Pusing, itulah yang sekarang Shireen rasakan, matanya hendak terbuka namun terasa begitu berat, susah payah Shireen membuka matanya namun pening melanda kepalanya hingga pandangannya terasa berputar-putar dan berkunang-kunang dan semakin parah saat bau etanol menyerbu masuk ke dalam hidungnya.
Untuk sejenak Shireen dibuat kebingungan dimana ditengah berada karena satu hal yang Shireen ingat adalah sebelumnya dia berada di apartemen dan tengah sakit, sakit yang tidak kunjung sembuh dan semakin parah karena bau bakso yang benar-benar membuat perutnya bergejolak. Dan sekarang hanya mengingatnya saja sudah membuat perut Shireen benar-benar mual tidak tertahankan.
Shireen kembali ingin muntah, namun tenggorokannya begitu kering. Dan kalian tahu, rasa itu benar-benar menyiksanya. Shireen memandang sekeliling dimana dia menyadari jika dia berada dirumah sakit. Banyak tanya muncul dibenak Shireen kenapa dia berakhir disini, sampai akhirnya mata Shireen tertuju pada Dilla yang masuk ke dalam, terlihat jika sepupunya tersebut baru saja selesai menelpon seseorang.
Tidak ada tatapan hangat dimata Dilla sekarang ini saat tatapan mereka bertemu, seketika saat itu juga senyuman yang hendak terbit dibibir Shireen seketika lenyap. Shireen merasa ada yang salah disini namun tidak tahu apa, benar-benar tidak tahu.
"Udah sadar lo." Ya, kalimat jutek itulah yang dilontarkan oleh Dilla saat dia mendekati Shireen, "lo ada dirumah sakit. Jadi nggak perlu ala-ala drama sampai nanya ada dimana lo sekarnag."
Bibir Shireen semakin kelu, bertahun-tahun tinggal dengan Dilla membuat Shireen sangat hafal dengan sikap Dilla jika sedang marah, jangankan peka untuk mengambilkan air minum untuk Shireen, bahkan saat Shireen bersusah payah untuk bangun agar tidak membuat Dilla semakin kesal kepadanya, Dilla hanya diam memperhatikan.
"Aku kenapa Dill ampai dibawa ke rumah sakit? Parah banget ya sakitnya?" Takut-takut Shireen bertanya, ya Shireen takut dia sakit parah karena untuk pertama kalinya dalam hidup dia pingsan. Selama ini dia bekerja keras bagai kuda dan berurusan dengan banyak selebgram, selebtok atau sekuter yang banyak mau pun, Shireen baik-baik saja, tapi sekarnag karena masuk angin saja dia ambruk seperti ini.
Dilla bersedekap, memicing menatap ke arah Shireen dengan pandangan tidak sukanya. "Lo ini pura-pura bego atau beneran bego sih, Reen? Munafik banget jadi orang, gue udah tahu sekarnag jadi mending lo kasih tahu ke gue siapa cowok yang udah hamilin lo?! Biar gue bisa minta tanggung jawab ke dia soal kehamilan lo ini, biar lo nggak hamil nganggur kayak pelac*r."
Duuuaaaaarrrr, kalimat Dilla yang diucapkan dengan nada ketus tersebut bagai sebuah bom atom dikepala Shireen. Tidak, Shireen menggeleng pelan menolak kenyataan yang baru saja diterimanya, tangan mungil tersebut terangkat ke arah perutnya yang rata menolak fakta jika ada nyawa lain yang tumbuh di dalam sana. Mata indah dengan bulu mata lentik tersebut mengerjap, rasanya panas dan hanya sekali kedip saja air matanya pasti jatuh bercucuran.
"Nggak, nggak mungkin. Kamu bohong kan, Dill? Kamu ngerjain aku, kan? Nggak mungkin aku hamil? Sumpah ini nggak lucu sama sekali. Nggak, nggak mungkin hamil, itu nggak akan terjadi."
Shireen berusaha meraih tangan Dilla, berharap sepupunya ini akan menjawab jika dia hanya mengerjai Shireen, tapi alih-alih jawaban yang diharapkan oleh Shireen di dapatkan, Dilla justru menyentak tangan Shireen dengan kuat.
"Lo hamil, Bego! Benar-benar hamil, bunting kalau lo nggak tahu apa artinya hamil, gila ya lo ini, Reen. Nggak nyangka kalo lo semunafik ini, udah sekarang kasih tahu ke gue siapa yang buntingin lo, siapa laki lo biar dia buruan nikahin lo. Bisa mati gue gara-gara ulah lo, mikir nggak sih kalo lo bisa bunuh gue kalo sampai bokap lo tahu."
Shireen menangis, ya dia menangis hebat dibawah cecaran Dilla, otaknya terlalu syok mendengar berita mengejutkan ini hingga tidak ada yang bisa dia lakukan selain menangis. Sikap Shireen ini tentu saja membuat Dilla semakin murka. Makian, umpatan dan bentuk kekalutan Dilla kepada Shireen ini membuat Shireen semakin stress, bayang-bayang kejadian buruk yang menimpanya nyaris tiga bulan lalu yang susah payah dia lupakan kini kembali hadir dibenaknya. Bayang-bayang menjijikkan seorang pria yang menyentuhnya tanpa peduli isak tangis permohonannya.
"Nggak, aku nggak mau hamil anak ini."