Siang itu terasa berbeda. Cuaca panas yang melanda beberapa hari terakhir tak lagi muncul. Di luar gedung perusahaan yang dipimpin Ethan malah basah karena hujan lebat. Hujan yang ditunggu banyak orang akhirnya tiba. Banyak yang bahagia dan bersyukur, tapi tidak dengan Ethan.
Pria muda yang tampan dan gagah itu malah merenung dengan lesu. Dia sama sekali tidak peduli dengan datangnya hujan. Nyatanya, hatinya terasa kering, seperti membutuhkan siraman kasih sayang.
Ucapan Danisa semalam terus terngiang di kepalanya. Bagaimana tidak, ia meminta janda itu untuk jadi pacarnya, tapi ia malah diminta untuk menikah.
Menikah? Bagaimana bisa Danisa malah meminta pernikahan, sementara dia masih takut gagal lagi dalam urusan rumah tangga?
Di tempat lain, Danisa juga banyak merenung. Dia menyesal dengan apa yang sudah dia katakan semalam. Dia hanya ingin menghentikan ulah Ethan yang amat meresahkannya.
"Jangan sampai dia mau nikahin aku. Aku kan nggak serius mau nikah, aku belum siap sama ujian rumah tangga." Danisa tak bisa fokus bekerja, pekerjaannya terbengkalai dan tak kunjung dikerjakan. Namun, dia sangat susah untuk fokus.
"Tapi, nggak salah juga aku minta dia nikahin aku. Enak aja dia mau cium-cium aku mulu. Dia pikir dia siapa?"
Danisa menunduk di atas meja kerjanya, lalu rambutnya terurai dan menutupi hampir seluruh wajahnya. Kedua tangannya menjambak sebagian rambutnya, lalu dia menghela napas panjang.
"Danisa. Jangan stres! Keputusan kamu udah tepat. Dengan kamu minta nikah, Ethan pasti akan mikir berulang kali buat main-main sama kamu. Kalau dia serius, dia akan nikahin kamu dan itu jauh lebih baik dari pada kalian harus pacaran." Danisa mencoba menasehati dirinya sendiri dengan suara yang hanya bisa ia dengar sendiri. Untungnya tak ada yang mendengarnya.
Setidaknya, usaha Danisa semalam tak sia-sia. Ethan tak jadi menciumnya dan memilih pulang, dia selamat.
"Dan," panggil seorang wanita.
Danisa mengangkat kepalanya yang sudah menunduk sejak tadi. Itu adalah suara temannya, yang tak lain adalah bosnya.
"Iya, Mei. Kenapa?" tanya Danisa sesaat setelah dia menoleh.
"Kamu kenapa? Sakit? Kurang enak badan?" tanya Mei penuh perhatian. Dia melihat Danisa banyak diam dan pekerjaannya tak kunjung selesai.
Danisa tersenyum kaku. "Aku nggak apa-apa. Mungkin lagi capek aja, tapi aku janji aku bakal selesaiin tulisan aku tepat waktu."
Mei mengangguk. "Kamu bisa pulang duluan kalau emang lagi capek. Tidur aja dulu, kerjain nanti kalau udah segeran. Tenggatnya masih sampe nanti tengah malem. Santai aja."
Wanita yang seumuran dengan Danisa itu memang baik. Dia juga sangat perhatian dengan orang-orang yang bekerja dengannya. Tidak menganggap karyawannya sebagai karyawan, dan malah menganggap mereka semua teman. Apalagi kebanyakan orang yang bekerja dengannya memang merupakan teman-temannya. Ada yang teman sekolah, teman di media sosial dan Danisa sendiri merupakan teman kuliah dulu.
Danisa menggeleng dengan cepat. "Nggak. Aku akan selesaiin sekarang, ehm ... maksud aku hari ini. Sebelum pulang, aku janji bakal selesaiin tulisan ini."
Wanita itu tahu bagaimana baiknya sang teman kepadanya. Tak hanya memberinya kesempatan untuk bekerja, Mei juga selalu perhatian padanya dalam hal apa pun. Itu sebabnya Danisa juga bekerja dengan baik selama ini, demi membalas budi sang teman.
Mei tersenyum lalu menepuk pundak temannya. Dia mengangguk beberapa kali sebelum akhirnya melangkah pergi. "Lakukan sesukamu, Danisa."
Saat Danisa berusaha fokus untuk menyelesaikan pekerjaannya, Ethan malah meluapkan amarahnya pada karyawannya. Geo, sang sekretaris harus membawa tumpukan map dengan raut wajah sendu, keluar dari ruangan Ethan.
"Kenapa kamu bawa keluar semua map itu? Bukannya semuanya sudah beres? Tinggal bubuhi tanda tangan Pak Ethan saja, kan?" tanya seorang pria yang juga merupakan karyawan di perusahaan Ethan.
Geo yang lebih tua 7 tahun dari Ethan membanting tumpukan map yang sejak tadi ia bawa, dengan keras, tepat di atas meja kerjanya.
Ulahnya berhasil membuat Ethan melirik ke luar ruangan karena mendengar suara keras. Dia tampak emosi.
Buru-buru Geo kembali ke ruangan Ethan, hanya kepalanya saja yang muncul dari balik pintu. "Maaf, Pak. Saya nggak sengaja, saya kesandung." Lalu dia menutup pintu dan kembali ke meja kerjanya.
"Argh ...." Geo menghela napas panjang. Dia menatap rekan kerjanya.
"Entah manusia mana yang sudah mengusik ketenangan Pak Ethan. Kalian tahu, kan? Kalau Pak Ethan mulai kayak gini, itu artinya ada seseorang yang udah ngusik dia. Tapi, nggak sebanyak ini juga, kan? Semua ini dia sendiri yang bilang oke, tapi barusan dia bilang semua ini perlu direvisi, perlu didata ulang, perlu dikaji ulang. Ini kan cuma investasi kecil, nggak perlu lagi a i u e o, semua juga udah dikerjakan sebagaimana mestinya."
Geo mengeluh panjang lebar, dia tahu betul semua kelelahan yang harus ia tanggung bukan karena kesalahannya, melainkan karena mood sang bos yang sedang menurun.
Namun, apa boleh buat, karyawan seperti dirinya hanya bisa menurut saja. Atau dia bisa mundur dari jabatannya dan kehilangan gaji yang tidak akan bisa dia dapatkan di tempat lain.
"Sudahlah, Geo. Lakukan saja perintah Bos. Atau kamu bisa serahin surat resign kamu." Salah satu rekan kerjanya malah mengejek Geo. Sekretaris Ethan itu menyeringai kesal.
Waktu berlalu, malam pun tiba. Ethan kembali mengunjungi Danisa di apartemen yang lokasinya lumayan jauh dari kantornya. Namun, tak masalah dengan lelah tubuhnya, otaknya memanas jika tak kunjung menyelesaikan urusannya dengan Danisa.
"Minum," ucap Danisa setelah menyodorkan minuman kaleng yang baru saja ia ambil dari kulkas.
Ethan dan Danisa duduk berdampingan di satu-satunya sofa yang ada di kamar janda itu. Keduanya tampak serius, sangat mendebarkan dan membuat gugup saja.
Ethan diam cukup lama, Danisa pun tak tahu harus berkata apa. Namun, diam-diaman seperti itu sungguh canggung dan tak nyaman.
"Ngomong! Kamu ke sini bukan buat cosplay jadi patung, kan?" Danisa akhirnya memecah keheningan.
Ethan lalu menatap Danisa, dengan lekat dan penuh arti.
"Ethan, aku juga bisa nyolok mata kamu. Jangan tatap aku begitu!" Danisa tak suka dengan tatapan Ethan yang membuatnya salah tingkah. Dia malu.
Ethan membanting tubuhnya ke badan sofa. Dia lalu menarik napas panjang, lalu mengembuskan pelan.
"Kenapa kamu minta nikah?“ tanyanya pelan.
"Kenapa? Ya karena aku nggak mau main-main. Aku bukan ABG, aku udah 32 tahun. Aku juga janda." Danisa menjawab dengan pelan.
"Kenapa memangnya kalau janda? Aku bosan dengan alasan kamu itu-itu mulu." Ethan menyandarkan kepalanya, tapi matanya menatap tajam ke Danisa. Suaranya pelan, tapi terdengar seksi.
Danisa mengalihkan pandangannya, tak mau menatap Ethan yang intens menatapnya.
"Kenapa kita nggak pacaran dulu aja?" tanya Ethan, masih dengan suara pelan.
Danisa menoleh dan menatap Ethan dengan kesal. "Jadi, kamu cuma main-main sama aku?"
"Main-main? Kamu yang main-main. Kamu sengaja kan nantangin aku buat nikahin kamu, karena kamu pikir aku nggak serius sama kamu?"
"Memang begitu kan faktanya?"
"Danisa, pernikahan bukan hal yang main-main. Seharusnya, kamu yang pernah gagal, nggak malah dengan mudahnya minta dinikahin begitu. Apa kamu nggak mau kenal aku lebih deket dan lebih lama sebelum akhirnya lanjut ke jenjang pernikahan? Kamu nggak takut gagal lagi?"
Kali ini Ethan menaikkan volume suaranya. Dia bahkan tak lagi bersandar, dia terlihat begitu serius.
Danisa membalas keseriusan Ethan dengan keseriusannya. "Takut gagal? Aku bukan lagi takut gagal, Ethan. Aku trauma menikah lagi. Rasanya aku pengen hidup sendiri aja sampai mati. Tapi kamu ... kamu maksa aku buat jadi pacar kamu. Apa yang bisa aku lakuin selain minta kamu nikahin aku? Ya, bener, aku emang sengaja nantangin kamu buat nikahin aku. Karena aku berharap kamu berhenti ganggu aku."
Ethan menatap Danisa makin intens. Dia lalu menghela napas panjang. "Aku mau nikahin kamu. Tapi, nggak sekarang. Kita tetap akan melewati masa pacaran."
"Aku nggak mau janji-janji. Nikahin aku dan lakuin apa pun ke aku. Atau tinggalin aku dan jangan lagi ganggu aku." Danisa memberi pilihan yang amat susah.
Ethan tak suka diancam atau dipaksa. Dia juga benci dipojokkan seperti itu. "Kamu sendiri yang bilang trauma, kenapa kamu malah maksa begini?"
"Nggak enak kan dipaksa? Tapi kamu sukanya maksa!" Danisa terkekeh sesaat, lalu menatap Ethan dengan sorot mata yang amat mengerikan.
Cukup lama Ethan berpikir, lalu dia mengambil keputusan. "Baiklah, kita menikah. Tapi, beri aku waktu 3 bulan dari sekarang."
Danisa amat terkejut. Bukan itu yang dia harapkan. Yang dia mau adalah Ethan pergi karena tak mau menikah. Kini, dia hanya bisa bengong dengan mulut menganga.
"Ada banyak hal yang harus disiapkan. Keluarga kita juga harus saling mengenal, saling ketemu. Jadi, beri aku waktu 3 bulan. Dan aku akan jadikan kamu istriku."
Ucapan Ethan bak peluru yang menusuk ke jantung Danisa. Wanita itu tak bisa berbuat apa-apa. Dia seperti menginjak ranjau yang dipasangnya sendiri. Kenapa malah jadi dia yang terjebak? Padahal dia hanya ingin Ethan tak lagi mengganggunya.
"Pernikahan adalah hal sakral. Kamu tahu sendiri bagaimana sulitnya berumah tangga. Aku mau persiapkan pernikahan kita dengan matang. Jadi, 3 bulan aku rasa udah cukup. Aku akan buktiin ke kamu kalau aku serius suka dan mau menikah dengan kamu. Perasaanku ke kamu bukan hanya main-main, Danisa."
Danisa hanya bisa mematung, dia kalah telak. Bukan itu yang dia harapkan. Bagaimana bisa dia menikah dengan pria yang ia kenal baru beberapa bulan saja. Sedangkan dengan mantan suaminya dulu yang pacaran lama, tetap saja berakhir dengan perceraian. Haruskah ia bercerai lebih dari sekali?