BAB 8 Keinginan Milena, Cermin Kejujuran, Dan Kalung Zamrud 3

749 Kata
Pasti ada sesuatu yang bisa digunakan untuk meraih cermin itu, pikirnya serius. Milena berjalan pelan mengamati benda yang ada di atas meja. Sebuah pena bulu menarik perhatiannya. Ia mengelus dagu, berpikir. Diraihnya pena bulu itu dan di seretnya sepanjang jalan menuju kotak besi tadi. Sang peri berdiri di depan kotak besi, mengamati dengan saksama. Pena bulu itu berada dalam genggamannya. "Baiklah. Ini hanya tes kecil." katanya bersemangat. Milena mengarahkan ujung runcing pena bulu itu pada kotak yang terbuka tadi. Ia menggunakannya untuk membuka kotak sedikit demi sedikit. Setelah cukup dalam jangkauan pandangan mata, ia melihat cermin kejujuran itu mengambang pada dimensi gelap yang tampak tak berujung di belakang cermin itu. Kotak apakah sebenarnya itu? Milena mulai merasa ngeri, bulu kuduknya berdiri. Semakin lama ia menatap pada dimensi gelap tak berujung itu, ia merasakan dorongan untuk masuk ke dalamnya. Kedua tangan Milena gemetar semakin hebat. Keringat dingin kembali menyerangnya. Ia menyentuh cermin itu dengan ujung pena bulu. Cermin itu bergoyang pelan di udara, lalu kembali diam. Ia harus mengambilnya dengan tangan kosong. Perutnya tiba-tiba mual. Milena meletakkan pena bulu di sisinya, memberanikan diri berjalan menuju cermin itu. "Ah... sebaiknya ini tidak sia-sia." katanya dengan suara berbisik. Matanya tak lepas dari kedua sisi kotak yang terbuka di kiri kanannya. Takut-takut akan tertutup sendiri. Wajah Milena memucat setiap kali ia melangkah ke arah cermin. Saat ini ia sudah masuk ke bagian dalam kotak besi itu. Tangannya terjulur di udara ke arah cermin itu. Lagi-lagi, ia menelan ludah gugup. Saat menyentuh tepiannya, cermin itu bergoyang kembali. Mata Milena menyipit. Kotak itu tak akan menutup saat aku meraih cermin itu, kan? Ia bertanya-tanya dalam hati. Jantungnya serasa ingin melompat keluar. Wajahnya sudah pucat pasi. Krek! Tangannya mencengkeram tepian cermin hingga tanpa sadar mencakarnya. Ia tersentak kaget. Lalu mendengus pelan. Kuku bodoh! umpatnya dalam hati. Matanya melirik ke kiri dan ke kanan, memastikan tak ada gerakan aneh dari kotak besi itu. Setelah merasa aman. Ia menarik pelan cermin itu dari tempatnya, semula Milena mengira cermin itu akan terasa berat. Tampaknya perkiraannya salah. Cermin itu hampir seberat kacang almond yang diambil dari rumah tupai bawahannya. "Beruntung sekali!" soraknya gembira. Cermin itu kini berada dalam pelukannya. Ia keluar perlahan dari dalam kotak besi, dan membaringkannya di atas buku mantra. Wajah Milena berseri-seri terlihat dari pantulan cermin. Terbersit di pikirannya untuk mencoba kehebatan cermin itu. Hanya saja, bagaimana ia menggunakan cermin itu? Milena kebingungan. "Eh... Uhm... Wahai cermin kejujuran... apa, ya?" Milena menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. Setidaknya ia harus mengajukan sebuah pertanyaan. Dan saat ini, ia tak tahu harus bertanya mengenai apa. Otaknya buntu. Milena mendongak ke arah jendela bundar, hari sepertinya akan segera gelap. Ia berbalik menatap tangga di belakangnya. Penyihir itu sepertinya pergi untuk waktu yang cukup lama. Pikirnya. Sang peri menghela napas lega. Ia kembali melihat pada cermin, kali ini sebuah pertanyaan muncul di kepalanya. "Wahai cermin kejujuran, aku ingin tahu. Apakah para penduduk desa begitu membenciku?" saat Milena melontarkan pertanyaan itu, permukaan cermin memperlihatkan sebuah gambaran kabur yang lama kelamaan semakin jelas. Perasaannya campur aduk. Ingin rasanya melempar cermin itu. Para penduduk desa tampak masih melakukan aksi demo mereka, kali ini mereka sampai membuat model berbentuk Milena dan membakarnya di tengah alun-alun kota. Mereka membakarnya layaknya Milena adalah seorang penyihir? Sebegitu bencinya para penduduk desa terhadapnya? Ia tak melakukan pengkhianatan seperti salah seorang peri yang bersekongkol dengan Katrina. Mereka sungguh melihat Milena bagaikan hal yang menjijikkan? Tidak bisa dipercaya! Ini tidak benar! Bukan aku yang seharusnya mereka salahkan! Protesnya dalam hati. "Cukup." Kata Milena pelan pada cermin itu. Dan cermin itu kembali normal. Kepalanya tersentak ke belakang, alih-alih melihat wajahnya yang marah karena perlakuan tak suka dari penduduk desa, ia melihat air mata mengalir di kedua pipinya. Air mata itu mengalir menuruni pipinya dan membasahi permukaan cermin. Milena membersihkan permukaan cermin itu dengan mengusapkan kedua tangannya. Pantulan wajahnya kini terlihat tak beraturan. Malam semakin larut, ia perlu menyusun rencana untuk keluar dari ruangan itu. Mungkin tak ada salahnya jika tidur sebentar. Itu baik untuk otak. Begitu menurutnya. Dengan pikiran seperti itu, ia menyeret cermin ke meja seberang. "Cermin ini lumayan juga kalo diseret. Aneh sekali." komentarnya ketus. Milena menyandarkan cermin itu dengan posisi horizontal pada kurungan yang menahannya sebelumnya. Ia duduk termangu dengan memeluk kedua tumitnya, memandang pantulan dirinya melalui cermin. Sayapnya tak bisa dikepakkan, terlanjur mati rasa meski telah meminum pil P3K sebelumnya. Apa yang akan terjadi selanjutnya? Pikir Milena dengan perasaan cemas. Akhirnya ia tertidur dengan perasaan campur aduk, merasa lelah dengan semuanya. Entah apa yang akan terjadi padanya nanti. []

Baca dengan App

Unduh dengan memindai kode QR untuk membaca banyak cerita gratis dan buku yang diperbarui setiap hari

Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN