Justin memilih untuk pulang. Tidak ada alasan yang pasti mengapa ia harus ada di kamar gadis itu, kecuali fakta bahwa ia tertarik dengan gadis itu. Bola mata cokelat yang bersinar, bulu mata yang lentik, bibir yang ranum, dan tubuh wanita dewasa. Justin berpikir bahwa gadis itu pasti berusia duapuluh ke ata, dan kecantikan wajah itu mengingatkannya pada seseorang.
"Kamu pulang? Aku pikir kamu akan menginap di sana dan melakukan yang tidak-tidak."
Justin mengabaikan perkataan Javier dan merebahkan dirinya di sofa. "Aku tidak akan melakukan itu disaat tunanganku baru saja pergi, Vier." Kemudian Justin memejamkan matanya dan pikirannya melayang ke Vanilla. Gadis itu benar-benar membuat Justin penasaran. Matanya yang bersinar saat menatapnya benar-benar menghiptonis Justin.
"Mama memintamu untuk ke rumah malam ini," seru Javier tiba-tiba.
"Kenapa? Apa Mama memintaku untuk menikah lagi? Atau Mama akan mengucapkan selamat untuk kepergian Levina?"
Javier terkekeh kecil. Hubungan Levina dan Sonia memang memburuk. Sonia tidak suka dengan Levina yang memiliki usia lebih jauh dari Justin. Lagipula siapa yang suka jika anaknya yang berusia duapuluh delapan tahun menikah dengan wanita berusia tiga puluh lima tahun.
"Tidak, Mama ingin menemuimu. Sepertinya Mama ikut berduka cita atas kepergian Levina," ucap Javier.
Justin mengembuskan napasnya. "Baiklah, lagipula aku merindukan Rara dan Ira." Justin pun bangkit dan berjalan ke mobilnya. Ia memilih duduk di kursi kemudi dan membiarkan Javier menyetir.
"Tuan Justin..."
Justin menoleh dengan kening berkerut dan turun ketika pria tua yang ia kenali sebagai pengacara Levina datang.
"Aku ada urusan, tunggu di sini," perintahnya pada Javier.
"Ada apa?" tanya Justin kepada pria tua itu.
"Anda harus mendengar surat wasiat Nona Levina."
Justin mengerutkan keningnya. "Apa dia memiliki wasiat?"
Pria tua itu mengangguk. Tidak perlu basa-basi, pria itu langsung mengatakan jika Levina meminta Justin mengurus putri tunggalnya, Vanilla Fernando. Itu permintaannya ketika terjadi sesuatu kepada dirinya.
Justin sangat terkejut. Ternyata Levina membohonginya, wanita itu sudah memiliki putri. Dan sekarang ia diminta untuk menjaga putri tunggalnya yang bahkan tidak ia kenali.
"Di mana gadis itu?"
"Apa anda akan mengurusnya?"
"Itu wasiatnya, jadi aku harus melakukannya, meskipun dia sudah membohongiku." Justin tidak habis pikir. Jika bukan karena sesuatu, ia tidak akan melakukannya. "Ini tidak bertahan lama, kan?"
"Hanya ketika saatnya tiba. Nona Levina meminta anda menjaganya sementara. Untuk tempatnya, aku baru saja menemukan tempat tinggalnya, datanglah ke tempat ini." Pria tua itu lalu memberikan secarik kertas yang bertuliskan alamat Vanilla.
Justin kemudian pergi ke alamat yang pria tua itu berikan. Dan di sinilah Justin berada. Di depan kamar Vanilla. Ia ingat betul kamar VVIP 202 ini.
"Sepertinya kita memang ditakdirkan bertemu, manis," gumamnya ketika sadar akan hal itu. Kemudian ia mengeluarkan kunci cadangan kamar itu dan membukanya. Ia bebas melakukan apa pun di hotel ini, karena hotel ini milik keluarganya.
Setelah masuk, ia melihat Vanilla sedang meringkuk di bawah. Gadis itu terlihat takut dan air matanya turun. Justin begitu panik. Ia berjalan ke arah Vanilla dan memegang pundak gadis itu.
"Kamu siapa?" tanya Vanilla begitu ia memandang Justin.
Justin tidak menjawab. Ia tersihir begitu saja oleh bola mata itu, dan ia begitu b***t karena melihat bibir ranum yang bergerak perlahan itu.
"Aku Justin O'brian, tunangan Levina." Hanya itu yang perlu Justin ucapkan, dan Vanilla langsung tahu. Vanilla hanya mendengar namanya dari surat yang Levina kirimkan.
"Kenapa kamu kemari?"
"Aku akan menjemputmu."
"Menjemputku?"
Justin mengangguk.
"Kenapa? Aku tidak akan tinggal dengan pria asing. Itu mematahkan prinsipku."
Justin mengerutkan keningnya. "Prinsip? Jangan pikirkan hal itu. Levina tidak bisa mengirimkan uang lagi untuk hidupmu, lalu apa yang akan kamu lakukan untuk bertahan hidup? Mengemis? Atau menjadi p*****r?"
Vanilla terdiam. Membayangkan hal itu saja membuat ia merinding.
"Berapa usiamu?"
"Delapan belas."
"APA?!"
Vanilla menutup matanya karena teriakan Justin. "Kenapa? Kamu tidak percaya? Mengapa kalian semua tidak percaya jika usiaku delapan belas? Apa aku terlihat tua?"
Justin menggeleng. Bukan karena itu, tapi masalahnya Vanilla terlalu dewasa untuk menjadi gadis berusia delapan belas. Sangat berbeda dengan gadis Jakarta. Akan tetapi, setidaknya tubuh mungil Vanilla mengatakan usia gadis itu. Namun, percuma saja ia memiliki tubuh yang mungil jika berisi.
Sial! Kenapa ia malah memikirkan tubuh Vanilla.
"Jadi bagaimana, kamu tinggal di sini sampai miskin atau tinggal bersamaku dan hidup dengan nyaman?"
"Aku terbiasa hidup berkecukupan, jadi aku akan melakukannya, tapi kamu janji akan memenuhi kebutuhanku?"
Justin mengangguk. Sikap Vanilla begitu polos. Bagaimana bisa gadis di hadapannya ini menerima ajakannya secepat ini.
"Baiklah, bisakah kamu membawa koperku? Itu sangat berat dan juga kepalaku masih pening."
Justin mengerutkan keningnya.
Hell no!
Kenapa ia yang diperintah Vanilla.
"Kamu tidak akan melakukannya? Maaf jika aku keras kepala dan egois, tapi begitulah guruku mengajari. Katanya aku tidak boleh bersikap baik pada pria tampan yang sudah bekerja."
Justin semakin mengerutkan keningnya. Ia senang dikatakan tampan, tapi tetap saja ia merasa kesal karena gadis itu masih ragu-ragu padanya.
"Ingat, bilang pada gurumu itu jika pria tampan selalu baik, mengerti?"
Vanilla terdiam. Ia malas menjawab.
"Kenapa tidak menjawab?"
"Malas," jawabnya kemudian berdiri dan mengambil tas kecilnya. Ia juga mengambil ransel kecilnya dan berjalan ke luar kamar. Sedangkan Justin, ia menurut dan membawakan koper besar milik Vanilla.
Setibanya di tujuan, Vanilla tidak terkejut melihat mansion megah Justin. Seolah-olah itu adalah hal yang lumrah untuk ia lihat.
"Kenapa? Kamu tak menyukainya?"
Vanilla melirik ke arah Justin dan menggeleng. "Kamu menghabiskan terlalu banyak uang untuk rumah ini. Jika aku jadi kamu, maka aku akan menggunakannya untuk membeli sebuah panti asuhan."
Justin tersenyum sarkastik. "Terserah kamu saja nona manis," ucapnya.
"Apakah kamarku di lantai atas?" tanya Vanilla ketika Justin berjalan ke tangga.
Justin mengangguk.
"Bisakah aku di kamar bawah?"
"Tidak ada kamar bawah, itu hanya kamar tamu dan sudah ada yang menempatinya."
"Bagaimana bisa mansion semegah ini tidak memilik kamar lain di bawah?"
"Sebenarnya ada, tapi aku tidak bisa membiarkan anggota keluargaku tinggal di bawah, kecuali Javier, tentu saja."
Vanilla mengerutkan keningnya. "Siapa Javier?" Nama itu seperti tidak asing.
"Kamu akan tahu saat dia pulang," jawab Justin, lalu berjalan ke kamar Vanilla.
"s**t!"
"Kenapa?"
"Aku belum membersihkan kamar itu."
"Lalu bagaimana? Apa aku perlu tidur di sofa?"
Justin tampak memikirkan hal itu, tapi ia akan terlihat kejam membiarkan putri tunangannya tidur di sana.
"Kamu tidur di kamarku."
"Apa?!"
"Tidak ada pilihan, Nona." Justin pun berjalan ke lantai dua dan berhenti di pintu kamarnya yang bewarna putih bersih.
Sedangkan Vanilla, ia masih memikirkan perkataan Justin yang memintanya untuk tidur di kamarnya. Vanilla tidak berani. Ia tidak akan melakukannya. Gurunya sudah mengajarinya untuk tidak tidur dengan lelaki yang tidak ia kenali dengan baik.
Vanilla memilih untuk meringkuk di sofa tengah.