Beberapa hari ini sikap pak Irfan tampak sangat berbeda. Dia terlihat menghindar dariku, entah mengapa beliau bersikap demikian. Apa beliau marah ketika aku menolaknya pergi makan siang Sabtu lalu? Tapi itu bukan pertama kalinya aku menolak ajakannya. Namun tidak pernah pak Irfan bersikap seperti ini.
“Maaf Pak, ini back up data yang sudah Windy revisi. Bisa bapak bantu periksa? Sebab tadi pagi pak Viro menelepon menanyakan Dokumen Back Up yang belum clear.” Aku menemui pak Irfan di ruangannya untuk memberikan dokumen.
Biasanya beliau yang gigih menanyakan dokumen-dokumen proyek ataupun masalah lainnya padaku. Aku bahkan sangat jarang menemui beliau di ruangannya karena biasanya beliau yang menemuiku.
“Bailklah, letakkan saja di sana. Nanti saya periksa.”
Apa? Mengapa kali ini beliau malah menyebut dirinya dengan saya? Biasanya beliau menyebut dirinya abang, tapi hari ini sangat berbeda. Apa yang salah denganku?
“Windy balik ya pak, kalau perlu apa-apa bapak bisa telepon Windy saja.”
“Hhhmmm.” Jawabannya sangat dingin, bahkan tak sedikit pun dia menoleh ke arahku.
Aku pun berlalu dari ruangan pak Irfan menuju ruanganku. Aku sangat kecewa dengan sikap dingin pak Irfan. Memang aku sudah melakukan kesalahan apa? Aku sudah melaksanakan semua tugas-tugasku dengan baik. Bahkan tagihan MC bisa kuselesaikan sendiri. Yang aku ingat kesalahanku cuma satu, yaitu menolak ajakan makan siang dari pak Irfan.
“Ada apa kak?” Vivi memecah lamunku.
“Vi, pak Irfan kenapa ya? Kok sikapnya aneh banget ya belakangan ini, dia tampak sangat dingin dan cuek.” Aku menghela napas panjang.
“Duch ... yang lagi sedih nggak digodain lagi, hahaha.” Vivi malah meledekku.
“Apaan sich ach, kakak serius nich.” Aku melemparnya dengan bongkahan kertas. Itu adalah kebiasaan kami ketika sedang bercanda, maka saling lempar barang. Tentu saja bukan barang yang berbahaya.
“Tapi emang iya sich kak, semenjak kemaren bang Irfan memang tampak murung, mungkin masalah keluarganya semakin pelik kak.”
“Tapi kak lihat tadi pagi masih bercengkrama baik dengan kak Reno dan Refa.”
“Perasaan kakak aja kali, atau jangan-jangan kakak udah jatuh cinta ya sama bang Irfan? Hahaha.”
Kali ini aku hanya diam. Mungkin apa yang dikatakan Vivi ada benarnya. Aku sudah menaruh hati pada pak Irfan. Namun sayang, perasaan itu harus kupendam karena aku sudah memutuskan menerima permintaan mbak Nurul. Semenjak pertemuan minggu lalu, mbak Nurul belum ada menghubungiku lagi. Apa mbak Nurul berubah pikiran? Entahlah, aku belum bisa mereka-reka. Tapi jika benar mbak Nurul memang berubah pikiran, aku rasa itu jauh lebih baik.
Aku pulang terlambat hari ini karena ada data yang mesti kuselesaikan sekarang. Vivi sudah pulang 10 menit yang lalu. Gedung ini mulai sepi. Tapi aku masih setia di depan layar komputerku. Tiba-tiba kulihat pak Irfan keluar dari ruangannya menuju pintu utama, kebetulan ruanganku berada di samping pintu utama. Aku segera bangkit dan mengejar pak Irfan. Aku ingin minta penjelasan atas sikap pak Irfan terhadapku.
“Pak, tunggu.” Pak Irfan menghentikan langkahnya.
“Ada apa?” Pak irfan menjawab tanpa menoleh.
“Maaf, Windy salah apa ya sama pak Irfan? Mengapa bapak bersikap seperti ini ke Windy?”
“Aku sedang banyak masalah.” Pak Irfan berkata sambil melangkah.
“Pak, biasanya bapak tidak pernah bersikap dingin ke Windy? Bahkan untuk masalah laporan pun, bapak dingin. Windy bingung harus bersikap bagaimana. Masalah pribadi jangan dibawa-bawa ke kantor pak.” Aku berkata sedikit berteriak, di gedung ini memang tidak ada siapa pun lagi.
Pak Irfan berbalik dan mulai menghampiriku.
“Windy benar, maaf, harusnya saya tidak kekanak-kanakan. Lagi pula abang tidak pantas sebenarnya marah ke windy, karena Windykan bukan siapa-siapa abang.” Tidak ada senyum di wajah pak Irfan.
“Maksud bapak?”
“Tidak ada, abang pulang sekarang ya. Oiya, salam untuk pacar Windy. Semoga langgeng dan cepat nikah.” Pak Irfan berlalu di balik pintu kaca gedung ini.
Apa maksud pak Irfan berkata seperti itu? Tidak pantas marah? Bukan siapa-siapa? Salam untuk pacar? Apa maksud semuanya itu? Aku sungguh bingung. Perkataan pak Irfan tadi tiba-tiba membuat kepalaku sakit. Aku memutuskan untuk menyelesaikan laporan ini di rumah karena ini terlalu sore.
-
-
-
-
-
POV Irfan
Senin lalu aku memutuskan untuk tidak berangkat kekantor karena kepalaku sakit. Aku juga enggan menemui Windy. Kebersamaan Windy dengan seorang pria di tepi pantai terus menghantui pikiranku. Aku begitu cembru melihat semuanya. Aku sadar bahawa aku bukanlah siapa-siapanya Windy, namun perasaan ini tak mampu kukendalikan. Aku mencintai Windy.
Siang ini dia menghampiriku keruanganku. Seharusnya aku senang Windy menghampiriku kesini. Ini untuk pertama kalinya Windy menemuiku di ruanganku semenjak dia bekerja di perusahaan ini. Namun aku berusaha bersikap acuh terhadapnya. Aku tak berani menatap Windy karena akan membuat hatiku semakin tak terkendali.
Aku bahkan berniat untuk pindah ke cabang perusahaan yang di Pekanbaru. Pak Felix—direktur Utama kami—pernah menawarkanku untuk mengelola kantor cabang. Aku akan diangkat sebagai Direktur di sana. Namun aku menolak tawaran itu karena tidak ingin jauh dari Windy. Aku sudah mempersiapkan diri suatu saat nanti akan mengungkapkan perasaanku padanya. Namun kenyataannya aku hanya bisa merasakan perih, wanita yang aku kagumi lebih memilih pria lain.
“Selamat siang Pak.” Akupun menemui pak Felix di ruangannya. Beliau adalah laki-laki paruh baya yang masih semangat mengurus beberapa perusahaannya.
“Eh, Irfan, masuklah.”
“Maaf pak, saya kesini ingin menanyakan apakah tawaran bapak waktu itu masih berlaku.”
“Tawaran yang mana ya?”
“Bapak pernah menawarkan saya untuk mengelola kantor cabang yang di Pekanbaru, apakah masih berlaku pak?”
“Apakah Anda serius ingin menerima tawaran itu?”
“Saya serius pak.”
“Baiklah, tawaran itu masih berlaku, karena Tomy ingin fokus mengelola perusahaan yang di Padang saja, katanya.” Pak Tomy adalah putra dari pak Felix, beliau adalah Direktur di perusahaan ini.
“Maaf pak, bagaimana dengan proyek Agam dan Proyek Pariaman? Apakah bapak sudah punya pengganti General Superintendent untuk kedua proyek itu?”
“Sonia akan menggantikan disana. Walau dia masih baru, tapi secara administrasi dia sudah bisa diangkat jadi General superintendent. Setidaknya secara tertulis dan tandatangan dokumen. Untuk pengelolaan real, akan dilakukan oleh Pak Rahmad.”
Pak Rahmad adalah senior di perusahaan ini. Secara kemampuan beliau sudah di atas rata-rata. Namun sayang, pendidikan beliau yang hanya lulusan SMK tidak bisa diberikan jabatan secara resmi.
“Baiklah pak, Pak Rahmad sangat berkompeten dalam mengelola proyek-proyek besar. Saya percaya padanya.”
“Oke kalau begitu, besok dokumen-dokumen kepindahan anda akan diurus. Semoga lusa anda sudah bisa langsung berangkat ke Pekanbaru.”
“Baiklah pak, Terima kasih.” Aku pun menyalami pak Felix.
Aku sebenarnya bingung dengan perasaanku sendiri. Mendengar jawaban pak Felix justru membuatku semakin Nelangsa. Aku harus siap berpisah dari Windy dan Kenzo. Sementara aku tidak peduli dengan Ita, dia bukanlah masalah penting bagiku. Aku sudah siap berpisah dengan Ita.
“Pak Tunggu.” Aku mendengar Windy memanggilku.
Aku tak berani menatapnya karena hanya akan membuatku semakin duka. dia menanyakan beberapa hal yang tentu saja tidak mampu aku jawab dengan jujur. Aku tidak siap menerima penolakan dari Windy.