BAB 5 – Jatuh Hati

1351 Kata
Belum sampai di lokasi proyek, mobil pak Irfan berhenti di sebuah kedai sate, tepatnya sich restoran sate. “Windy, kita sarapan dulu ya.” Pak Ifran membuka safebeltnya. Akupun mengikuti seraya menganggguk. Pak Irfan adalah General Superintendet atau kepala proyek pada dua proyek pengerjaan Jalan dan Jembatan yang dipercayakan oleh Dinas Pekerjaan Umum kepada perusahaan kami. Secara materi beliau cukup mapan, itu menambah kekagumanku padanya. Yang aku tau, pak Irfan juga tidak pernah meninggalkan shalat lima waktu. Namun ah, apa yang kamu pikirkan Windy. Dia itu suami orang, jangan jadi benalu. Jangan rusak harga dirimu dengan sebutan “pelakor” nantinya. Akupun menghela napas, entah apa yang mengotori otakku pagi itu. Selesai sarapan, kami melanjutkan perjalanan menuju lokasi proyek yang berada di Kabupaten Agam. Memang ada sedikit masalah di sana. Aku yang bertugas sebagai administrasi proyek juga dibuat pusing oleh banyaknya data yang salah dan protes dari Konsultan Pengawas dan PU sebagai owner proyek tersebut. Gambar perencanaan dengan shop drawing  tidak sejalan. Hasil di lapangan pun kacau padahal progress  pekerjaan sudah mencapai empat puluh persen. Tentu saja hal itu membuatku semakin penat dan stress. Sepanjang perjalan pulang aku lihat raut wajah pak Irfan agak kusut. Aku tau, sebagai penanggung jawab proyek dan sebagai pemimpin tertinggi di proyek itu, beliau bertanggung jawab penuh terhadap kekacauan yang terjadi. “Bapak sabar ya, nanti kita selesaikan sama-sama.” Aku mencoba memecah keheningan, karena memang pak Irfan tidak menyetel lagi radionya, padahal perjalan kami sudah lebih dari tiga puluh menit. Itu artinya beliau memang sedang dalam tekanan. “Kenapa ya Ndy, hidup abang koq kusut sekali.” Pak Irfan memang selalu memanggil dirinya abang, tidak hanya kepadaku tapi juga kesemua rekan kerja wanita di kantor kami. “Bapak jangan bicara seperti itu, Allah menitipkan ujian ke Bapak, itu artinya bapak sangggup dan kuat untuk menghadapinya. Lagipun nich ya pak, kalau bapak berhasil melaluinya, bapak akan naik kelas,” jawabku dengan luwes, entah kenapa kekakuanku tiba-tiba menghilang. “Naik kelas berapa Ndy?? Kelas lima atau kelas enam, hahaha,” jawabnya seraya tertawa. Syukurlah pak Irfan masih bisa tertawa. “Maafkan abang ya Ndy, di rumah abang memang banyak sekali masalah, sehingga membuat abang tidak fokus terhadap proyek yang kita kerjakan kali ini.” Pak Irfan menyeka wajahnya dengan tangan kanan, matanya masih fokus pada jalanan. Sementara tangan kiri masih memegang setir mobil. “Mungkin abang akan menerima saja permintaan cerai dari istri abang.” Tiba-tiba Pak Irfan mengatakan hal yang sebenarnya tidak ingin aku dengar, dia mengatakan hal pribadi kepadaku, disaat kami berdua saja di mobil ini. “Apa yang pak Irfan katakan? Jangan seperti itu pak, Ingatlah dia itu istri Bapak, Ibu dari anak-anak bapak. Beliau bertaruh nyawa demi Kenzo, masa bapak tega mengatakan hal itu?” jawabku mencoba merespon apa yang disampaikan pak Irfan. Kenzo adalah anak semata wayang pak irfan, sekarang berusia sebelas tahun. “Tapi aku sudah tidak sanggup lagi Ndy. Terlalu banyak tekanan, terlalu banyak tuntutan. Aku lelah bertahan.” “Jangan pak, coba pikirkan lagi, cari konselor yang tepat, Insyaa Allah akan menyelesaikan masalah Bapak. Windy dulu juga pernah di posisi Bapak. Pada saat usia pernikahan Windy masuk ke delapan tahun. Windy melayangkan gugatan cerai ke Pengadilan Agama. Namun takdir berkata lain, masing-masing kami bertemu dengan konselor yang tepat. Alhamdulillah kami berdua sama-sama berubah dan sangat berbahagia hingga kejadian mengerikan itu datang memisahkan kami, selamanya.” Aku tidak mampu membendung air mataku pada saat membayangkan lagi kejadian nahas yang menimpa bang Dika. Aku memalingkan wajahku ke arah jendela agar pak Irfan tidak melihat air mata ini mengalir. Namun sepertinya pak Irfan tau apa yang terjadi pada diriku. Dia memberikan 2 helai tisu. “Maafkan abang ya Ndy. Karena abang, Windy jadi sedih.” Aku menerima tisu itu dan hanya menggeleng dan tersenyum kecil, tak memberikan jawaban apa pun. Hingga sampai di rumah, kami hanya diam seribu bahasa di mobil. Pak Irfan akhirnya menghidupkan juga radionya untuk memecah keheningan diantara kami. Jam delapan lewat lima belas malam,  aku sudah sampai di rumah diantar pak Irfan. Seperti biasa, banyak mata tetangga yang memandangiku. Aku sengaja tidak menawari pak Irfan mampir, karena hanya akan membuat heboh di kampung ini. Setelah aku turun dari mobil, aku menyapa hangat beberapa orang yang tengah duduk di salah satu teras rumah tetanggaku. “DARI MANA ...,” teriak salah seorang wanita paruh baya dari pintu rumahnya. “Dari Agam, Tek. Melihat proyek.” Etek adalah panggilan hormat kepada wanita yang tua di daerahku, artinya sama dengan bibi. “OWHHH, GAK MAMPIR DULU TEMANNYA ITU,” teriaknya lagi. Aku paham arah pembicaraannya. Aku mengena terhadap sindirannya, tapi aku berusaha tenang. “Enggak Tek, beliau buru-buru.” Kataku sembari berlalu di balik pintu rumah. - - - - - Seperti hari-hari biasa, aku selalu terbangun pukul 4 dini hari. Betapa pun lelahnya fisikku, mataku seperti sudah terinstall bangun jam segitu. Terkadang aku terbangun jam 3 dini hari, tapi tak pernah lewat dari jam 4. Kuambil sekantong ikan di dalam freezer dan kumasukkan kedalam sebuah wadah berisi air agar es dalam ikan itu bisa mencair. Lalu kutuang air panas dari temos kedalam wadah lainnya yang sudah kububuhkan garam halus dan kumasukkan potongan-potongan kecil tahu ke dalam air panas itu. Sembari menunggu es dalam ikan mencair dan garam meresap kedalam tahu, aku pun seperti biasa mengambil air wudlu untuk kemudian melaksanakan shalat tahajjud. Ku intip ke kamar, anak-anak masih tertidur lelap. Langit sekamar dengan Rian dengan kasur springbed bertingkat. Sementara Dian tidur sendiri di kamar bekas neneknya dan Mentari tidur denganku di kamar kami. Seusai melaksanakan shalat, aku pun langsung menuju dapur kembali. Membubui ikan yang sudah kurendam tadi. Menyiapkan bawang merah, bawang putih dan cabe yang nanti akan kugoreng bersamaan dengan tahu dan ikan. Aku memang terbiasa memasak setiap subuh seperti ini, karena Mentari dan Langit harus membawa bekal ke sekolah. Tak lama Rian dan Dian pun bangun. Dian membantuku mencuci piring dan membersihkan rumah, sementara Rian mulai memasukkan pakaian kotor kedalam mesin cuci. Selama lima bulan ini kami memang sudah terbiasa seperti ini, membagi tugas rumah tangga karena mereka pun paham kalau aku juga sangat lelah bekerja seharian. “Gimana dengan proyek yang ummy lihat kemaren my, amankah?” tanya Rian. “kurang aman dek. Proyeknya bermasalah, tapi mudah-mudahan ada jalan penyelesaiannya.” Aroma wangi menyengat dari dapur kami, ikan yang kubumbui tadi sudah masuk kedalam penggorengan. “Masyaa Allah, wangi sekali my, jadi laper,” canda Dian. “My, Alhamdulillah, Dek dapat pesanan 10 lubang teralis jendela dan 1 pintu kembar. Kemarin baru selesai survei dan ukur. Mau cerita ke ummy, tapi ummy kelihatannya sangat lelah, jadi dek gak berani ganggu.” “Oh iya, Alhamdulillah, baguslah. Apa dek bisa kerjakan sendiri? Gak butuh orang untuk bantu?” “Kan langit bisa bantu dikit-dikit nanti my, lagi pula orangnya gak butuh cepat. Katanya maksimal 1 bulan.” “Ya, walaupun demikian, dek gak boleh lalai, kalau bisa dua minggu selesai kenapa enggakkan?” “Iya my, target dek juga maksimal dua mingggu my, mudah-mudahan bisa.” Rian tampak optimis. “Gimana dengan penjualan Dianeshop, Kak?” tanyaku ke Dian, dimana kami masih sama-sama sibuk dengan pekerjaan kami masing-masing. “Alhamdulillah, bagus my. Kemarin kak habis belanja lagi tiga juta lebih. Oh iya, listrik bulan ini sudah kami bayar my.” “Apa? Kenapa kalian yang bayar, itukan tanggungjawab ummy. Lagipula inikan masih tanggal tujuh. Biasanyakan ummy bayar listrik lewat tanggal lima belas.” Aku agak terkejut dengan perkataan Dian. “Gak apa-apa my, Dek dan kakak ada rezeki berlebih cukup banyak bulan ini. Jadi sepantasnya kami membalas kebaikan ummy, kan berbagi rezeki, hehehe “. Dian tiba-tiba memelukku dari belakang. “SPP Langit dan Mentari juga sudah kami bayar, My. Kemarin saat menjemput mereka.” Tiba-tiba aku menangis terharu, begitu beruntungnya aku mendapat keponakan seperti mereka berdua yang begitu menyayangi aku dan anak-anak. “Makasih sayang-sayang ummy. Tapi sebenarnya kalian berdua tidak perlu serepot itu. Sebab ini adalah tanggung jawab ummy. Sebaiknya kalian tabung untuk kebutuhan kalian nanti.” Kataku kepada mereka berdua. “Tenang ummy sayang ... tabungan kami sudah terlalu banyak, hahaha.” Tawa Rian pecah dan terhenti seketika karena alunan adzan subuh sudah berkumandang.  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN