BAB 1 Milena dan Keonaran (1)
Seperti biasa, hutan yang berada di sisi salah satu kota besar di Colorado ramai dengan aktivitas di sana-sini, baik yang kasat mata maupun tidak. Udara sore itu juga tidak begitu terik. Daun-daun yang semula berwarna hijau kini mulai terlihat menguning, batang-batang pohon mulai mengkerut seiring berlalunya hari.
Hewan-hewan kecil berlarian di batang-batang pohon, kupu-kupu yang beterbangan mencari makan, semut-semut yang berjajar rapih menuju sarangnya, beruang yang sibuk mencari ikan di sungai, serta kegiatan makhluk-makhluk penghuni hutan lainnya.
Oh! Tak lupa dengan para penghuni hutan tak kasat mata! Mereka juga sibuk menyiapkan persediaan untuk musim dingin yang akan segera tiba dalam beberapa minggu ke depan. Di saat semua penghuni tak kasat mata itu sibuk bekerja, pada salah satu batang pohon Oak yang tinggi, seorang peri ( jenis peri bertubuh kecil dan bersayap seperti Tinker Bell atau biasa disebut fairy) tampak tertidur lelap. Rambutnya halus, pirang gelap, dan terurai hingga ke pinggang, telinganya lancip dengan bentuk yang lentik, dan sayap yang indah terkulai indah di punggungnya.
Dia tertidur begitu pulas. Wajahnya yang cantik rupawan seakan-akan dirinya adalah seorang putri tidur dari negeri peri. Peri cantik itu tertidur begitu pulas dan damai, jika ada yang melihatnya saat itu juga, maka orang itu akan terkesima dan terpana akan pemandangan indah itu.
Namun, semua itu hanyalah ilusi semata. Karena peri yang satu ini, meski terlihat bagaikan makhluk terindah dan anggun, peringainya sangat buruk. Di dunia peri, ia amat terkenal karena tingkah lakunya yang suka berbuat kekacauan. Wajahnya memang cantik rupawan, hal itu tak terbantahkan dari sekian banyak peri laki-laki yang telah berusaha merebut hatinya, responnya hanya berupa gelak tawa dan ia akan menjulurkan lidah pada siapapun yang mengungkapkan isi hatinya padanya. Tak jarang hal itu membuat peri perempuan lainnya cemburu dan kesal, mungkin, seantero dunia peri tak menyukainya. Mereka tak bisa berbuat apa-apa dengan tingkah laku peri tersebut dikarenakan ia adalah salah satu keturunan terakhir dari empat peri legendaris yang pernah ada. Bahkan para tetua-pun tak bisa berbuat apa-apa terhadapnya.
Dari kejauhan, beberapa peri tampak sibuk bekerja sama mengangkut buah arbei dalam gulungan daun yang besar.
"Lihat! Dia malas-malas lagi!" gerutu seorang peri perempuan dengan sayap sedikit bengkok. Pandangan matanya menyipit tak senang melihat peri pemalas tersebut enak-enakan tidur sementara yang lainnya sibuk bekerja.
"Hentikan sikapmu, Lucinda! Kau tak mau menjadi peri jahat, kan? Biarkan saja dia! Seorang tetua bilang kalau kau terus berurusan dengan Milena, kau akan menjadi salah satu peri jahat buangan. Peri pemarah itu mengarah kesana, menjijikkan! Aku heran, dengan kelakuannya dan tabiat buruknya yang suka marah-marah dan mengacau itu, kenapa dia harus memiliki tampilan fisik yang begitu sempurna?! Dia itu sungguh mengerikan!" peri di sampingnya bergidik.
"Kau benar, padahal dia peri tercantik yang pernah kutemui selama ini." Alfred menghela napas panjang, sayapnya berkepak lambat hingga nyaris membuat buah arbei jatuh dari gulungannya.
"Kenapa para pria hanya melihat dari segi fisik saja!" koar Lucinda galak. "Frida! Kau adalah peri tercantik bagiku! Kau baik, suka menolong, wajah juga tak kalah darinya! Kenapa harus dia yang mendapat gelar itu?"
Frida hanya mengerucutkan bibirnya dan mengerutkan kening. Matanya yang indah melirik diam-diam pada Alfred di belakang Lucinda, peri laki-laki itu menatap dengan mata sayu pada Milena, peri yang mendapat julukan Peri Pemarah (dia memiliki banyak julukan, namun sifatnya yang pemarah lebih menonjol ketimbang yang lain).
"Berhenti membicarakan orang lain. Sangat tidak pantas! Hari sebentar lagi sore, kita masih ada pekerjaan setelah ini." Grace yang berada di belakang Frida memperingatkan dengan nada mencemooh.
Mereka bertiga hanya diam seribu bahasa, Grace adalah peri tertua di antara mereka bertiga, mau tak mau pembicaraan itu berhenti sampai disitu.
Peri cantik tadi, Milena, masih saja tertidur pulas. Dari atas pohon, tiba-tiba sebuah buah arbei mendarat di kepalanya hingga ia terbangun, ia berteriak kesakitan dan mengumpat di udara kosong. Sayapnya terbentang indah di punggungnya, ia menggosok-gosok kepalanya, kesakitan.
"Siapa yang berani-berani melempar arbei ke kepalaku?" Milena terbang di sekitar pohon tersebut, mencari-cari pelakunya, dalam hati ia sudah berniat memukul wajah penjahat yang telah mengganggu tidurnya tadi.
Seekor tupai melihat aksi Milena beterbangan kesana kemari bak komedi putar di siang hari.
"Kau!" tunjuknya galak dengan mata melotot pada Sang tupai. Tupai itu keheranan, kepalanya dimiringkan ke kanan. " Apa kau yang melempari kepalaku?" Milena terbang mendekati tupai itu sambil berkacak pinggang. "Katakan sesuatu!" tuntutnya marah.
Tupai itu hanya mengamati Milena dari ujung kaki sampai ujung kepala. Tanpa disadari Milena, tupai itu berusaha meraihnya.
"Setelah melempariku, kau mau memakanku?" nada suara Milena naik satu oktaf.
Dari balik pohon di seberang, seorang peri terkikik melihat pemandangan itu. Lalu ia terbang menujun arah di belakangnya, dari jauh, tiga peri lain menunggu dengan was-was.
"Ok, Grace! Darimana saja kau? Kau bilang hanya sebentar!" protes Lucinda.
Tapi Grace tak langsung menjawab pertanyaan itu, tawanya meledak tak karuan. Mereka bertiga keheranan.
"Apa ada yang lucu? Halo?" sindir Lucinda.
Grace tersenyum puas dan berkata dengan nada bangga. "Aku melempari buah arbei ke arah Milena yang sedang tertidur, dan sekarang dia berbicara layaknya orang gila pada seekor tupai!"
Hening sejenak, lalu tawa Frida dan Lucinda pecah. Alfred hanya menghela napas panjang disertai senyum kecut di wajahnya. Mereka melanjutkan perjalanan, Grace bercerita jikalau dirinya sudah lama ini ingin melakukan hal itu. Sabar dan diam menghadapi Milena adalah hal yang sia-sia, mereka harus melakukan sesuatu padanya yang membuatnya jera.
"Apa dia baik-baik saja? Kau tahu, kan, arbei itu tidak kecil." Tanya Alfred, cemas.
"Jangan bodoh! Kepalanya itu keras seperti batu! Sama seperti sifatnya!" Lucinda terbahak lebih keras dari sebelumnya. "Dia pantas mendapatkannya. Tak kusangka kau akan bersikap seperti itu." Ia mengedipkan mata pada Grace.
"Sesekali kurasa bukan masalah." Ia tersenyum puas. "Ayo! Nyonya Malissa akan memarahi kita jika terlambat."
Ketika keempat peri itu, yah, lebih tepatnya tiga peri itu berlalu dengan hati puas, di tempat lain, kemarahan Milena memuncak. Ia menghukum tupai tak bersalah itu dengan mengikat salah satu kakinya dengan sulur dan posisi kepala terbalik. Makhluk malang itu meronta ketakutan. Milena terbahak kegirangan, mengumpatkan berbagai macam sumpah serapah sembari terbang mengelilingi tupai itu dalam formasi lingkaran. Ia menjulurkan lidah, lalu sesekali menari kegirangan.
"Jika kau tak mau berurusan denganku, maka jangan melempari buah arbei padaku! Kau tahu kepalaku sangat berharga!" Koarnya galak.
Tupai malang itu tampak ketakutan, raut wajahnya memucat, tampak ingin berkata 'bukan aku
pelakunya', namun ia hanyalah tupai yang lagi sial hari itu, ia tak mampu mengatakan apapun, ia bahkan tak bisa berbicara bahasa peri! Tupai itu semakin ketakutan, ia menutup mata kuat-kuat—tubuhnya bergelantungan ke kiri dan ke kanan, Milena dengan sengaja menggantungnya pada batang pohon tertinggi di hutan itu.
"Uhm. Tampaknya kau bukan pelakunya." Milena mengernyitkan kening, terbang mendekati tupai itu, ia mengamatinya dengan seksama. Tanpa bicara, siapapun tahu kalau tupai itu tak melakukan hal tersebut. Milena merapatkan tangan ke d**a, terbang naik turun, berputar mengelilingi tupai itu, lalu tersenyum menyeringai.
***