"Hanya ada satu hasil akhir yang bisa aku bayangkan." Bartamiel tampak ngeri sejenak, "dia akan berakhir dalam stoples dingin di atas rak." Ia mengerling Spicklose yang kini mulai gemetar.
"Bartamiel?"
"Apa lagi sekarang?"
"Kau tahu?" ia menggerak-gerakkan jari-jarinya, agak gelisah, "mungkin… Milena tak seburuk yang kita pikirkan."
"Kenapa kau berkata demikian?" Matanya memicing.
"Entahlah, "dia mengedikkan bahu, "hanya merasa seperti itu. Aku tak bisa membayangkan jika dia benar-benar diawetkan di dalam stoples dingin," raut wajahnya berubah sedih, "itu terlalu kejam, bahkan untuk peri pemarah dan pembuat onar sepertinya."
Bartamiel hanya diam seribu bahasa, matanya bergerak-gerak dari kiri ke kanan, tampak memikirkan sesuatu, namun ia tak mengomentari perkataan Spicklose. Ia berjalan kembali ke posisi jaganya dan merenung seorang diri.
Spicklose yang melihat hal itu hanya bisa menghela napas panjang.
***
"Terima kasih! Terima kasih! Hutan sungguh bijak!" Kata Alfred tulus, ia perlahan terbang rendah menuju Milena yang tengah membersihkan lengannya dari debu penyamaran di atas batu tepian sungai.
"Ada apa denganmu? Kenapa kau berkata begitu?" Milena memasang tampak galak, masih marah dengan kejadian sebelumnya di kedai.
"Aku pikir aku tak akan bisa menyusulmu." Dia terkekeh.
"Menyusulku? Untuk apa?" Milena mencelupkan kain ke air sungai, lalu memerasnya. Ia memandang Alfred penuh curiga.
"Pihak kerajaan sudah memberikan pengumuman resmi tentang keberadaan penyihir di jalan utama. Aku mencemaskanmu, makanya aku cepat-cepat mencarimu, takut-takut kau akan berpetualang sendirian lagi di hutan seorang diri." Kekehnya canggung.
"Benarkah? Itu bagus." Milena tersenyum lebar.
"Yeah. Dan berita bagusnya, pihak kerajaan akan mencabut status tersangka darimu, yang harus kau lakukan adalah jangan berbuat kacau sampai matahari terbenam." Alfred hendak memeluk Milena, tapi alih-alih melakukan itu, dia hanya menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal.
"Hah! Mereka salah minum obat?" Dengus Milena.
"Aku mohon padamu! Kali ini, berhentilah bersikap menyebalkan dan keras kepala. Ikutlah denganku ke kedai, kita bisa memulai semuanya di sana. Aku akan memperkenalkanmu dengan Gustraf, dia koki yang hebat!" bujuknya tulus.
"Pria berotot itu? Maaf, tapi aku tak tertarik. Aku punya urusan untuk diselesaikan." Milena berdiri dan menepuk-nepuk roknya yang berjumbai indah.
"Tidak tertarik? Urusan?" Alfred mengerjap cepat. Mulutnya terbuka lalu tertutup lagi, lalu menarik kedua bahu Milena dan menatapnya dengan intens. "Jangan bilang kau akan pergi mencari cermin kejujuran itu!"
"Kau sudah tahu rupanya, aku tak perlu repot-repot memberitahumu kalau begitu." Katanya enteng.
"Apa kau sudah gila? Pihak kerajaan sudah memberimu sebuah kesempatan emas! Buat apa lagi cermin kejujuran itu? Lagi pula kau tak tahu ukuran cermin itu, kan?! Bagaimana kau akan mencuri dan membawanya pulang? Lebih pentingnya lagi! Pemiliknya adalah penyihir kegelapan!" Alfred mencengkram rambutnya sendiri seperti orang stres, dia hilir mudik dengan perasaan campur aduk, sayapnya berkepak cepat sesaat mirip burung kolibri.
"Aku punya rencana. Dan tenang saja, aku punya debu ini." Milena menggoyangkan pinggulnya, menunjukkan sebuah kantong kain kecil ungu tergantung di sisi pinggangnya. "Tak salah aku mencurinya dari peri tua itu." kekehnya puas.
"Itu bukan alasan! Hentikan niatmu! Dan ikut denganku! Aku tak bisa membayangkan dirimu diawetkan dalam stoples dingin atau hal buruk lainnya!" Dia menarik paksa Milena untuk terbang bersamanya.
"Hentikan! Ada apa denganmu?" Milena memberontak.
"Aku tak akan berbaik hati kali ini." Alfred mencengkram kuat tangan Milena dan menyentaknya ke udara. Milena nyaris tersungkur, namun ia menjejakkan kaki di batu untuk dijadikan dorongan, melesat bagaikan roket dan menabrak tubuh Alfred cukup keras di udara. Tubrukan itu membuat mereka jatuh di rerumputan yang mulai mengering. Milena terguling di rerumputan kering, sedangkan Alfred membentur bunga besar di sampingnya dan terpental ke arah ranting kering dengan perut terlebih dahulu. Ia jatuh terlentang di rerumputan.
Milena meringis kesakitan, ia tak terluka sama sekali, hanya sedikit pusing. Pandangannya kabur sejenak, mengerjapkan mata lalu setelah mulai membaik, matanya mencari-cari di mana gerangan Alfred terjatuh.
"Alfred! Alfred! Kau di mana?"
Ia terbang rendah dengan perasaan cemas mencari Alfred di balik rerumputan kering. Meski marah padanya, rasa bersalah menyerangnya, bagaimana jika teman semasa kecilnya itu terluka? Ia memutuskan terbang cukup tinggi untuk mengamati keadaan di bawah sana, dan segera melihat sebuah tangan terjulur keluar dari balik dedaunan cokelat.
"Alfred!" Pekik Milena, sayapnya melesat cepat menuju dedaunan itu. Ditariknya dedaunan besar dan mendapati Alfred mengerang kesakitan.
"Ah… Milena...." Erang Alfred.
"Kau tak apa-apa? Di mana yang sakit?" Milena meraih wajah Alfred, menepuk-nepuknya supaya sadar.
"Milena... Jangan pergi..." Pintanya dengan suara lemah.
"Oh, Alfred! Maafkan aku! Aku tak berniat melukaimu! Tahan sejenak! Aku akan melepas bunga pertolongan, mereka akan segera menemukanmu dan mendapat perawatan." Ia menaruh kepala Alfred dengan hati-hati kembali, lalu merogoh satu kantong kain merah di pinggangnya.
Tangan Alfred segera mencegatnya. "Kau masih tetap akan pergi?"
"Kau tahu betul, aku punya rasa ingin tahu yang tinggi dan ketika aku berniat, tak ada yang bisa menghentikanku." Ia menatap Alfred dengan raut wajah bersalah.
"Oh... Milena… Milena...." Erangnya merana, ia tak bisa berbuat apa-apa dengan kondisinya saat ini, perutnya terbentur hebat.
Sesaat setelah Alfred menyebut namanya dalam kepedihan yang teramat dalam, di tangan Milena terdapat sebuah bunga terompet kuning kecil, lalu membisikkan sebuah kalimat. "Frida, Alfred terluka di tepian sungai yang jarang dikunjungi, di dekat batu besar, di samping batang pohon besar yang mengering. Ia tak bisa menggerakkan tubuhnya. Cepatlah! Alfred, katakan sesuatu, atau dia tak akan percaya, " Milena menyodorkan sudut yang mirip corong ke mulut Alfred.
"Milena, hentikan...." Ucapnya dengan nada kesakitan.
"Yup! Ini cukup!"
Milena menarik bunga itu kembali lalu menaburinya dengan serbuk berwarna seputih s**u. yang sudah dibisikkan sesuatu sebelum membubuhkan pada bunga terompet yang kini perlahan demi perlahan mengambang di udara. Bunga itu melesat bagaikan peluru dan menghilang dari pandangan.
"Ini, telan ini, setidaknya akan cukup membuat sakitmu sedikit mereda." Milena menyuapi Alfred dengan sebuah pil kecil berwarna kuning keemasan.
Alfred tak usah bersusah payah menelan pil itu, sebab pil itu akan lumer dengan sendirinya di dalam mulut, ia meraih tangan Milena dan menatapnya dengan penuh kekhawatiran, berusaha mencengkram tangan peri yang disukainya itu agar tak bisa pergi darinya.
"Alfred, kau tahu, kau tak sekuat tadi, tubuhmu lemah saat ini, apalagi dengan efek pil penahan rasa sakit tadi." Ia mengelus rambut Alfred dengan penuh perhatian.
"Mi-le-na…" Suara Alfred perlahan mengecil, pandangan matanya mulai kabur.
"Aku menaruh buah curian itu di batang pohon persedian paling tinggi, tempat pakaian drama tahunan disimpan. Ada ruangan rahasia di samping lemari penyimpan perlengkapan, kau ketuk tiga kali, maka ruangan itu akan terbuka. Di sana juga ada persediaanku, jadi jangan kau ambil semua, Alfred." Terangnya seraya mengingatkan Alfred yang kini mulai menutup mata perlahan gara-gara kantuk yang menyerangnya.
"Mi—."
Kalimatnya tak selesai, efek obat itu sudah menguasainya sepenuhnya, Milena hanya tersenyum samar, merapikan posisi Alfred dan terbang meninggalkannya seorang diri di sana.
"Maafkan aku, Alfred." Bisiknya samar-samar. "Penduduk desa harus merasakan balasan dariku." Geram Milena, tangannya mengepal kuat.[]