DORR!
Senyawa dari bahan kimia racikan terdengar meledak hingga menghamburkan seluruh isi di dalam laboratorium itu.
Sontak saja semua orang yang ada di lantai pertama segera berlari memeriksa ke lantai dua. Asap sisa-sisa ledakan mengepul dengan parah, debu bahkan berterangan hingga membuat mereka terbatuk-batuk. Jarak pandang menipis, mata mereka berusaha untuk menangkap apa yang terjadi di sana.
Theodore dan Bricana yang bersembunyi di lemari luar laboratorium pun saling berpandang-pandangan satu sama lain, mereka memiliki satu pemikiran yang sama—Austin. Apakah pemuda itu yang membuat keributan ini?
“Ya Tuhan, Mr. Jeremy.” Teriak salah seorang ajudan di sana, ia terkejut melihat Jeremy yang sudah tergeletak di lantai dengan tubuh yang penuh dengan luka ledakan. Pria itu tak sadarkan diri, matanya mendelik dengan sempurna.
Para anggota Exypnos pun sangat terkejut melihat pria itu terlihat sangat mengenaskan. Mereka memang tidak suka dengan penggeledahan ini, namun melihat Jeremy meregang nyawa dikarenakan ledakan laboratorium membuat mereka jadi kasihan.
“Kalian, cepat bantu Mr. Jeremy!” teriak seorang ajudan yang mana menjadi kaki tangan pria itu. Ia terlihat amat panik melihat keadaan yang amat kacau, baru beberapa menit Jeremy datang ke sini tapi pria itu sudah tergeletak secara menyedihkan.
“Baik.” Akhirnya mereka melupakan untuk menggeledah laboratorium, fokus mereka adalah menolong Jeremy yang mana semoga saja masih bisa diselamatkan nyawanya.
“Aku tidak menyangka laboratorium kita bisa meledak, bukankah seharusnya ada sirine peringatan terlebih dulu?” Seorang gadis berusia sembilan belas tahun bertanya pada rekanannya.
“Sepertinya ini bukan ledakan alami.” Jawab yang lain.
“Maksudmu?”
“Ada yang sengaja meledakkan laboratorium dengan cara menggunakan bahan kimia.” Gadis yang tampak lebih dewasa itu berkata dengan tenang, ia seperti tak terkejut dengan keadaan ini karena sudah bisa menebak sebelumnya.
Tampaknya gadis pertama yang tadinya bertanya-tanya pun mulai paham arah pembahasan rekannya. Seketika ia langsung terdiam dan melihat ke arah Jeremy tadi, tubuh pria itu terdapat luka bakar menganga, sebagian gosong dan juga mengeluarkan darah yang berbau anyir. Ia merinding melihat hal itu.
“Menurutmu Scodie, apakah klan kita benar-benar bermasalah dengan Oudeteros?” tanya gadis itu pada Scodie—gadis pintar namun lebih suka pendiam.
“Jawaban apa yang ingin kamu dengar?” jawab Scodie justru bertanya balik.
“Kejujuran.”
“Ya.” Scodie menjawab dengan singkat karena pada dasarnya ia tak suka terlalu banyak bicara. Wajahnya selalu dingin dan murung, senyuman hampir tak pernah terbit dari bibirnya.
“Ehh, apakah Exypnos—maksudku Madam Adriana melakukan pengendalian diri orang lain untuk menghancurkan Oudeteros?” Pasalnya mereka mengira bahwa Adriana adalah sosok yang baik dan tak pernah macam-macam, siapa pula yang akan percaya jika wanita kalem itu ternyata menyimpan hati iblis di dalamnya.
“Bisa saja begitu. Meskipun dia merupakan petinggi Exypnos, namun tingkahnya sama sekali tidak mewakili semua Exypnos.” Scodie tidak rela jika nama baik Exypnos harus dicemarkan oleh Adriana. Memang sejak awal ia tidak terlalu suka dengan kepemimpinan Adriana yang terlihat kejam, namun bagaimana lagi bahwa memang sudah ditetapkan bahwa Adriana adalah pemimpin yang masih menjabat untuk saat ini.
Akhirnya tubuh setengah hancur milik Jeremy pun diangkut oleh rekanannya. Mereka terlihat heboh sendiri hingga melupakan tujuan awal datang ke sini yakni mencari barang bukti sekaligus menemukan keberadaan sang petinggi klan ini.
“Kalian jangan ada yang mendekati TKP atau coba-coba membuang barang bukti. Tetap di lantai satu, untuk sementara labortarium Exyonos harus disegel.” Troy, orang yang juga merupakan salah satu ajudan Jeremy pun menjelaskan. Ia bahkan menatap mereka dengan tatapan yang cukup tajam dan menyeramkan, ia sangat curiga dengan keadaan yang menimpa atasannya ini. Jeremy selalu berhati-hati, lalu entah bagaimana ia bisa terbunuh hari ini.
Jika pun masih ada orang Exypnos yang bebas, ia pun harus mengejarnya dengan segera. Satu Adriana dan satu Patricio belum didapatkan, lalu sekarang ada tambahan tersangka lagi.
“Lho, bukankah ini hak kami menggunakan laboratoium. Kenapa harus disegel?” Salah seorang siswi nampak begitu panik saat mendengar ruang belajar penting ini harus ditutup.
“Untuk kepentingan investigasi. Siapapun tidak ada yang boleh masuk ke ruangan ini, akan ada petugas yang berjaga selama duapuluh empat jam.”
Mereka makin lesuh mendengar penuturan ini, yang mana artinya mereka tidak dapat belajar dan membuat bahan praktik baru.
Sebagian dari mereka mengangkut tubuh Jeremy untuk dimasukkan ke dalam kendaraan yang akan membawa mereka kembali ke pusat pemerintahan klan. Di sana akan diadakan investigasi lebih lanjut mengenai penyebab kematian pria itu, tergolong muda untuk mati di usia seperti ini.
Akhirnya para anggota baru Exypnos pun membubarkan diri, mereka sangat lelah, kecewa, sedih bercampur menjadi satu.
Hingga untuk sejenak di sana terlihat kosong. Kedua orang yang bersembunyi di lemari sambil mendengarkan percakapan di sana pun akhirnya keluar, Bricana langsung mengambil napas sebanyak-banyaknya yang ia bisa. Rasanya sesak sekali berada di lemari ini, tentu saja!
“Theo, aku yakin kau pasti memiliki pemikiran yang sama denganku ‘kan?” Bricana menatap Theodore dengan raut yang amat cemas.
“Iya, ku rasa ini memang perbuatan adikmu.” Theodore mengendikkan bahunya pelan. Ia sudah bisa melihat gelagat Austin yang mana memiliki rencana-rencana terselubung, hanya saja tadi Theodore selain tidak memiliki kuasa untuk mengatur seseorang, ia juga tidak berhak atas klan ini. Exypnos bukan tempatnya, ia ke sini hanya untuk mencari keberadaan buron.
Berbeda dengan Theodore yang nampak tenang, Bricana justru sangat khawatir jika adiknya terseret kasus pembunuhan terhadap petugas hukum dari Mr. Grivin. Pasalnya Jeremy adalah kaki tangan yang katakan lah sangat dipercaya, tapi kini pria itu meninggal secara mengenaskan akibat dari terkena ledakan bahan kimia yang sudah diracik.
“Boleh aku memberi masukan?” tanya Theodore dengan hati-hati.
Bricana mengangguk tanpa bersuara.
“Lupakan masalah Austin, kita fokus pada tujuan utama.”
Bricana mengerutkan keningnya tampak tak suka dengan ucapan pria itu. Bagaimana bisa ia melupakan kekhawatirannya terhadap sang adik, sedangkan kapan pun Austin bisa terkena penalti yang berat.
“Aku tahu ini bukan hal muda untukmu. Tapi kau lihat sendiri tadi, bukankah adikmu sudah berubah? Klan di atas keluarga,” sambung Theodore dengan cepat.
Bricana pun terdiam, ia tak bisa membantah. Pada dasarnya sekeras apapun ia mengkhawatirkan sang adik tapi Austin justru menyia-nyiakan kasih sayang dari sang kakak.