8. MOMEN YANG SELALU SALAH

1554 Kata
Satu hari satu malam berhasil Noa lewati dengan pikiran yang tidak tenang. Dalam keadaan sakit pun, ia harus merasakan perasaan tertekan akibat kemarahan Asmita. Wanita itu terus saja memberi peringatan agar Noa lebih berhati-hati. Tidak ingin karir yang dibangun susah payah, hancur karena dianggap tidak profesional. Di rumah sakit, Noa ditemani oleh Anjani dan Riris. Sementara Keano tidak bisa datang karena jadwal pekerjaan yang padat. Laki-laki itu muncul disaat Noa sudah diizinkan pulang. Jadilah Shaga tidak perlu melakukan tugas yang tidak disukai karena Noa pulang dengan pacarnya. “Hati-hati, kamu masih lemas, kan?” Keano membantu Noa turun dari mobil. Sementara itu, Anjani dan Riris membawa beberapa barang milik Noa selama di rumah sakit. Walaupun Cuma sebentar, gadis itu tetap membutuhkan banyak barang terutama untuk perawatan wajah agar kulitnya tetap sehat. Berjaga-jaga jika ada kamera wartawan yang mengetahui keberadaannya, penampilannya tidak terlalu menyedihkan. “Makasih Beb,” balas Noa atas perhatian Keano. Sesampainya di dalam rumah, Noa sudah disambut oleh asisten rumah tangga. Sementara itu, Asminta tidak ada di rumah karena harus menemani Arghandi pergi ke sebuah acara penting. Itu sebabnya, Keano diminta untuk menemani Noa. “Kalian minum dulu. Makan siangnya masih disiapkan, jadi sabar sebentar,” ucap Noa saat minuman segar tersaji di atas meja. Anjani dan Riris mengambil jus jeruk yang nampak segar karena cuaca di luar cukup panas. Pandangan mata mereka tidak henti-hentinya melihat ke sekitar karena mengagumi megahnya rumah dari ayah tiri Noa. “Kalau aku ditinggal sendiri, bisa-bisa tersesat,” celetuk Riris. Anjani pun mengangguk. “Lain kali, boleh dong diajak keliling.” “Kalian norak sekali,” sindir Keano lalu meneguk minumannya sendiri. “Rumah seperti ini juga pernah kalian lihat kalau ada syuting film. Jadi kenapa heran padahal ada rumah yang lebih mewah dari ini. Kalau aku mau, aku juga bisa punya rumah setipe rumah papa tirinya Noa,” sambungnya dengan angkuh. Riris tersenyum sinis. “Enggak usah sombong, Ke. Kamu ini anak baru yang Cuma beruntung lagi naik daun. Jangan lupa diri atau terlalu meninggi, kalau jatuh sakit banget, loh.” “Siapa yang sombong? Pada kenyataannya memang begitu, kan?” Keano menghela napas, lalu mengalihkan pandangan kepada Noa. “Mungkin karirku belum selama Noa. Tapi kalian jangan lupa, Noa juga dapat imbas baik dari hubungan ini.” Noa menghela napas panjang. Kepalanya pening mendengar perdebatan orang-orang di hadapannya. “Kalian bisa diam, tidak? Nggak perlu membahas hal yang nggak penting. Kepalaku jadi sakit.” Riris beranjak dari duduknya, menatap Keano dengan kesal. “Aku izin lihat ke belakang ya. Sekalian cari udara segar, soalnya hawa di sini sumpek, padahal ac nyala.” Tidak ada yang mencegah kepergian Riris. Malah akan lebih bagus karena bisa menghindari perdebatan semakin panas antara asisten Noa dengan Keano. Keduanya memang tidak pernah akur, seperti tikus dan kucing. “Asisten kamu itu memang kurang sopan. Apa nggak ada niat cari penggantinya?” tanya Keano dengan santainya. “Kamu jangan ikut campur dan jangan merasa punya hak!” balas Noa. Anjani tersenyum sinis mendengar perkataan Keano dan jawaban Noa. “Urus saja urusanmu, Keano. Jangan merasa punya kuasa atas apa yang Noa lakukan.” Perdebatan ketiganya terhenti saat mendengar suara jatuh di kolam belakang. Ketiganya kompak menoleh dengan ekspresi terkejut. “Suara apa itu?” tanya Noa. “Jangan-jangan Riris? Ya ampun, dia nggak bisa renang, Noa!” Lantas Noa dan Anjani berlari ke arah kolam renang untuk mengecek keadaan. Benar saja, Riris sudah berada di pinggir kolam dengan kondisi basah dan wajah yang syok. Yang paling mengejutkan, ada Shaga di sana. “Ris, kamu nggak apa-apa?” tanya Anjani panik. Riris menggeleng. “Enggak kok,” balasnya dengan gugup. Noa mendorong d**a Shaga yang juga dalam keadaan basah. “Kamu ngapain di sini? Riris jatuh karena kamu, kan? Dia nggak bisa berenang, kalau tenggelam gimana?” tanya Noa dengan nada tinggi. “Noa, jangan salah paham. Aku jatuh sendiri dan dia bantu aku,” ucap Riris cepat. Seketika wajah Noa yang awalnya tegang, perlahan menciut. Tatapannya yang berani ke Shaga, kini justru siap-siap berpaling. Ada rasa malu karena menuduh begitu saja. Ditambah sikap Shaga yang dingin, diam tanpa pembelaan, membuat suasana semakin tegang. “Kamu ceroboh banget, sih,” ucap Anjani gemas kepada Riris. Riris menunduk. “Maaf.” Noa menghela napas, berpaling meninggalkan Shaga tanpa meminta maaf. “Ya sudah, ayo masuk! Ganti baju kamu, nanti sakit kalau pakai baju basah.” “Lihat, Asisten kamu kayak tikus kecebur got. Menyedihkan sekali,” celetuk Keano. “Bisa diam nggak, sih?” Anjani membalas kesal. Sementara itu, Shaga pergi dari hadapan orang-orang yang masih berada di area kolam renang. Niatnya membantu hingga basah kuyup, justru dituduh berniat buruk. Bahkan dirinya tidak menerima permohonan maaf dari Noa. Noa dan Anjani menunggu Riris berganti pakaian. Sementara Keano berada di ruang tamu, bersantai dengan ponselnya. Noa masih memikirkan ucapannya terhadap Shaga dan bagaimana sikap laki-laki itu yang tetap dingin meski ia tuduh yang bukan-bukan. “Cocok juga pakai bajunya Noa,” ucap Anjani pada Riris yang baru keluar dari kamar mandi. Riris masih memasang raut wajah tidak enak kepada Noa. “Maaf ya, Noa. Aku nggak ada niat buat kekacauan.” “Sudahlah, nggak usah lebay. Santai dan lupakan.” “Tapi gimana ceritanya kamu bisa jatuh ke kolam?” tanya Anjani. “Jadi aku berdiri di pinggir kolam. Nggak sadar kalau Shaga jalan di belakangku. Pas aku balik badan, terus kaget. Akhirnya jatuh dan dia nolong aku,” jelasnya. “Ya ampun, dia bertanggung jawab banget. Setelah buat kesalahan, dia bantu kamu buat naik ke kolam. Sudah ganteng, baik lagi.” Noa berdecis. “Jangan terlalu memuji kalau kamu nggak tahu sifat aslinya.” “Maksud kamu , Shaga dingin dan nggak banyak omong? Kalau itu sih aku sama Riris tahu.” “Diam-diam dia sangat menyebalkan.” “Jangan begitu, Noa. Kamu juga kasar sama dia, jadi wajar kalau sama kamu, dia jadi begitu. Tadi dia nanya keadaanku kok, memastikan aku baik-baik saja,” tutur Riris. Noa terdiam tidak menanggapi. Namun, diam-diam ia juga mengingat bagaimana kebaikan laki-laki itu kepadanya. Hanya saja, perkataannya kemarin di rumah sakit, semakin membuat hubungan mereka menjadi dingin. “Ngomong-ngomong, Shaga nggak punya kerjaan? Kenapa jam segini dia di rumah?” Noa mengangkat bahunya ringan. “Entahlah. Yang aku tahu, dia kadang jadi bodyguard Om Ghandi. Kadang dia di sanggar judo, jadi selain itu, aku nggak tahu.” “Enak kali ya punya bodyguard seganteng Shaga. Gagah dan berkharisma. Sayang, kayaknya aku bukan tipenya dia,” celetuk Anjani dengan mata memancarkan sorot putus asa. “Mending cari yang lain, enggak usah berharap sama orang seperti dia, nanti kamu menyesal,” balas Noa. “Memangnya kenapa? Menurutku dia baik kok, sempurna sebagai laki-laki. Enggak kayak …” Noa mendelik Anjani tajam. “Aku lapar, ayo makan. Ngomong sama kalian, bukannya jadi bertenaga, malah bikin aku makin lemas.” Sementara itu, Shaga datang ke dapur untuk makan siang. Kondisi rambutnya setengah basah dengan pakaian yang sudah rapi dan wangi. Tanpa diinginkan, ia harus bertemu dengan Keano yang sudah duduk di meja makan. Selayaknya pemilik rumah yang bebas melakukan apa saja. “Ayo makan. Bibi sudah siapin semua makanan untuk kita makan siang,” ucap Keano kepada Shaga. Shaga menoleh, setelah meneguk air dingin dan berdiri di depan kulkas. “Rasanya kebalik. Harusnya aku atau Noa yang bilang begitu kepada Anda atau yang lain sebagai tamu?” Keano tersenyum sinis. “Santai sedikitlah. Toh kamu bukan anak kandung Om Ghandi, jadi jangan sok berkuasa.” “Berkuasa?” Terdengar tawa sumbang dari Shaga. “Anda yang sok berkuasa,” sambungnya. Lantas, Keano beranjak dari duduknya, lalu berjalan mendekati tempat Shaga berdiri. Memberi tatapan tajam dan juga remeh. Seakan Shaga tidak punya kuasa yang berarti. “Kamu nggak tahu siapa aku? Atau Noa belum kasih tahu, kalau Keano Leonardo adalah pacarnya?” “Nggak penting!” Tangan Keano dengan cepat menarik kerah baju kaos yang dipakai Shaga. Satu tangannya mengepal, namun belum terangkat. “Jangan kurang ajar atau kamu akan tahu akibatnya,” ancam Keano. Shaga segera melepeskan tangan Keano, lalu mendorong laki-laki itu dengan kasar. Yang ia lakukan, bertepatan dengan kemunculan Noa. “Shaga! Kamu kenapa kasar begitu ke Keano?” Melihat kemunculan Noa, Shaga segera mengurungkan niatnya memberikan pelajaran kepada Keano. Ia nampak malas kalau harus berdebat dan mendapati Noa salah paham. “Beb, aku nggak tahu saudara kamu sekasar ini. Kamu harus hati-hati,” ucap Keano – membalikkan fakta. Shaga tersenyum miris. “Kalian berdua memang sangat serasi. Sama-sama memuakkan!” “Shaga!” Noa menghampiri Shaga tetapi laki-laki itu pergi dari dapur. Sontak suasana menjadi sangat tegang. Hanya Shaga dan Keano yang tahu kebenarannya. Sedangkan Noa, hanya bisa menatap kepergian Shaga dengan tatapan kesal. “Kamu nggak apa-apa?” tanya Noa kepada Keano. Laki-laki itu menggeleng. “Enggak kok. Dia kayaknya nggak suka aku di sini.” “Enggak perlu ditanggapi. Ayo makan dulu, aku harus minum obat.” “Paling kamu yang mancing Shaga sampai dia emosi,” cibir Riris. Anjani menyikut temannya agar berhenti bicara. “Aku lapar, ayo makan.” Selama di meja makan, Noa lebih banyak diam. Pikirannya terus tertuju kepada Shaga yang pergi tanpa ikut makan siang. Momennya selalu salah, sehingga mereka selalu saja terlibat dalam suasana panas. “Harusnya Shaga ikut makan, eh dia malah pergi,” gumam Anjani. “Jangan bahas dia, selera makanku jadi hilang!” bentak Noa.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN