Noa sedang menatap dirinya di pantulan cermin di dalam kamarnya. Matanya yang sembab, harus diakali agar tidak terlihat mencolok. Kejadian semalam membuatnya menangis karena marah dan kesal. Shaga menciumnya begitu saja saat di kolam renang. Ia tidak terima atas tindakan laki-laki itu. Ingin menuntut penjalasan, tetapi untuk bertemu saja Noa merasa sangat malas.
“Awas saja, kalau aku sudah siap, aku pasti balas perbuatannya. Dia pikir urusannya selesai begitu saja. Jangan mimpi Shaga!”
Sebenarnya hari ini Noa sangat malas sekali melakukan aktivitas. Apalagi harus bertemu dan seharian bersama Shaga. Tetapi jika ia tidak profesional, maka Asmita siap memberikan ceramah hingga kepalanya menjadi pening. Jadi, mau tidak mau, Noa harus menahan diri untuk tidak berontak.
“Selamat pagi,” sapa Noa kepada Asmita dan Arghandi.
“Pagi Sayang,” balas sang ibu.
“Selamat pagi Noa.” Arghandi tersenyum atas kemunculan anak tirinya. Perasaannya senang karena mendapati hadiahnya dipakai oleh Noa. “Kamu suka sama gelangnya?” tanya laki-laki itu.
Noa melihat gelang ytang melingkar di pergelangan tangannya. Perlahan mengangguk sebagai tanggapan. “Suka, Om. Simpel tapi tetap terlihat mewah. Sesuai dengan selera aku.”
“Jelas sesuai karena Mama juga bantu pilihkan. Tapi tetap ini hadiah dari Om Ghandi.”
“Sekali lagi makasih, Om.”
“Sama-sama Noa.”
Pandangan mata Noa tertuju pada kursi kosong yang biasanya diduduki oleh Shaga. Laki-laki itu tidak ada dan hal ini membuat Noa bertanya-tanya apakah Shaga sengaja menghindar.
“Tumben Shaga belum datang, biasanya dia rajin,” ucap Asmita.
“Apa sudah dipanggil sama bibi?” tanya Arghandi kepada istrinya.
“Sudah, tapi enggak ada respon, Pa,” jawabnya. “Noa, coba sekarang kamu panggil Shaga. Kasihan si bibi lagi repot siapin kue.”
“Hah? Kenapa aku, Ma?” tanya Noa spontan.
Asmita langsung memberikan tatapan tajam atas ucapan Noa yang seperti tidak suka padahal sedang bersama dengan Arghandi. Seketika nyali Noa menciut, lalu mengangguk cepat.
“Iya Ma, biar aku yang panggil Shaga.”
Dengan malas, Noa beranjak dari tempat duduknya. Ia berjalan menuju paviliun belakang untuk memanggil Shaga. Rasanya Noa ingin sekali memberi pelajaran kepada laki-laki itu karena terus saja membuatnya jengkel. Dan saat ia melewati kolam renang, ingatannya justru tertuju pada kejadian semalam.
Noa menghentakkan kakinya dan menggelengkan kepala karena tidak suka dengan apa yang dialami. Ingin menghampus kenangan di mana Shaga menciumnya saat mereka berdebat. Tentu saja dendam itu masih ada, dan ingin segera dilampiaskan.
“b******k! Bisa-bisanya dia berani cium aku. Lihat saja nanti, aku laporin ke Om Ghandi,” gerutunya sebal.
Begitu sampai di depan pintu, Noa segera mengetuk dengan keras. Cukup lama ia menunggu sebelum akhirnya pintu terbuka. Ia mendapati Shaga sudah dalam keadaan rapi dan juga nampak tampan. Namun bukan itu fokus Noa, tetapi apa yang sudah Shaga lakukan semalam.
Tanpa sadar, Noa menggigit bibir bagian bawah. Mengingat kembali bagaimana bibir laki-laki itu menyentuh bibirnya. Noa tidak suka pikirannya ini. Terlebih Shaga adalah keponakan Arghandi sehingga merasa tidak pantas.
“Ada apa?” tanya Shaga pelan.
Noa sadar dari lamunannya dan kembali memasang raut wajah kesal. “Ditunggu untuk sarapan.”
“Oh, iya. Sekarang aku ke sana.”
“Baguslah.”
Entah kenapa, Noa marasa tidak sanggup berlama-lama dekat dengan Shaga. Ia langsung membalik badan, meninggalkan laki-laki itu.
“Tunggu Noa,” ucap Shaga.
Noa menahan kakinya untuk berhenti melangkah. “Ada apa?”
Shaga mendekati Noa setelah menutup pintu. “Aku minta maaf soal kejadian tadi malam. Aku refleks karena kamu terus marah-marah dan mengoceh.”
“Jadi tindakan kamu karena salahku? Begitu maksud kamu?”
“Bukan begitu, tapi aku Cuma nggak tahu harus bagaimana biar kamu kasih kesempatan buat jelasin semuanya. Dan tiba-tiba saja ide itu muncul tanpa biasa aku pikir dengan baik,” jelas Shaga tidak enak.
Noa menatap Shaga dengan lekat dan masih ada kilat amarah di dalamnya. “Pertama, jawab dulu kenapa kamu ngikutin aku kencan dengan Keano?”
“Tante Asmita yang minta. Beliau khawatir sama kamu dan merasa kurang percaya dengan Keano, jadi hari liburku pun diminta untuk mengawasi kamu.”
Kedua mata Noa menyipit mendengar penjelasan Shaga. “Kenapa kamu nggak tolak saja? Kamu punya hak untuk libur sebagai bodyguard-ku.”
“Aku Cuma kasihan lihat mama kamu cemas dan khawatir, jadi aku sanggupi saja.”
“Terlalu baik, tapi justru aku sangat marah,” ujar Noa. “Dan sampai sekarang, aku masih belum bisa terima kamu cium aku. Kamu nggak waras ya, nggak mikir gimana nanti ada yang tahu soal semalam?”
Shaga mengusap tengkuknya karena canggung. “Ya aku memang salah. Aku minta maaf untuk hal itu.”
“Awas saja berani macam-macam lagi, aku laporin kamu ke Om Ghandi,” ancam Noa.
“Baiklah, kamu bisa lakukan itu kalau sampai suatu saat nanti aku melewati batas lagi.”
“Laki-laki yang dipegang omongannya. Awas saja ingkar janji!”
Akhirnya Noa dan Shaga pergi ke dapur untuk sarapan bersama dengan Arghandi dan Asmita. Begitu sampai, pandangan mata Noa tertuju pada hidangan kue basah yang nampak sangat enak. Membuatnya ingin mencicipi semua kue tradisional yang ada di atas meja.
“Akhirnya kalian datang juga. Ayo cicipi aneka kue ini, rasanya sangat enak,” ucap Asmita.
“Banyak banget, Ma. Tumben juga aku lihat menu sarapan kue basah. Memangnya dalam rangka apa?” tanya Noa heran.
“Ini dari Dera, sekretaris Om. Kamu pasti tahu, kan?”
Noa mengangguk. “Iya Om, aku tahu.”
“Nah, mamanya Deira punya katering kue tradisional. Mereka kirim ke sini untuk kita cicipi,” jelas Asmita. Lantas pandangan matanya tertuju kepada Shaga. “Dan Tante nggak tahu kalau kamu pernah pacaran dengan Dira,” sambungnya.
Sontak perkataan Asmita membuat Shaga batuk secara tiba-tiba. Ia segera meneguk air putih dengan gugup karena saat ini semua mata tertuju kepadanya.
“Kamu grogi ya, Ga? Jangan-jangan, kamu masih ada perasaan dengan Dira,” Arhgandi menimpali.
Shaga segera menggeleng. “Enggak kok, Om. Aku Cuma kaget saja karena Tante Asmita tiba-tiba ngomong soal Dira.”
Asmita terkekeh pelan. “Maaf ya, soalnya Tante gemes waktu dikasih tahu sama Om kamu.”
“Iya Tante, nggak apa-apa. Aku sama Dira sudah selesai dan kami Cuma teman.”
Noa menyipitkan mata, menatap Shaga tanpa bicara. Ternyata dugaannya benar tentang hubungan Shaga dan Dira. Pantas saja laki-laki itu tersenyum lebar dengan mata berbinar ketika bicara dengan Dira.
“Oh, jadi kalian dulu pacaran? Kenapa putus? Apa kamu selingkuh?” tanya Noa saat berada di dalam mobil untuk menuju lokasi kerjanya.
“Lupa,” jawabnya.
Gadis itu berdecis sinis. “Sombong sekali. Memang ada ya orang putus tapi lupa alasannya?”
“Ada. Aku orangnya.”
“Kalian cukup serasi, dia cantik.”
“Berarti aku ganteng? Begitu?”
Kening Noa mengernyit geli. “Memangnya siapa yang bilang kamu ganteng?”
“Kamu bilang kami serasi karena Dira cantik. Secara nggak langsung kamu juga bilang aku ganteng. Iya kan?”
“Terserah kamu saja. Aku malas berdebat sama kamu.”
“Siapa yang ngajak berdebat. Aku Cuma jawab dan juga tanya. Hal yang normal,” ujar Shaga sambil fokus mengemudi.
“Aku Cuma heran, kenapa dia bisa tahan pacaran dengan laki-laki model seperti kamu. Sepertinya kamu mencuci otaknya, makanya dia mau sama kamu.”
Sontak ucapan Noa memancing tawa Shaga. “Enak saja. Pikiran macam apa itu. Nuduh aku cuci otak, tapi kamu juga penasaran.”
“Dih! Enggak, aku Cuma basa basi saja. Terserah kalian dulu seperti apa, aku enggak peduli. Jangan merasa sok penting atau sok ganteng. Aku enggak akan pernah heran sama kehidupan kamu.”
Shaga berdecak heran. “Dasar wanita aneh.”