We still have not properly flipped over those missing few years
Those perplexing intersections have you to accompany me
to shed tears in summer
The glaring sunshine and the symphony with heartbeat
Want to be a little closer to see yesterday a little clearer
We once tried to disregard everything for superficial happiness
Which carelessly let growing up stole away something
Time is passing by yet there is not enough time to cater for it
The slightly warm chest always wishe
—Translation “My Sunshine, Zhang Jie (**)—
Shi Hui bingung dengan perubahan ekspresi wanita paruh baya itu begitu ia menyebut nama An Na, ”A yi...?” Shi Hui memanggil wanita paruh baya itu dengan lembut.
Ia memanggil wanita itu sembari mendekatinya, mungkin saja Bibi Wang tidak mendengar apa yang ia ucapkan, lagipula tampaknya Bibi Wang sedang melamun entah memikirkan apa. Shi Hui mendekati wanita itu dengan sedikit ada kendala, tiba-tiba ada pegal atau nyeri di bagian belakang badannya. Tangan kanannya menyangga punggungnya sendiri, syukurlah, hal itu cukup membantu. Sakit punggung ini mungkin karena efek dari perjalanan jauh yang baru saja Shu Hui tempuh. Setelah ini ia berniat ingin segera mencari tukang pijit dan meminta si tukang pijit untuk segera memijat seluruh badannya yang sekarang benar-benar terasa remuk.
“ …… “
Wanita itu diam tak merespon. yang ada hanya hening dan kebingungan.
“A yi ada apa? apakah ada sesuatu?” Shi Hui kembali bertanya
Bibi Wang melepas kacamatanya dan meletakkan di atas meja tangannya gemetaran, lalu mengusap air mata yang tiba-tiba menetes dari sudut matanya. Shi Hui menatapnya dan merasa semakin kebingungan, ia semakin mendekati wanita paruh baya itu “A yi, ada apa? Are you ok?” Tanyanya dengan nada panik. A Yi apakah kau sakit?”
Bibi Wang malah malah semakin muram, ia menutupi wajahnya dengan kedua telapak tangannya dan beberapa saat kemudian terdengar isak tangis. Sebuah tangis pilu yang awalnya hanya terisak dan beralih menjadi lebih keras lagi, tangisnya pecah namun dengan segera Bibi Wang menutup mulutnya sehingga tak terdengar ke luar. Pemandangan itu tentu saja membuat gadis yang sudah berada di sebelahnya mengerutkan kening. Sebenarnya apa yang terjadi pikirnya. Melihat Bibi Wang terus terusan menangis seperti itu Shi Hui menjadi ikutan sedih, air matanya mulai menggenang meskipun belum sampai terjatuh. Kesedihan wanita itu rasanya menular ke dirinya, meskipun Gadis itu tak tahu sebenarnya apa yang membuat orang yang disayanginya menjadi merana seperti itu. Shi Hui tak lantas memberondong pertanyaan meskipun sebenarnya ia sangat penasaran akan Apa yang dirasakan oleh wanita tersebut. Ya hanya ingin menenangkan wanita itu dan nanti apabila sudah tenang mungkin dengan sendirinya Si Bibi mau menjelaskan apa yang sebenarnya membuat dirinya seperti itu. Dengan sabar Shi Hui menepuk-nepuk punggung Bibi Wang dan menunggu sampai wanita itu mulai mereda tangisannya.
“A yi….” Tanyanya beberapa saat kemudian setelah tangis itu agak sedikit reda.
Setelah beberapa saat Bibi Wang mengangkat kepalanya, wajahnya dibasahi oleh air mata. Ia memejamkan matanya, menghela napas panjang, menahannya kemudian menghembuskannya pelan-pelan sebelum akhirnya ia mengalihkan pandangannya ke arah Shi Hui, Bibi Wang menatap Shi Hui dengan tatapan yang sangat sulit diartikan, pada akhirnya ia mengatakan sebuah kalimat yang sangat sulit untuk ia ucapkan” An Na...Gadis malang itu…dia sudah tak ada,” katanya dengan suara yang terdengar sangat lirih nyaris terdengar samar-samar.
Shi Hui masih tak mengerti dengan apa yang di katakan bibi Wang “Sudah tak ada? memangnya An Na pergi kemana A yi?“ Shi Hui mengerutkan dahinya, ia semakin tak paham dengan apa yang barusan di ucapkan Bibi Wang.
Bukankah An Na ada di Beishan? tentu saja ia tak ada di sini...
Apakah ia pergi ke tempat lain yang lebih jauh?
Batin Shi Hui sembari menebak-nebak mencoba mencari sendiri jawaban atas kebingungannya.
“A yi...memang An Na ada dimana?” Shi Hui mengulangi pertanyaannya lagi.
Bibi Wang menatap Shi Hui lekat-lekat “Hui Er…An Na— dia sudah tiada, gadis itu sudah tak ada lagi di dunia ini.” Setelah berkata begitu Bibi wang kembali terlarut dalam nestapanya, membenamkan wajahnya di antara kedua telapak tangannya, pertemuan yang bahagia setelah berpisah selama bertahun-tahun dalam sekejap berubah menjadi derai air mata, takdir memang terkadang suka membolak-balikkan keadaan dalam sekejap mata.
Shi Hui membisu, diam membatu rasanya ada petir tak nampak yang baru saja menyambar dirinya. Sebuah petir di siang bolong. Kepala Shi Hui tiba-tiba menjadi pening sampai tangannya harus menompang berat kepala yang entah kenapa tiba-tiba menjadi semakin bertambah berat, kalimat dari Bibi Wang sepertinya hanya sebuah ilusi, namun tak berapa lama ia langsung berpikir Ini kemungkinan hanya sebuah lelucon atau mungkin dia sekarang sedang bermimpi sebuah mimpi buruk yang mungkin saja sekarang dirinya sedang berada dalam perjalanan pulang dan belum sampai ke panti asuhan tempat ia dibesarkan dulu. Bisa saja rasa lelah dari perjalanan yang selama ini ia tempuh membuat dirinya bermimpi buruk. Ia hanya perlu membiarkan mimpi buruk itu tetap berjalan atau segera bangun. Ia mencoba mencubit lengannya, dan terasa sakit! Ini kenyataan?! Shi Hui setelah tersadar dari kebekuan keadaan. Bahkan kini ia sudah bisa mendengar suara lain di ruangan itu. Suara detikan jam yang beraturan serasa mendominasi suara di ruangan itu, saking heningnya. Padahal jam dinding itu letaknya lumayan jauh dari tempat mereka berdiri, sebuah jam dinding yang ternyata setelah Shi Hui liat adalah sebuah jam yang pernah ia kirimkan beberapa tahun silam dari Australia ke panti asuhan ini, dan rupanya sampai sekarang masih ada. Bibi Wang rupanya sangat begitu merawat benda pemberiannya. Ya, jam itu Shi Hui beli saat pertama kali mendapat tunjangan kerja setelah memiliki sebuah pekerjaan tetap. Jujur ada rasa hangat sedikit ketika melihat jam itu terpajang di tempat siapapun bisa melihat. Hanya sepintas ia melihat jam itu lalu beralih kembali pada kenyataannya yang meskipun ia ragu apakah itu benar-benar kenyataan.
Apakah ini April Mop? Ah tak mungkin ini bulan September. Pikiran Shi Hui bergerilya kemana-mana mencoba menemukan celah yang akan membuktikan kalau semuanya ini lelucon, ia ingin buru-buru keluar dari guyonan yang sama sekali tak lucu seperti ini.
“A yi, jangan bercanda…..” ia tersenyum getir, tapi ini sama sekali tak lucu, lelucon macam apa ini? Shi Hui ingin menyangkal apa yang dikatakan oleh Bibi Wang, tapi….tangisan wanita paruh baya di depannya jelas-jelas bukan pura-pura, tanpa sadar Shi Hui mencubit lengannya sendiri dengan sangat keras … berharap lekas bangun dari mimpi buruknya, namun tak peduli berapa kali melakukannya hingga bekas cubitan itu membiru ia tak kunjung bangun dan masih tetap berada didalam ruangan itu, di depan Bibi Wang yang sudah menangis terisak.
Ya Tuhan, lelucon macam apa lagi ini ….
*****
Chenguang, Musim Semi 2006 .
“Hai kenalkan namaku An Na. Xia - An - Na. Siapa Namamu?” gadis kecil berusia tujuh tahun baru memperkenalkan dirinya itu tersenyum hangat sembari mengulurkan tangan pada Gadis lain seumurannya yang sedari tadi duduk di bangku kayu yang terletak di ujung pekarangan panti seorang diri Yang diajak berbicara adalah seorang gadis berpakaian jumpsuit denim kira-kira seumuran dengannya,. Sudah sedari tadi ia hanya duduk diam sambil menghadap kearah anak-anak lain yang sedang berlarian di taman,. Keceriaan yang ditampilkan oleh anak-anak itu tak lantas membuat gadis yang dari tadi duduk ingin ikut bergabung bermain bersama dengan mereka, sama sekali tak bergeming, sama sekali ia tak berminat pikirannya memang benar-benar kosong dan meskipun raganya berada di sana namun pikirannya itu sedang melayang ke tempat lain. Bahkan Gadis itu serasa tak memiliki tenaga hanya sekedar untuk bangkit atau pun berbicara.
“ ……… “
Mendengar An Na memperkenalkan dirinya gadis kecil itu hanya melirik sesaat, diam dengan wajah datar tanpa ekspresi, tak merespon dan segera mengalihkan pandangannya lagi ke depan, seakan sedang melihat anak-anak lain bermain berlarian di taman, padahal kenyataanya tatapannya masih sama kosong entah apa yang sedang ia lamunkan.
An Na melirik tangan gadis kecil di depannya, sehelai kain berwarna putih menggantung di kedua sisi pundaknya, menyangga lengan kananya yang nampak dibalut bidai dan perban, “Tanganmu— pasti rasanya sangat sakit.” seperti ikut merasakan kesakitan apa yang dirasakan oleh gadis di depannya itu, An Na meringis ketika bertanya. Ia jadi mulai membayangkan hal buruk apa yang sebenarnya terjadi pada Gadis itu hingga membuat tangannya harus di gantung seperti itu, pasti sangat sakit hingga membuat gadis itu tak bisa ikut bermain dengan anak-anak panti yang lain..
Gadis itu Masih diam, tak ada respon. Ia benar-benar tidak sedang dalam suasana hati yang bagus untuk sekedar bercengkrama dengan orang yang baru dilihatnya itu. Lebih tepatnya ia tak peduli. Jangankan menghiraukan orang yang berada tepat di sebelahnya bahkan lengannya yang sakit pun ia tidak hiraukan.
“Kau baru datang ke Chenguang pagi ini bukan?” An Na Rupanya masih belum menyerah untuk mencoba berbicara dengan anak yang baru saja datang tersebut. Ya justru mencoba untuk lebih dekat lagi dengan anak baru itu, mencoba mencari bahan pembahasan lain,
“…………”
“Aku dengar—kedua orang tuamu mmmm —” An Na merasa ragu untuk melanjutkan perkataannya .Pagi ini An Na tak sengaja mendengar pembicaraan penjaga panti kalau akan ada anak baru di panti ini, seorang gadis kecil yang kehilangan kedua orang tuanya sekaligus dalam sebuah kecelakaan mobil, gadis kecil itu berhasil selamat karena ia terlempar dari dalam mobil, ngannya patah dan ia harus terbaring koma berhari-hari tapi ia beruntung karena selamat dari kecelakaan mengerikan yang terjadi, tapi entahlah itu sebuah keberuntungan sungguhan atau bukan, karena ketika ia membuka mata ia tahu bahwa dirinya kini sebatang kara.
An Na bertanya bukan karena rasa penasaran belaka, An Na tahu bagaimana rasanya sebatang kara, rasa yang sudah terlalu familiar dalam hidupnya tapi tidak dengan gadis di depannya. An Na berkata dengan ragu-ragu apakah akan melanjutkannya atau tidak, tapi belum sempat ia menyelesaikan kalimatnya gadis ber-jumpsuit denim itu sudah menangis terisak-isak, membuatnya merasa bersalah sekaligus khawatir. An Na mencoba semakin merapatkan jarak di antara mereka, bagaimana pun ia sudah membuat anak baru itu menjadi mengingat ke kenyataan, pikiran yang sedari kosong telah mengembalikan pikiran ke raga yang seharusnya. Seharusnya yah ia harus lebih berhati-hati dalam memilih bahan pembicaraan, terutama bagi seorang gadis yang seumuran dengannya sekarang tampak terpuruk akan kejadian yang langsung mengubah hidupnya. Yang awalnya ia adalah anak dengan keluarga lengkap sempurna, kini diharuskan sendirian, pasti gadis itu membayangkan betapa rindu akan cengkrama dan belaian kedua orang tuanya.
“Maafkan aku, aku tidak bermaksud membuatmu sedih.” kata An Na dengan perasaan bersalah.
Tangis gadis itu malah semakin menggebu, membuat An Na jadi agak kebingungan “Tanganmu — apakah terasa sakit lagi?” Tentu saja An Na menjadi ikutan panik. Ia ingin berusaha menyentuh lengan yang diperban itu, namun takut jika akan menyentuh lukanya dan membuatnya semakin parah maka diurungkan niatnya, An na justru beralih memberi tepukan pelan pada bahu anak baru itu. “Kau sakit ? mau kupanggilkan ibu panti?”
Gadis itu menggeleng cepat , ia masih menangis sesenggukan.
An Na menoleh ke sekeliling, gadis belia itu memutar otak mencari cara untuk menghiburnya, tiba-tiba matanya terbuka lebar, “Hei Lihat!!” An Na menunjuk ke arah bunga dandelion yang tumbuh di antara rerumputan hijau di taman, Ia kemudian berlari ke arah bunga-bunga itu meninggalkan gadis jumpsuit denim yang masih menangis sesenggukan.
An Na tampak hati-hati memetik bunga dandelion itu karena ia tahu benar bahwa bunga tersebut sangat mudah merontokkan bagian tubuhnya ketika terkena sentuhan bahkan tiupan angin sekalipun. Tanaman bunga tersebut memang banyak tumbuh di sekitar panti asuhan ini dan itu adalah salah satu bunga yang sangat ia sukai.
Tak lama, ia kembali dengan membawa beberapa tangkai bunga dandelion di tangannya ia berjalan dengan sangat hati-hati, satu tangannya memegang beberapa tangkai bunga dandelion yang baru saja ia petik sementara tangan yang satunya lagi menutupi bagian kepala bunga-bunga dandelion itu agar tak berterbangan ditiup angin, kendati ia sudah sangat berhati hati sesampainya di hadapan gadis kecil ber-jumpsuit denim beberapa nampak sudah botak karena putik-putiknya sudah berterbangan di hembus angin, Tangis gadis itu nampaknya sudah mereda, “Lihat,cantik bukan?” An Na mengangkat kumpulan bunga dandelion itu ke arah gadis yang dari tadi tampak murung tersebut. Ia berharap Gadis itu akan sangat menyukai setidaknya bisa mengalihkan kesedihannya.
Gadis jumpsuit denim itu mengangkat kepalanya, menatap ke arah bunga yang sedang di pamerkan oleh An Na, masih diam tanpa suara.
“Li Hua jie pernah bilang kalau kita mengucapkan sesuatu lalu meniup bunga dandelion ini, maka kuntumnya akan berterbangan dan bisa membawa pesan untuk orang-orang tersayang kita di surga, kau bisa mengirim pesan untuk papa mamamu jika kau mau, apa kau mau mencobanya?” Katanya sambil mengulurkan setangkai bunga dandelion kepada gadis di depannya.
Mendengar penjelasan orang yang sedari tadi tak henti-hentinya berusaha mendekatinya, gadis itu akhirnya mulai berbicara.“Kau percaya dongeng semacam itu? itu hanya dongeng untuk anak balita.” Gadis jumpsuit itu akhirnya berbicara, sebuah kalimat pendek yang diucapkan dengan ekspresi datar.
An Na hanya menghela napas panjang sambil tersenyum. Meski perkataan Gadis itu datar dan dingin namun An Na bisa sedikit bangga karena pada akhirnya ia berhasil membuat anak baru itu mulai membuka mulut untuk membalas obrolannya.
Tak lama Gadis Jumpsuit itu beranjak berdiri dari bangku hendak berjalan pergi, meninggalkan An Na yang masih diam terpaku sambil menggenggam tangkai-tangkai bunga dandelion di tangannya, ada sedikit rasa kecewa di wajah An Na karena tadinya ia pikir ia sudah hampir berhasil berteman dengan gadis jumpsuit denim itu tapi nyatanya ia malah hendak melangkah pergi.
Namun setelah berjalan beberapa langkah tiba-tiba langkahnya terhenti dan ia menengok ke belakang.
“Namaku Shi Hui, Wen - Shi - Hui.” Gadis Jumpsuit biru itu berkata sambil tersenyum simpul ke arah An Na kemudian berbalik dan berlari kecil masuk ke dalam. An Na ikut tersenyum membalasnya meskipun anak baru itu sudah berlalu dan tak melihatnya.
“Wen Shi Hui mari kita berteman ya!!!.” Serunya dengan bersemangat sambil menggerak-gerakkan tangannya membuat putik-putik dandelion yang tadi ia genggam dengan sangat hati-hati menjadi berterbangan ke segala penjuru bersama arah angin.