Pikiran Danisa makin tak karuan. Ia gelisah luar biasa, satu-satunya yang ia takutkan adalah kegagalan berumah tangga lagi. Namun, ia malah membuat dirinya harus menikah lagi karena ucapannya sendiri.
Baginya, menikah lagi atau tidak, semua hanya tergantung padanya. Tidak akan ada yang memaksa, tidak pula ada yang melarang. Ayahnya sudah tiada, sementara ibunya sudah tua renta. Kakaknya sibuk dengan keluarganya sendiri, dan ia belum memiliki anak dari pernikahan sebelumnya.
Satu-satunya masalah adalah rasa trauma di hatinya.
Hari itu, lagi dan lagi, di tempat kerjanya, Danisa tampak lesu dan tak fokus bekerja. Setelah pertemuan semalam dengan Ethan, Danisa merasa ingin kabur saja dari kehidupannya yang sekarang.
Namun, mau sampai kapan dia akan lari tiap ada masalah? Sementara, dia tinggal dan hidup di kota itu saja sudah merupakan pelarian atas gagalnya rumah tangganya dengan mantan suaminya - Agus.
"Dan, aku udah bilang, kan? Kamu boleh di rumah aja kerjanya. Lagian memang pekerjaan kita kan memang fleksibel, masuk ke kantor cuma formalitas aja. Aku nggak mau kamu tertekan begitu, atau kamu mau off dulu? Kamu mungkin butuh istirahat."
Pagi itu, jam menunjukkan pukul 9 pagi. Mei memanggil Danisa untuk ke ruangannya. Pasalnya, teman kuliahnya itu tampak lesu dan tak ada semangat sama sekali sejak masuk kerja tadi.
Danisa menunduk malu. "Kamu tahu, alasan aku tetep masuk kantor, bukan karena mau ambil bonus masuk kantor. Tapi, karena aku lebih semangat kalau kerja di kantor. Kalo di rumah, terlalu santai dan malah kerjaan nggak kelar-kelar."
Wanita itu mencoba menjelaskan apa yang terjadi. Dia mulai menceritakan Ethan dan ajakan pria itu untuk pacaran dan malah berganti ke pernikahan.
"Kamu kenapa nggak mau? Takut gagal lagi?" tanya Mei kemudian.
Danisa mengangguk. "Seperti yang aku bilang tadi. Aku kenal dia sejak aku pindah ke sini, tinggal di apartemen itu. Paling juga baru sekitar sebulanan kami deketnya. Aku nggak tahu siapa dia sebenernya, yang aku tahu cuma nama. Kerja di mana juga aku nggak tahu. Gimana bisa aku mau menikah sama dia? Terlepas aku trauma menikah lagi atau enggak, hubungan kami terlalu buru-buru, kan?"
Mei mengangguk paham. "Kalau begitu, bukannya lebih baik kamu terima tawaran dia buat pacaran dulu?"
"Kamu minta aku ralat keputusan aku di depan dia? Mau ditarok di mana wajahku? Malu, Mei! Aku nggak mau dianggap plin-plan dan main-main." Danisa memilih berbagi cerita dari pada menanggungnya seorang diri. Dia juga mau Mei tahu alasan dia tidak fokus kerja dari kemarin. Dengan begitu, ia mau tak ada salah paham di antara mereka ke depannya.
"Kamu nggak perlu ganti keputusan kamu, Dan. Setujuin aja kalian mau nikah, toh kata tuh cowok ada waktu 3 bulan buat saling ngenal. Dicoba aja, kalo cocok lanjutin, nggak cocok tinggalin, kurang puas ya tambah lagi aja masa pacarannya." Mei berusaha memberi masukan yang menurutnya terbaik untuk sang teman.
Danisa mengangguk pelan, dia paham maksud Mei dan menurutnya itu bukan ide buruk.
"Ethan ganteng, ganteng banget malahan. Nggak ada salahnya sih aku pacaran sama dia. Kalaupun putus nantinya, seenggaknya aku bisa pamer ke orang-orang kalau mantanku ganteng."
Mei tertawa mendengarnya. "Begitu saja! Kamu harus lebih fleksibel dengan apa pun yang terjadi sama hidup kamu. Disakiti boleh sedih, tapi jangan selamanya juga. Ada kesempatan buat hidup bahagia, ya diembat aja." Wanita itu terus memberi masukan untuk Danisa yang perlahan mulai mengubah pola pikirnya.
"Kamu bener. Kalau dipikir-pikir, aku akan terlihat bodoh di mata Mas Agus kalau aku jomlo seumur hidup. Sedangkan dia bahagia sama selingkuhannya. Aku nggak mau. Dia boleh nyakitin aku, tapi aku nggak mau disepelein dia."
Setelah sesi curhat yang cukup panjang itu, Danisa lalu pamit pulang. Dia berencana menyelesaikan pekerjaannya di rumah saja.
Namun, Danisa tak langsung pulang. Dia mampir ke pasar raya dan membeli beberapa bahan makanan. Dia mau memasak. Dia mau mengundang Ethan untuk makan mal bersama di apartemennya.
Setelah berubah pikiran, Danisa tampak begitu bahagia. Dia memasak dengan wajah yang senantiasa tersenyum. Dia masak beberapa masakan, dari rendang daging sapi, telur balado, cah kangkung dan juga tumis brokoli.
Tepat ketika makanan sudah selesai ditata di meja makan, terdengar ketukan pintu. Ethan sudah datang.
Pria itu dikejutkan dengan isi meja makan yang amat penuh. Dia mengerutkan kening, ada yang berbeda dengan Danisa. Ia takut jamuan malam itu hanya untuk menolak keinginannya untuk menikah.
"Apa ini? Candle light dinner?" tanya Ethan penuh tanya.
Danisa tersenyum. "Anggap saja begitu. Tadi aku lupa beli lilin, jadi ya anggep dinner aja."
Kening Ethan kembali berkerut. "Kamu nggak akan minta aku buat nggak ganggu kamu lagi setelah kita selesai makan malam, kan?"
Danisa terkekeh. Lalu dia menggeleng. "Enggak, Ethan."
Kerutan di kening Ethan makin dalam. "Atau kamu kasih racun di makanan ini?"
Kali ini Danisa menyeringai. "Kamu pikir aku akan sekejam itu? Kalau memang aku harus ngeracunin orang, mantan suami aku adalah orang pertama yang aku racunin. Yang kedua, selingkuhannya. Baru setelah itu kamu!"
Melihat Danisa marah dan bersikap kasar seperti biasa, Ethan akhirnya lega. Lebih baik disambut dengan tatapan tajam, dari pada senyuman yang meninggalkan banyak tanda tanya. Membuat Ethan takut saja.
"Jadi, aku boleh makan masakan kamu, nih?" tanya Ethan yang kini sudah duduk di depan meja makan.
"Kamu pernah makan masakan aku sebelumnya!"
"Itu mi, Danisa. Masaknya bentar. Ini beda, coba apa aja ini? Rendang aja masaknya pasti lama, kan? Belum yang lain."
"Bedanya apa?" tanya Danisa yang mulai berbicara pelan.
"Bedanya ada cinta di sini." Ethan mulai menggoda Danisa.
Wanita itu tersenyum. "Terus, kamu suka nggak?"
Ethan sangat terkejut dengan jawaban yang baru saja dia dengar. Tak ada bantahan, dia bertanya apakah mungkin Danisa sudah menerima perasaannya?
"Danisa, kalau benar ada cinta di semua makanan ini, mau apa pun rasanya, aku akan suka. Nggak peduli itu keasinan, hambar, bahkan pahit, aku akan habisin semua makanan ini. Semua cinta kamu cuma boleh buat aku."
Ethan sangat senang, dia benar-benar tak menyangka Danisa tak lagi menolaknya dengan alasan klasik tentang statusnya yang seorang janda.
Danisa tersenyum makin lebar. Dia malu, tapi juga bahagia.
"Kalau aku kasih racun di semua makanan ini, gimana?"
"Kalau itu racun cinta, aku siap mati demi kamu."
"Dih! Gombal! Sejak kapan kamu jadi tukang gombal begini?" Danisa mulai geli dengan rayuan Ethan.
Saat itu Ethan lalu menarik tangan Danisa yang duduk di depannya, digenggam dengan lembut dan penuh kasih sayang.
"Apa kamu setuju buat jadi pacar aku?" tanya Ethan dengan suara yang lemah lembut.
Danisa tak langsung menjawab, dia diam beberapa detik untuk memikirkan jawaban tepat agar tak salah bicara lagi.
"Aku mau jadi pacar kamu, tapi kamu harus tepatin janji kamu kalau kamu akan nikahin aku. 3 bulan cukup, kan?"
Danisa hanya mencoba saran dari Mei yang menurutnya benar. Terima saja tawaran dari Ethan, kalaupun akhirnya harus berpisah, setidaknya dia sudah berusaha membuka hatinya untuk orang lain.
Ethan senang, walau tak bisa bebas dengan kesenangannya. Waktu yang diberikan untuknya hanya 3 bulan, dia ragu apa waktu itu akan cukup untuk mempersiapkan pernikahan mereka. Namun, dia pun akan mencoba agar 3 bulan itu menjadi bulan-bulan manis yang ia lewati dengan hati berbunga-bunga.
Ethan mengangguk. "Aku janji," ucapnya tanpa banyak kata lagi.
Walau tak yakin dengan janji yang ia buat sendiri, Ethan tak main-main dengan perasaannya ke Danisa. "Kalaupun nantinya lebih lama dari waktu perkiraan, ya semoga aja nggak lama dari perkiraan."
"Dih, baru juga janji, udah mau ingkar janji aja." Danisa seolah mengeluarkan tanduk, ia kesal dan menarik tangannya dari genggaman Ethan.
Ethan tertawa terbahak-bahak. "Bukan gitu, tapi kan kita nggak tahu ke depannya. Manusia hanya berencana, Tuhan yang atur semuanya, kan?"
Danisa menyipitkan matanya. "Kalau kamu ingkar janji, kita putus setelah 3 bulan."
"Pacaran juga barusan diresmiin, udah bilang mau putus aja," ucap Ethan yang mengeluh dengan nada manja.
"Aku serius, Ethan. Kalau kamu nggak serius-" ucapan Danisa terhenti karena bibir Ethan sudah menutup bibirnya.
Kali ini ciuman Ethan berbeda dari sebelumnya, terasa lebih lembut dan itu membuat Danisa tak tertekan. Justru wanita itu menikmatinya. Rasanya mencoba menjadi pacar 3 bulan Ethan bukan keputusan yang salah. Sekali lagi, dia tampan dan itu sudah merupakan nilai plus yang nggak dimiliki semua orang.
Semoga saja keputusan Danisa tidak salah.