Mungkin semuanya akan merasakan kesedihan disaat orangtua yang mereka sayangi meninggal. Namun, itu tidak berlaku untuk Vanilla Fernando. Gadis muda berusia delapan belas tahun itu hanya menatap datar peti sang ibu, Levina Anastasia.
Selama delapan belas tahun hidupnya, ia hidup seorang diri di London. Tidak pernah sekalipun ia memiliki niatan untuk bertemu dengan wanita yang sudah membuangnya. Benar, ia dibuang. Jauh di negeri kerajaan itu.
Walaupun begitu, Levina tidak pernah absen memberikannya sejumlah uang yang sangat banyak. Vanilla menerima uang itu dengan baik dan hidup seperti remaja lainnya, tapi ia masih mengenal batas. Ia tidak pernah memiliki hubungan yang akan m*****i dirinya, karena itu akan mengingatkannya pada sang ibu yang sudah bertunangan jauh hari sebelum ulang tahunnya yang ke delapan belas.
"Dia kecelakaan mobil."
Vanilla menoleh ke asal suara. Ia melihat pria tinggi yang tampak datar di balik mata cokelatnya. Perlu Vanilla akui pria itu sangat tampan, bagaikan dewa Yunani yang biasa gurunya sebutkan di pelajaran sejarah.
"Aku tidak tahu usianya sependek ini."
Vanilla melirik ke pria lainnya yang tak kalah tampan. Tiba-tiba saja Vanilla memalingkan wajahnya ketika pria pertama melihatnya. Buru-buru ia menjauh dari sana. Vanilla berjalan keluar dari gedung, tapi tangannya tiba-tiba saja dicekal seseorang.
"Kamu Vanilla Fernando, kan?"
Vanilla mengangguk.
"Kamu harus mendengar surat wasiat ibumu."
"Kenapa aku harus?"
"Karena kamu putrinya," jawab pria tua itu.
"Terima kasih, tapi aku tidak membutuhkannya." Vanilla melepaskan cekalan itu dan berjalan ke trotoar. Di sana, ia menyetop taksi dan menaikinya dengan secepat kilat.
Pria tua tadi hanya mengembuskan napasnya dan kembali ke pemakaman.
Di samping itu pria dengan wajah Yunani tadi melihat kepergian Vanilla dengan penuh tanda tanya. Ia seperti pernah melihat gadis itu.
***
Vanilla membawa koper besarnya ke hotel. Untuk saat ini ia akan tinggal di hotel, setelah itu ia akan kembali ke London dan hidup seperti biasanya. Setelah meletakkan kopernya di kamar, Vanilla berniat mencari makan di restoran. Sayangnya tiba-tiba saja Vanilla mengumpat dengan kesal, karena ternyata restoran itu sedang mengadakan event dan itu membuat Vanilla resah. Ia benci keramaian.
Ia ingin keluar, tapi ia tidak terlalu mengenal Jakarta. Apalah daya Vanilla yang sedang kelaparan, terpaksa makan di sana.
Hotel ini benar-benar seperti kelab. Vanilla tahu akan hal itu karena ia sering melihatnya di drama yang ia tonton.
"Bolehkah aku memesan chicken steak?"
"Tentu saja, minumannya apa?" tanya pelayan itu.
"Vanila milkshake," jawab Vanilla.
Pelayan itu tampak mengerutkan keningnya. Seolah-olah Vanilla salah memesan minuman.
"Berapa?"
"70 ribu," jawab pelayan itu.
Vanilla mengeluarkan uang seratus ribu dan memberikannya ke pelayan itu. "Bisakah sisanya kamu memberikanku french fries?"
Pelayan itu mengangguk.
Vanilla pun pergi dari kasir dan berjalan untuk mencari tempat duduk. Namun, semuanya sudah terisi. Ia melirik ke kanan kiri, dan kedua matanya tertuju ke meja bundar yang hanya diisi seorang pria tampan yang dilihatnya di gedung gereja tadi.
"Anu, bolehkah aku duduk di sini?"
Pria yang sedang menyesap wine itu mendongak dan matanya berbinar-binar melihat wajah Vanilla.
"Pak?"
Pria itu tersentak. "Silakan."
Vanilla tersenyum manis dan itu sudah cukup membuat pria itu serangan jantung karena senyuman manisnya. Akhirnya Vanilla duduk. Ia berusaha untuk menikmati pesta itu, tapi itu membuat ia kebosanan. Alhasil ia memilih untuk memainkan ponselnya.
"Kak..."
Ia dan pria itu menoleh ke asal suara. Suara itu milik pria yang sama ia temui tadi di gedung. Pria yang tak kalah tampan.
"Dia siapa?" tanya pria itu pada pria yang tadi diam.
Yang ditanya hanya mengedikkan bahunya.
"Siapa namamu, Nona?" tanya pria itu.
Vanilla sedikit bingung karena tiba-tiba ditanya namanya.
"Namaku Javier, kamu siapa?"
Vanilla terlihat kaku, dan pria yang satu itu menyadari kegelisahan di wajah Vanilla.
"Vier, bisakah kamu mengambilkanku wine lagi?" pinta pria itu.
"Tentu saja," jawab pria bernama Javier, lalu pergi dari sana.
"Apa kamu berusaha jual mahal atau memang karena kamu takut dan ingin waspada?"
Vanilla terdiam. Ia sama sekali tidak mengerti dengan maksud pria yang ada di hadapannya itu.
"Kurasa kamu memang tidak tahu," kata pria itu langsung.
"Nona, makanan anda."
Vanilla tidak menggubris pria itu dan menoleh ke pelayan pria yang meletakkan pesanannya. Setelah meletakkan steak dan french fries, pria itu meletakkan minuman yang Vanilla tidak tahu. Ini bukan vanila shake.
"Apa ini benar vanila milksahe?"
Pelayan itu mengangguk. "Ini jenis terbaru, Nona."
Vanilla mengangguk mengerti. Ia melihat lagi minuman itu dan entah mengapa ia memiliki firasat yang buruk.
Pria yang tadi melihat itu mulai mengerutkan keningnya dan tatapannya masih fokus ke minuman itu.
Vanilla memakan steak-nya dengan hati-hati, dan tiba saatnya ia mencicipi minuman baru itu.
"Apa kamu akan meminum itu?" tanya pria itu.
"Lalu apakah aku harus mati kehausan?"
Pria itu menarik sudut bibirnya. Ia tidak akan ikut campur.
Vanilla akhirnya menenggak habis minuman itu dan ia merasa beda. Ini bukan minuman yang ia pesan. Tiba-tiba saja Vanilla merasa pening. Ia memakan french fries nya untuk menghilangkan rasa minuman itu, tapi tetap tidak bisa. Ia pun memilih untuk berdiri dan berjalan ke toilet.
Pria itu terus melihat Vanilla, bahkan ia melihat pelayan tadi mengikuti Vanilla. Tiba-tiba saja pria itu merasa akan terjadi sesuatu yang buruk pada gadis itu. Ia pun bangkit dan berjalan ke toilet. Benar dugaannya, pria itu sedang mencoba menarik tubuh Vanilla. Pria itu pun menghajar wajah pelayan itu sekali hantam dan langsung membuatnya tersungkur.
"Kamu tidak apa-apa?" tanya pria itu.
Vanilla tidak menjawab. Ia mengalungkan lengannya ke leher pria itu.
"Rasanya pusing..."
Vanilla membenamkan kepalanya di d**a pria itu. Sedetik kemudian ia mendongak dan menatap mata pria itu dengan intens.
"Justin..."
Justin nama pria itu. Ia menoleh ke arah Javier yang berjalan ke arahnya.
"Kenapa dia?"
"Mabuk, bisakah kamu membantuku?"
Javier mengangguk dan membantu Justin menggotong gadis itu.
"Coba cek kuncinya jika dia tinggal di sini."
Javier mengangguk dan mencari sebuah kunci kamar Vanilla di tas kecil yang ia bawa.
"Kamar VVIP 202," ucap Javier.
Mereka pun berjalan ke kamar Vanilla dan segera membantu gadis itu ke ranjangnya.
"Aku harus pulang, bagaimana denganmu?" tanya Javier.
"Aku akan di sini sampai dia bangun. Kamu pulang saja dulu," jawab Justin.
Javier pun keluar dari kamar Vanilla. Sedangkan Justin, ia masih memandang Vanilla yang sedang terbaring di ranjang itu.
"Cantik," gumamnya. Seketika ia terkekeh kecil karena kepolosan gadis itu. Ia tebak jika gadis itu masih perawan.
"Eung..."
Justin menegakkan tubuhnya ketika Vanilla mengerang.
"Mom..."
Justin mengerutkan keningnya, ia berjalan ke sisi ranjang Vanilla dan keringat dingin keluar dari keningnya. Sepertinya gadis itu mulai mengigau.
"Mom..." erangnya lagi.
Justin hendak mengambil handuk untuk mengusap keringatnya, tapi tangannya dicekal Vanilla. Ia pun mengurungkan niatnya.
Tes...
Air mata Vanilla turun membasahi pipinya yang super lembut. Justin yang melihat itu, merasa tersentuh karenanya. Ia mengusap pipi Vanilla dengan lembut. "Tidurlah, kamu akan baik-baik saja."