamu pulih!" sentak ayahnya. “Kalau kamu sendiri saja sakit, untuk apa mengkhawatirkan orang lain? Dia sudah dewasa dan dia sudah tahu harus bersikap apa! Seharusnya dia di rumah dan merawat kamu, bukan keluyuran main dengan teman-temannya.” Revan tidak menyangka, Revan akan dilakukan seperti ini. Ia pikir akan disambut dengan kekhawatiran sang Ayah karena anaknya yang lain hilang. Namun, malah bentakan yang ia dapat karena mencari adiknya sendiri. Revan berdecak malas kemudian menatap Rangga yang perlahan menghampiri dirinya. "Buat apa? Orang lain? Reval itu saudara Revan, Yah. Kembaran Revan sendiri dan anaknya Ayah. Salah kalau Revan khawatir? Salah kalau Revan nyari adik Revan sendiri? Salah kalau Revan—" "SALAH!" bentak Rangga, membuat Revan terkejut di tempatnya. Dia kebingungan dengan emosi ayahnya yang tiba-tiba meningkat. "Kamu tidak seharusnya mencari anak itu! Anak itu tidak usah kamu pedulikan! Ia hanya menyusahkan kita! Berandal! Pemabuk! Pembuat onar—" "AYAH!" bentak Revan balik. Revan tidak menyangka ayahnya akan mengatakan hal-hal yang kasar kepada anaknya sendiri. Hal yang tidak seharusnya diucapkan dan tidak pantas didengar oleh Reval. "Dia yang Ayah ceritakan itu anak Ayah sendiri. Anak yang selalu nurut sama Ayah dari dulu. Reval salah apa sampai Ayah tega berkata seperti itu kepada Reval, Yah?!" tanya Revan. "Kamu mau tahu salah dia apa? Dia seharusnya tidak hidup! Tidak seharusnya dia tinggal bersama kita dan menyusahkan kita, Revan. Ayah Tidak prduli, Ayah tidak peduli dengan dia! Mau dia sakit sekali pun hingga mati—" Dug! Mereka berdua menoleh ke arah dapur asal suara itu terdengar. Terlihat Reval yang baru saja terjatuh karena kehilangan keseimbangannya dan sedang mencari pegangan di sekitarnya. Namun, tidak lama Reval langsung sadar dan berdiri dari posisi lemahnya. Ia sadar posisi ini tidak menguntungkan baginya, dirinya kikuk melihat tatapan ayahnya yang menajam. Lalu seketika dia menunduk dan segera berlari ke kamarnya tanpa memedulikan panggilan ayahnya. "Lihat! dia bahkan nggak sopan sama Ayah. Apa itu yang kamu sebut sebagai anak?" tanya Rangga. “Kalau dia nurut seharusnya dia datang ke sini bukannya lari!” “Dia yang Ayah bilang nggak nurut itu lagi marah karena Ayah bilang nggak peduli sama dia!” Sejak kapan Ayah berbicara sama Reval? Sejak kapan Ayah mengajarkan sopan santun pada Reval? Revan bahkan nggak pernah lihat Ayah berhadapan dengan Reval layaknya seorang anak dan ayah!" sentak Revan. Rangga pun terdiam mendengar jawaban anaknya. Rahangnya mengeras disertai tanganyang mengepal. "Apa yang dia lakukan padamu? Apa yang sudah dia katakan sama kamu Revan? Sejak kapan kamu berani membantah ayahmu sendiri?" Revan sungguh tidak mengerti dengan sikap ayahnya. Apa yang ayahnya pikirkan saat ini. Revan bahkan tidak pernah berbicara banyak dengan Reval, bagaimana mungkin ayahnya berpikir tingkahnya akibat ajaran dari Reval? "Revan nggak ngerti, Yah. Apa maksud Ayah hari ini juga Revan nggak ngerti. Kalau Ayah ingat, kita bahkan nggak pernah ada di ruangan yang sama di rumah ini. Setiap Revan panggil Reval, dia nggak pernah mau deketin Revan. Padahal kalau di luar rumah, Reval pasti samperin walau hanya dengerin omongan Revan sedikit. Kenapa di rumah ini dia berbeda? Revan nggak ngerti ada apa antara Ayah dengan Reval atau jangan-jangan selama ini kalian bertengkar? Jadi itu alasan kenapa Reval selalu menghindari Revan karena kalian sedang bertengkar? Begitu? Revan kecewa sama Ayah." Revan segera meniggalkan sang ayah yang berteriak memanggil namanya, yang ia perdulikan adalah adiknya saat ini. Revan berlari menuju lantai dua dan menghampiri pintu kamar Reval. Diketuknya berkali-kali pintu kamar kembarannya. Dia berharap kalau Reval akan membuka pintu dan mendengar penjelasannya. Padahal sudah sangat jelas kalau itu tidak akan pernah terjadi. "Val! buka pintunya, Dek!" kata Revan. “Gua mau ngomong sama lu. Please, jangan kunci pintunya! Gua mau ngomong sama lu sebentar aja ....” Berulang kali Revan mengetuk pintu itu, mencoba memanggil sosok di dalam ruangan untuk membukakan pintu. Revan baru sadar kalau usahanya akan sia-sia, Reval tidak akan mungkin membukakan pintu jika dirinya yang memanggil. Tujuannya sekarang adalah balkon kamar Reval. Mudah-mudahan Reval lupa menguncinya, Revan hanya takut ucapan Alvin benar dan Reval sedang melakukannya. Revan berlari memasuki kamarnya, dan segera meloncati balkon kamarnya ke balkon kamar sang adik. Mencari celah dari jendela dan mencoba membuka pintu balkon kamar itu dengan harap tidak dikunci sang pemilik. Namun, lagi dan lagi Revan gagal. Pintu dan jendela kamar Reval juga terkunci. "Reval buka pintunya gua mohon ...," lirih Revan. Tidak ada balasan dari dalam kamar itu. Tubuhnya merosot di jendela balkon kamar Reval. Ketakutan itu muncul seketika, membuat Revan sangat khawatir kepada adiknya. Perlahan dia mulai meluruhkan air matanya dengan bibir yang ia gigit menahan rasa sakit di dadanya. "Semua yang lu denger itu salah paham. Please, buka pintunya biar gua jelasin ...," lirih Revan. Revan hanya mendapatkan angin kosong. Tidak terdengar apa pun dari dalam sana, membuat Revan semakin bersalah. Bukan ini yang Revan harapkan ketika Reval pulang. Dia ingin menanyakan ke mana Reval pergi dan mencoba menanyakan kebenaran atas omongan Alvin. "Maafin gua, Val .... Jangan lukain diri lu. Gua mohon ...." Revan kembali sadar, sedihnya saat ini tidak diperlukan, ada seseorang yang menunggunya di dalam untuk didekap. Revan berusaha menggedor pintu itu dengan sangat kencang kali ini. "Kalau lu nggak buka, pintu ini gua dobrak!" ucap Revan. Akhirnya Revan menyerah, seseorang di dalam sana tidak akan menjawab sama sekali. Revan harus mendobrak pintu ini. Revan harus masuk ke dalam sana dan memastikan saudaranya dalam keadaan baik-baik saja. Percobaan pertama gagal. Pintu ini sangat kokoh, wajar aja sulit untuk didobrak oleh Revan. Sakit, bahu Revan sangat sakit saat berbenturan dengan pintu itu berkali-kali. Revan tidak boleh lemah, Revan harus kuat untuk bisa membuka pintu itu. Revan harus mencobanya sekali lagi, berharap pintu ini akan menyerah. Brak! Pintu itu berhasil terbuka, menampilkan ruangan yang gelap tentunya. Revan segera menyalakan sakelar lampu di kamar ini, hal pertama yang Revan lihat adalah kekacauan. Cermin yang sudah hancur, buku-buku yang berserakan, dan Revan dapat melihat dengan jelas bahwa kamar ini tidak berpenghuni. Reval sudah pergi. Satu hal lagi yang membuat dirinya kecewa, cairan berwarna merah mulai dari yang mengering di dekat kasur sampai berceceran di lantai kamar. “Reval ....”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN