Bab 13. Dibuai Obat Perangsang

1614 Kata
"Luna ...." Dimas memanggil beberapa menit kemudian. Ia menoleh pada Luna yang masih mengedip gugup di sebelahnya. "Om nggak bisa tidur?" tanya Luna. Ia sudah tidur di sana dua malam yang lalu, dan ia mengira keberadaannya tak akan mengusik Dimas. Namun, kali ini ia merasa bahwa ia sudah mengganggu Dimas atau paling tidak ia sudah membuat resah pria dewasa itu. "Ehm, kayaknya aku nggak bisa tidur," jawab Dimas. Ia bergerak memiringkan tubuhnya. "Apa aku bikin Om nggak bisa tidur?" tanya Luna lagi. Dimas tersenyum dan mengangguk. "Ya, kamu bikin aku gelisah terus." Kedua mata Luna melebar seketika. "Apa kemarin malam dan tadi malam ... Om juga nggak bisa tidur nyenyak gara-gara aku di sini?" Dimas mengangguk lagi. Malam pertama Luna tidur bersamanya di vila, mengigau memanggil ibunya atau siapa—Dimas tak yakin—saja sudah membuatnya merasa khawatir. Apalagi tadi malam, Luna tidur dengan kesakitan, menangis bahkan demam. Dan malam ini, mereka sama-sama sadar berada di atas ranjang. Setelah adegan di depan kamar mandi tadi, tentu saja Dimas tak bisa bernapas lega. "Apa aku perlu pindah kamar?" tanya Luna dengan polosnya. Dimas tertawa kecil. "Nggak perlu, Sayang. Aku cuma ...." Ia menelan saliva. Andai saja Luna jauh lebih dewasa ia mungkin sudah menerkamnya sekarang. Sayang sekali Luna masih kecil, Luna bahkan baru mulai masuk kuliah. "Om kenapa?" tanya Luna. Dimas tak menjawab. Ia mendudukkan dirinya lalu merangkak mendekati Luna. Gadis itu sudah was-was sejak jadi, jadi ia pun menarik dirinya mundur. Tubuhnya merapat ke headboard, memeluk selimutnya erat-erat. "Om ... Om mau apa?" tanya Luna gugup. Dimas menarik tangan Luna agar gadis itu tak terlihat gugup. "Nggak apa-apa, aku nggak bakal apa-apain kamu." Dimas bergerak maju, lalu mendaratkan kecupan lembut di kening Luna. Setengah mati, ia berusaha keras memadamkan bara panas dalam tubuhnya. Luna sangat cantik dan seksi dengan kemeja tipis kepunyaannya. Ah, hanya saja Dimas masih memikirkan perasaan Luna. "Aku bakal nunggu kamu tumbuh lebih dewasa," ujarnya usai melepaskan kecupan. Ia membelai pipi dan bibir Luna lalu kembali berbaring. Ia membuang napas panjang lalu memeluk tubuh Luna. Luna berdebar tak terkira. Ia membiarkan Dimas memeluknya malam ini karena begini cukup nyaman. Ia tak pernah mendapatkan banyak pelukan, tetapi bersama Dimas, ia benar-benar merasa diperhatikan dan disayangi. "Apa aku bisa pakai baju aku lagi besok?" tanya Luna di tengah keheningan mereka. "Tentu aja, pasti besok pagi udah kering. Mungkin ... aku bisa mulai siapin baju-baju buat kamu," kata Dimas. Luna merapatkan kepalanya di d**a keras Dimas. Ia tak tahu apakah ia akan sering berada di rumah ini, tetapi tampaknya begitu karena ia sudah dianggap sebagai bagian dari anggota keluarga Erlangga. Ia bahkan diminta datang setiap hari. Tanpa mereka sadari, sejak tadi dari luar pintu kamar, Hendra sudah berdiri mendengarkan apa yang terjadi di dalam ruangan. Ia mengira akan ada perkembangan besar dalam hubungan Dimas dengan Luna. "Apa Dimas terlalu minder sama penampilannya?" gumam pria tua itu dengan nada khawatir. Ia sudah mencemaskan Dimas sejak ledakan kapal pesiar itu. Ia ingin putranya juga hidup normal dengan wanita cantik. "Padahal Luna baik dan mau sama Dimas. Kenapa Dimas harus menahan diri?" Hendra berpikir keras malam itu. Ia tak ingin hubungan Dimas berjalan lambat seperti ini. Ia merasa harus membantu Dimas. Namun bagaimana? Hendra pun menuruni anak tangga, ia hendak pulang ke kediamannya di rumah utama. Namun, saat itu ia melihat Ika sedang membereskan ruang tamu. Ia pun berdehem untuk mendapatkan perhatian kepala pelayan di rumah itu. "Oh, Tuan! Anda hendak kembali?" tanya Ika. "Ya. Tapi aku penasaran ... gimana hubungan Dimas sama Luna menurut kamu?" tanya Hendra dengan nada ingin tahu. Ika tersenyum lebar. "Saya pikir mereka baik-baik saja, Tuan. Anda nggak perlu cemas, kali ini kayaknya tuan Dimas sudah menemukan jodohnya." Hendra berdecak pelan. Karena ia tak mendengar sesuatu yang menarik di kamar Dimas, ia tidak puas. Dimas pasti menahan dirinya karena ia tak ingin membuat Luna malu atau takut dengan penampilannya. "Begitu? Kamu yakin?" tanya Hendra lagi. "Ya, Tuan. Tuan Dimas begitu menyayangi nona Luna. Dan sebaliknya, nona Luna tampaknya begitu tulus dan perhatian dengan tuan Dimas," jawab Ika. Hendra mengangguk meskipun ia masih kurang puas. Ia akan melakukan sesuatu yang besar untuk membantu Dimas. Dengan kedua tangan terkait di belakang punggungnya, ia pun meninggalkan rumah Dimas. *** Hari berganti, seperti malam sebelumnya, Luna kembali dipanggil ke rumah keluarga Erlangga. Ia sudah sangat terbiasa di rumah itu karena semua orang begitu baik dan hormat padanya. Ia merasa senang tinggal di sana daripada di rumah ia hanya akan bertengkar dengan Mira atau menjadi pesuruh ibu tirinya. Malam itu, Hendra sudah merencanakan sesuatu untuk Dimas. Ia masuk ke dapur tanpa sepengetahuan Dimas dan Luna. Kedua matanya menatap beberapa menu yang sudah disiapkan oleh para pelayan. Senyum Hendra pun terkembang. Hendra merogoh kantong celananya. Ia mengeluarkan bubuk obat di sana dan menuangkannya di salah satu mangkuk berisi sup. Ia ingin Dimas menjalani malam menyenangkan dengan Luna jadi ia sengaja menambahkan obat perangsang di sana. "Ini milik Dimas. Jangan sampai tertukar mangkuknya!" kata Hendra pada Ika. "Tapi ... kenapa, Tuan?" tanya Ika dengan nada heran. "Kamu nggak perlu tahu. Pokoknya, jangan sampai kamu salah ngasihnya. Ini spesial buat putra aku," kata Hendra seraya menepuk bahu Ika. "Ya, Tuan." Ika menatap Hendra lalu ke mangkuk sup tersebut. "Apa yang direncanakan oleh tuan?" Ika tak bisa menebak. Namun, ia memutuskan untuk melakukan saja tugasnya. Ia tak melihat ada hal yang aneh dan tak mungkin Hendra meracuni putranya sendiri. Ia tahu, Hendra sangat menyayangi Dimas. "Selamat makan, Tuan dan Nona," ujar Ika ketika ia menyajikan makan malam. Luna tersenyum manis seperti biasa dan mengangguk. Sementara Dimas tak merespon. Ia langsung menyendok sup daging kesukaannya lalu mengangguk. "Buruan makan, ini enak banget." "Ya, aku suka banget, Om!" Luna menimpali dengan mulut penuh daging. Ia begitu senang bisa makan enak ketika di rumah Dimas. "Bagus, kalian harus makan yang banyak," tukas Hendra. Ia menepuk bahu Dimas kuat-kuat. "Habiskan sup kamu." "Ehm, ini kesukaan aku, Pa. Aku pasti habisin," ujar Dimas. Hendra tersenyum puas melihat Dimas makan dengan lahap. Ia yakin, malam ini Dimas tak akan bisa menahan dirinya lagi. Ia ingin Dimas lebih dekat dengan Luna mulai malam ini. *** Sama seperti malam sebelumnya, Luna dan Dimas berbaring di atas tempat tidur yang sama. Tentu saja, itu adalah kehendak Hendra dan Dimas yang ingin ayahnya tahu bahwa ia dan Luna memiliki hubungan yang baik tak punya pilihan lain. Ia meminta Luna untuk menginap, tetapi ia sudah menyiapkan baju ganti untuk tunangannya itu agar mereka tak kebingungan seperti semalam. Dimas menggeleng pelan. Ia merasakan hal yang aneh pada tubuhnya. Ia sama sekali tak bisa tenang. Semakin ia mencoba untuk tenang, ia justru merasa kepanasan. Ia menoleh pada Luna yang masih menatap langit-langit kamarnya sambil sesekali mengedipkan matanya. "Kenapa rasanya kayak gini?" batin Dimas. Kuat-kuat ia menelan saliva melihat wajah cantik Luna. Bibir itu, astaga! Dimas sangat ingin menggigitnya sekarang. Lekukan leher itu ... Dimas merasa benar-benar tak bisa menahan diri. Ia sungguh ingin menghirup aroma segar dari ceruk leher Luna. "Nggak!" desis Dimas sambil menggeleng lagi. "Om kenapa?" tanya Luna penasaran. Ia menoleh pada Dimas yang menggeliat pelan. "Apa Om sakit?" Dimas menggeleng ketika Luna menyenangkan dadanya. Tidak, panas tubuhnya seperti meningkat drastis. Ia tak tahan lagi, tetapi ia memilih untuk duduk. Rasanya ada yang salah dengan tubuhnya. "Aku mau ke toilet," kata Dimas. "Tapi ... Om kenapa sih?" tanya Luna tak mengerti. Ia merasakan tangan Dimas mencengkeram tepian baju tidurnya di bagian pinggang. Kedua mata Dimas jelas terpaku pada perutnya, atau dadanya, ia tak tahu. Yah, Dimas benar-benar dibuai oleh efek obat perangsang yang dimasukkan oleh Hendra ke supnya sekarang. Menatap sepasang daging kenyal di d**a Luna, lekuk pinggang yang indah serta paha putih bersih Luna sudah membuatnya semakin kepanasan. "Aku cuma sebentar," kata Dimas. Dimas segera berdiri. Tubuhnya sudah kepanasan dan ia butuh sesuatu untuk mendinginkannya. Dimas menerobos pintu kamar mandi lalu menarik paksa baju tidurnya. "Ah, sial! Apa ini papa?" Dimas hanya bisa menebak karena ia ingat ayahnya begitu senang ketika ia makan sup daging tadi. Dengan tubuh yang seperti terbakar, Dimas pun mendekat ke ruang mandi. Ia menyalakan shower lalu berdiri di bawahnya dengan harapan, ia bisa mendinginkan tubuhnya. Sementara itu, di atas tempat tidur. Luna yang tadi hanya bisa melihat Dimas pergi pun merasa cemas dengan kondisi Dimas. "Om Dimas kenapa ya? Apa dia sakit?" Luna memutuskan untuk turun dari tempat tidur. "Jangan-jangan, Om Dimas sakit perut gara-gara makan banyak banget. Apa dia masuk angin? Kenapa sih?" Luna berdiri di dekat pintu kamar mandi yang tak terkunci. Ia mendengar Dimas mengerang dan memukuli dinding. Seketika, Luna semakin cemas. Ia segera masuk untuk melihat kondisi Dimas. "Om! Om kenapa?" tanya Luna. Luna menutup bibirnya ketika ia melihat Dimas sedang mandi, tetapi pria itu tak sekadar mandi. Tak mungkin orang mandi dengan tampang gelisah seperti itu. Karena khawatir, Luna pun memutuskan untuk mengecek. "Luna ... aku nggak bisa ... aku nggak tahan lagi," kata Dimas seraya menarik lengan Luna. Tubuh Luna tersentak ke ruang mandi, bersama dengan Dimas, keduanya terguyur oleh air dingin. Luna menengadah, kedua matanya merasakan tatapan Dimas yang b*******h. Ia langsung mengerti kenapa Dimas bertingkah seperti ini. Tangan Dimas menari di tubuhnya yang basah. "Luna ...." "Om ... Om tenang aja," kata Luna seraya mengangkat tangannya ke kancing bajunya dan ia mulai membukanya satu per satu. "Aku di sini untuk Om." Dimas tak bisa menunggu, ketika Luna masih setengah perjalanan membuka bajunya, ia langsung menyambar bibir Luna dengan bibirnya. Tubuhnya bergejolak luar biasa, ia bisa gila jika tak menyalurkannya sekarang juga. Mencium bibir Luna, menarik lepas kain demi kain yang menempel di tubuh Luna, adalah sangat ia dambakan malam ini. Dan akhirnya, ia bisa melakukannya. Dimas menjeda ciuman, ia menatap puas wajah basah Luna dan memastikan gadis itu tak takut padanya. "Kamu beneran nggak keberatan?" tanya Dimas.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN