10. TIDAK BUTUH SENYUM SHAGA

1737 Kata
Setelah sarapan dengan pemabahasan yang berujung membuat hatinya tidak senang, akhirnya Noa pergi ke paviliun belakang. Menemui Shaga yang sudah pergi lebih dulu. Sesampainya di sana, tangannya dengan keras mengetuk pintu tempat Shaga tinggal. Raut wajahnya menyiratkan rasa kesal dan juga ketegangan. Seperti gunung yang siap memuntahkan laharnya yang panas demi merasa kelegaan. Meluapkan kepada Shaga, atas keputusan Arghandi dan Asmita yang tidak bisa diganggu gugat. “Ada apa? Kenapa ketuk pintu seperti penagih hutang?” tanya Shaga begitu pintu dibuka dan mendapati Noa di hadapannya. Tanpa menjawab, Noa menerobos masuk. Tidak peduli jika si empunya tempat tidak mengizinkan. Di hadapan Shaga, apa pun bisa Noa lakukan tanpa merasa sungkan atau takut. Tanpa disadari, Noa bisa menjadi dirinya sendiri saat bersama Shaga. Shaga menghela napas mendapati sikap Noa yang semena-mena. Kemudian ia menyusul masuk, setelah menutup kembali pintu. Ia mendapati Noa duduk di sofa, yang ada di ruang santainya tanpa diminta lebih dulu. “Kamu masuk dan duduk tanpa izin. Dan sekarang, cepat katakan apa tujuan kamu ke sini?” tanya Shaga dingin. Noa menatap Shaga dengan angkuh. Bahkan kedua tangannya menyilang di depan, seperti tidak ada takut-takutnya dengan sorot mata tajam dan dingin dari laki-laki di hadapannya. “Aku mau bahas soal tadi saat sarapan.” “Oh,” gumam Shaga. Ia mengambil tempat di depan Noa. “Apa yang mau dibahas? Rasanya semua sudah jelas. Aku harus mengekor setiap hari pada orang yang enggak aku suka.” Gadis itu berdecis tidak percaya akan perkataan Shaga. “Kamu juga tahu aku nggak suka, apalagi sama orang menyebalkan seperti kamu!” “Lalu sekarang, kamu sendiri datang ke sini. Jadi mau apa lagi?” “Pertama, dari dulu aku enggak pernah suka atau mau pakai bodyguard. Menurutku ribet dan buat aku nggak nyaman. Kedua, kamu diminta oleh Om Ghandi, bukan karena aku mau, jadi jangan merasa aku butuh kamu. Dan yang ketiga, jangan melewati batas. Aku nggak mau kamu ikut campur segala urusanku. Jadi, lakukan saja tugas kamu tanpa melewati aturan yang aku buat. Dan aku nggak akan mengadu ke Om Ghandi mengenai pekerjaan kamu,” jelas Noa. Shaga tersenyum sinis kepada Noa. “Kamu pikir, aku suka dengan pekerjaan ini? Jelas saja, tidak. Bekerja dan harus berhadapan dengan makhluk menyebalkan yang tidak tahu sopan santun, mungkin akan mempengaruhi umurku. Jangan terlalu percaya diri kalau aku akan mengurus kamu secara berlebihan. Aku juga malas berurusan dengan kamu. Kalau bukan karena Om Ghandi, mana mau aku bekerja sebagai bodyguard gadis bar-bar seperti ini.” “Oh bagus dong! Anggap saja tugas sebagai bodyguard ini hanya formalitas, jadi kita sama-sama tahu, apa yang harus kita lakukan. Sama seperti kamu bilang, aku Cuma berusaha untuk hormat dan menghargai Om Ghandi, enggak lebih.” Noa lalu mengulurkan tangannya, bersiap untuk berjabat tangan dengan laki-laki di hadapannya. “Deal?” Shaga menatap ragu, namun akhirnya membalas jabatan tangan dari Noa. “Tidak bisa dipercaya, aku harus berurusan dengan ratu drama. Tapi baiklah, kita sama-sama ingin hidup tenang, jadi mari bekerja sama!” *** Hari ini Noa harus pergi ke sebuah studio untuk melanjutkan syuting iklan yang masih belum selesai. Sebelum pergi ke lokasi, Noa mampir untuk datang ke gedung perusahaan milik Arghandi. Ayah tirinya yang meminta dan Shaga bertugas untuk mengantar sekaligus menemani. Untung saja jadwal kerjanya dimulai agak siang, sehingga Noa bisa datang ke gedung W Finance. “Memangnya tidak masalah kalau aku datang ke perusahaannya Om Ghandi?” tanya Noa kepada Shaga. “Memangnya kenapa?” tanya Shaga balik dan fokus mengemudi. Noa menghela napas pelan, hatinya sejak tadi tidak merasa tenang. “Entahlah. Rasanya aneh kalau mendapat tatapan dari orang-orang di sana. Pasti mereka berpikir yang tidak-tidak karena bos mereka punya anak tiri seorang aktris terkenal.” “Sejak kapan kamu peduli dengan pendangan orang lain?” Shaga menoleh singkat. “Bukannya kamu selalu masa bodoh dan melakukan hal sesuka hati?” Sindiran Shaga membuat Noa berdecak sebal. “Memang seharusnya aku nggak ngomong sama kamu. Percuma, buang-buang waktu.” “Aku jawab sesuai yang kamu tanyakan. Kamu saja yang terlalu sensitif.” “Baiklah, kamu menang!” Sudut bibir Shaga terangkat karena puas membuat Noa kesal. “Begitu saja ngambek,” gumamnya. Seperti biasa, setelah perdebatan maka Noa dan Shaga memilih diam. Perjalanan mereka ditemani sepi karena keduanya enggan untuk bicara lagi. Noa sibuk dengan pikirannya sendiri. Sedangkan Shaga fokus mengemudikan mobil agar segera sampai di tempat tujuan. Dan suasana dingin ini bertahan hingga mereka sampai di gedung tinggi milik dari Arghandi Cakrawangsa. “Ternyata Om Ghandi sekaya ini. Pantas saja hidupnya terlihat santai karena nggak mungkin hartanya habis tujuh turunan,” gumam Noa melihat kemegahan gedung W Finance. Shaga tidak menanggapi dan berjalan di belakang Noa. Seperti di awal perjanjian, ia tidak akan terlalu banyak berinteraksi dengan gadis di depannya, demi menghindari perdebatan panas. “Kenapa kamu enggak kerja di sini, tapi malah jadi guru judo?” sindir Noa saat berada di dalam lift menuju ruangan Arghandi. “Memang ada yang salah dengan menjadi guru judo?” Shaga akhirnya bersuara karena merasa direndahkan. Noa mengangkat bahunya ringan. “Rasanya nggak punya masa depan,” jawabnya kejam. Sindiran Noa memancing senyum sinis laki-laki itu. “Kalau begitu, nggak perlu penasaran kenapa aku nggak kerja di sini.” “Dasar kaku, nggak bisa diajak ngomong santai.” Kedatangan Noa dan Shaga disambut oleh perempuan berparas cantik dan anggun yang merupakan sekretaris Arghandi. Peremepuan itu bernama Dira. Sudah bekerja cukup lama di perusahaan Arghandi yang bergerak di dunia penyediaan pembiayaan konsumen baik kendaraan mobil atau motor. Menjadi salah satu perusahaan pembiayaan yang terbaik di Indonesia. “Selamat siang Mbak Noa,” sapa Dira ramah. Noa tersenyum tipis. “Siang. Aku mau ketemu sama Om Ghandi. Kami sudah ada janji,” ucapnya dengan sedikit angkuh. “Silakan masuk Mbak Noa. Bapak sudah menunggu di dalam.” “Baiklah.” Saat kakinya baru bergerak beberapa langkah, Noa kembali menatap Dira. “Oh iya, panggil aku Noa, jangan pakai Mbak. Menurutku, aku belum setua itu untuk dipanggil dengan sebutan mbak. Kamu ngerti, kan?” Dira mengangguk pelan, tersenyum dengan tenang meski Noa terkesan ketus. “Baik Noa. Maaf sudah membuat tidak nyaman.” “Baik, maaf diterima,” sahutnya singkan. Setelah bicara, Noa masuk ke ruangan kerja ayah tirinya. Namun sebelum benar-benar masuk, gadis itu mendengar percakapan Shaga dan Dira. Memancing rasa tidak nyaman gadis itu. “Apa kabar?” tanya Shaga. “Baik. Kamu mau minum apa?” “Tidak usah. Aku duduk saja.” Begitu Noa masuk, Arghandi sudah menyambutnya dengan wajah penuh senyum. Laki-laki yang nampak masih sangat sehat dan bugar, beranjak dari duduknya untuk menghampiri anak tirinya. “Selamat datang Noa. o*******g kamu mau datang ke sini,” sapa Arghandi. Dengan wajah semringah. Noa tersenyum meski tipis. “Aku juga senang karena Om izinin aku ke sini.” “Silakan duduk. Jangan sungkan, kapan pun kamu mau, datang saja ke sini. Oke?” “Baik Om.” “Kamu mau minum apa?” “Tidak perlu Om. Maaf sebelumnya, aku nggak bisa lama-lama karena sudah ada jawal syuting.” Arghandi mengangguk. “Tentu saja Om ingat soal jadwal padat kamu. Tunggu sebentar ya.” Laki-laki itu menarik laci yang ada di meja kerjanya. Tidak lama, membawa kotak berukuran sedang, di letakkan di atas meja. Jari tangannya mendorong kotak itu ke hadapan Noa. “Ini untuk kamu, Noa. Semoga kamu suka,” ucap Arghandi. Wajah Noa nampak sedikit kaget. “Apa ini Om?” “Ini hadiah untuk kamu. Sejak Om resmi menikah dengan mama kamu, Om belum sempat kasih hadiah. Jadi ini untuk kamu, nak.” Noa mengambil apa yang Arghandi berikan. Membuka kotak beludru dengan warna maroon. Saat melihat isinya, matanya membola karena terkejut. “Om Ghandi, kenapa kasih hadiah semahal ini? Maaf Om, tapi aku nggak bisa terima.” “Jangan menolak, Noa. Om sangat senang kalau kamu mau terima gelang ini. Tenang saja, mama kamu tahu soal ini. Dan alasan Om kasih gelang di sini karena Om tidak mau ada perdebatan dengan mama kamu saat kamu menolak,” jelas laki-laki itu. Ada sedikit perasaan tersentuh mendengar alasan Arghandi yang dirasakan oleh Noa. Gadis itu diam sesaat, mencerna kalimat demi kalimat dan memirikan apa yang harus dilakukan. “Noa, Om tidak pernah menganggap kamu orang asing. Kamu sudah Om anggap seperti anak sendiri walaupun sampai sekarang kamu belum bisa menganggap Om seperti papa kamu. Tidak masalah, Om tidak keberatan karena semuanya butuh waktu. Tapi untuk kali ini, jangan tolak hadiah dari Om, ya.” Noa mengangguk pelan, menerima pemberian laki-laki itu. melihat ketulusan ayah tirinya, Noa merasa tdak tega untuk menolak. “Baiklah Om, aku terima hadiah ini. Aku menolak bukan karena nggak suka, tapi berlian yang ada di gelang ini, harganya sangat mahal.” “Tidak ada masalah dengan harga kalau untuk anak sendiri. Jangan lupa dipakai, ya.” Setelah ngobrol dengan Arghandi dan menerima gelang pemberian laki-laki itu, kini Noa bersiap keluar dari ruangan. Begitu pintu dibuka, ia mendapati Shaga tersenyum lebar, asik bicara dengan Dira. Keduanya nampak sangat dekat dan akrab. Noa merasa sedikit canggung karena situasi ini. Begitu Shaga dan Dira menyadari kedatangan Noa, mereka kompak untuk bersikap biasa saja. “Sudah selesai?” tanya Shaga sambil beranjak dari tempat duduk. Noa mengangguk. “Sudah. Kita bisa pergi sekarang, aku takut telat.” “Baiklah.” Shaga kembali menatap Dira. “Aku pergi dulu. Sampai jumpa.” Dira membalas dengan senyum malu-malu. “Hati-hati, ya.” Pemandangan ini disaksikan langsung oleh kedua mata Noa. Aneh sekali bagi gadis itu melihat Shaga berinteraksi dengan seorang perempuan, dengan gaya yang jarang ia lihat. Bahkan dengannya saja laki-laki itu jarang tersenyum. Tetapi saat bersama Dira, Shaga nampak bahagia. “Kalian berdua ada hubungan?” tanya Noa kepada Shaga begitu berada di dalam mobil yang sudah meninggalkan basement gedung. Shaga menoleh singkat ke samping dengan kening mengkerut. “Kalian? Siapa yang kamu maksud?” “Sekretaris Om Ghandi. Kalian sangat akrab, bahkan aku belum pernah lihat kamu tersenyum lebar. Jadi menurutku kalian pasti punya hubungan dekat,” jelasnya. “Jangan salah sangka, aku bukan kepo. Tapi biar tidak salah bersikap, nanti dia cemburu,” imbuhnya cepat. “Aku bisa tersenyum lebar bukan Cuma dengan Dira. Tergantung dengan siapa berhadapan.” Shaga kembali menoleh ke arah Noa. “Kalau orang itu sifatnya angkuh, sombong dan menyebalkan, buat aku apa tersenyum. Buang-buang tenaga, iya kan?” Seketika Noa berdesis sebal dengan delikan tajam kepada Shaga. “Aku juga nggak butuh senyum dari kamu. Menyebalkan!”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN