PART 16

1710 Kata
Alec terus memangku wajahnya sembari menatap lekat-lekat wajah mungil Vanilla, gadis yang selama ini membuat ia merasa nyaman setelah kepergian Avira. Alec memiringkan kepalanya sedikit dan melihat betapa mungilnya wajah perpaduan Inggris-Indonesia itu. Benar-benar menunjukkan wajah seorang peri yang jatuh ke bumi. Alec tidak pernah menyangkal fakta bahwa Vanilla sangat cantik. Kecantikan gadisnya itu tidak pernah pudar, meskipun usianya bertambah. Yang ada, sinar kecantikannya semakin meningkat. Sepertinya Tuhan tengah berbaik hati karena memberikan kecantikan wajah yang tiada taranya untuk Vanilla. "Eng..." Otomatis Alec menegakkan tubuhnya ketika kelopak mata indah itu terbuka. Alec terus memperhatikan Vanilla yang masih menyesuaikan matanya dengan cahaya kamar. "Kenapa aku di sini?" pertanyaan pertama yang terlontar dari bibir Vanilla. "Di rumah sakit." Alec dapat melihat dengan jelas keterkejutan di mata Vanilla. Sudah dapat dijelaskan bahwa gadis itu kesal. "Aku ingin pul---" "Vanilla." Keduanya menoleh ke pintu dan muncul Alex dengan raut wajah yang pucat pasi. Alex langsung berjalan ke arah Vanilla dan memeluk putrinya itu dengan erat. "Kau tidak apa-apa?" Vanilla mengangguk pelan. Kemudian Alex melepaskan pelukannya dan menoleh ke Alec. "Apa yang terjadi?" "Kita bicara di luar," ajak Alec sambil berjalan mendekati pintu dan membukanya. "Tunggu di sini," ucap Alex. Vanilla mengangguk dan keingnya berkerut ketika melihat kedua punggung pria itu menghilang. Vanilla mengembuskan napasnya dan kembali berbaring. Ia meringkuk ketakutan dan selimut itu ia pegang dengan erat. Tiba-tiba saja air matanya keluar. Ada satu alasan mengapa sikap Vanilla seperti itu. Dan alasannya adalah mimpi yang ia alami sebelum sadar. Di dalam mimpinya itu, ia bertemu dengan wanita cantik yang sangat anggun. Wanita itu berkata bahwa ia akan mengambil apa yang paling beharga untuk Vanilla. Vanilla tidak tahu mengapa ia bermimpi seperti itu, tapi ia benar-benar ketakutan. Apa yang paling beharga? Memangnya apa yang ia miliki saat ini? Ia bahkan tidak mempercayai bahwa ia masih memiliki seorang ayah. Ini hanya bunga tidur. Dan tidak seharusnya Vanilla takut akan hal itu. Tapi, meskipun ia memikirkan hal yang positif, ia tidak bisa melawan kegundahan hatinya. Vanilla terkesiap ketika Alex muncul dengan raut yang semakin panik dari awal kedatangannya. "Kita pulang sekarang." Vanilla mengangguk dan mereka pun bersiap-siap untuk pulang. Ini benar-benar aneh. Di dalam mobil itu, Alex dan Alec diam tanpa pernah mengajak Vanilla bicara sekalipun. "Kita akan ke London lusa. Urusan yang belum selesai akan dilanjutkan Alec di sini." Vanilla mengerutkan keningnya bingung. Seingatnya Alex pernah bilang jika mereka akan berada di Indonesia selama enam bulan, sampai urusannya selesai. Dan karena hal itu juga Vanilla memutuskan untuk kuliah sebentar. Namun, kenapa semuanya seperti ini? "Apa ada masalah?" tanya Vanilla. Mereka diam. Tidak ada yang menjawab pertanyaan Vanilla. Vanilla pun menyerah dan memalingkan wajahnya ke luar jendela. Saat matanya melihat-lihat jalanan kota Jakarta, iris birunya itu terpaku pada jajanan di pinggir jalan. "Berhenti!" Otomatis supir yang mengendarai mobil berhenti mendadak dan membuat para pengemudi lain memaki mereka. "Astaga, Vanilla..." seru Alex. Vanilla hanya tertawa, dan bersiap melepaskan sabuk pengamannya. "Bisakah aku meminta uang?" pinta Vanilla sambil memohon. "Untuk?" "Aku ingin jajanan itu," jawabnya dengan wajah yang terlewat imut. "Aku akan membelinya nanti, sek---" "I want it, now!" Alex menatap mata biru Vanilla dengan bingung. "Baiklah, cepat kembali dan jangan membeli jajan sembarangan, mengerti?" Vanilla mengangguk dan langsung turun dari mobil itu ketika Alex memberinya uang. Dengan hati-hati, ia berjalan santai ke jajanan cimol. "Aku beli dua puluh ribu." Pedagang itu tampak terkejut. "Du-dua puluh? Itu terlalu banyak." "Benarkah?" tanya Vanilla polos. Pedagang itu mengangguk. "Tidak masalah, berikan aku dua puluh ribu. Ada yang pedas?" Pedagang itu mengangguk. "Baiklah, berikan dua puluh ribu yang pedas." Dengan hati yang bergembira dicampur bingung, pedagang itu mulai menyajikan pesanan Vanilla yang sangat banyak. "Ini uangnya, ambil saja kembaliannya untuk membeli minuman," ucap Vanilla kemudian berjalan dengan pelan sambil mencoba cimol itu. "Enaknya, aku lupa menanyakan nama makanan ini," ujar Vanilla. Kemudian ia menoleh ke pedagang itu. "Tuan, ini namanya apa?" "Cimol," teriak pedagang itu bahagia. Vanilla pun mengerti. Ia membalikkan badannya tanpa melihat ke depan, dan tiba-tiba saja ia menabrak tubuh seseorang. Beruntung tubuhnya tidak jatuh karena seseorang itu berhasil memegang tubuhnya. "Long time no see, girl?" "Justin." Vanilla langsung memebenarkan posisinya dan sedikit menjauh dari Justin. "Untung aku yang menangkapmu, jika pria lain, maka aku akan membunuh pria itu karena berani-beraninya menyentuh calon istriku." Vanilla mencibir dan berniat untuk pergi, tapi Justin dengan cepat menahan tangannya. "Bisa kita bicara?" Vanilla langsung menggeleng. "Tidak ada yang bisa kita bicarakan. Aku membencimu, Justin. Kau harus ingat itu." "Ya, aku sangat mengingatnya. Aku sangat ingat bagaimana mata biru mu itu menatap tajam ke arahku." "Lalu kenapa kau masih mengikutiku? Aku mohon berhentilah, Justin. Kita akan berpisah secepat mungkin." Justin mengerutkan keningnya. "Berpisah secepat mungkin? Apa maksdumu?" "Lusa kami akan berangkat ke London, dan akan tinggal di sana untuk seterusnya." Justin membulatkan matanya tidak percaya. Bagaimana bisa Vanilla pergi meninggalkannya setelah apa yang terjadi diantara mereka, ya mesti Justin aku jika itu semua adalah kesalahannya, tapi tidak seharusnya Vanilla berlaku seperti ini. Ia mencintai Vanilla, dan itu faktanya. Masalahnya adalah Vanilla tidak mencintainya. Solusinya? Seharusnya Vanilla belajar mencintainya. Oke, mungkin Justin terlihat egois, tapi ia benar-benar tidak sanggup melihat kepergian Vanilla. "Vanilla." Keduanya sontak menoleh ke asal suara, dan di sana muncul Alex yang sedang menatap mereka dengan tajam. "Ayo." Vanilla mengembuskan napasnya, kemudian menatap Justin baik-baik. "Dengar, Justin. Aku masih membencimu, tapi aku tidak menyangkal sebuah fakta bahwa aku merindukanmu." Justin terdiam. "Sebenarnya ini bukan keinginanku untuk pergi, tapi mungkin aku harus melakukannya. Lagipula, kita memang awalnya tidak memiliki hubungan apapun. Anggap saja kesalahan malam itu adalah cara Tuhan membuat hubungan kita dekat, oke?" Setelah mengatakan perkataan yang bahkan tidak membutuhkan balasan dari Justin, Vanilla berjalan dengan langkah yang pelan ke arah Alex. Disaat kedua orang itu pergi, tangan Justin mulai terkenal. Ia berbalik dan melihat mobil mewah itu menjauh dari tempatnya. "Pertama aku sudah membiarkan Avira pergi, jadi kenapa aku harus membiarkan kau pergi?" Mata cokelat Justin tidak pernah berhenti melihat mobil yang sudah berhenti di lampu merah itu. "Kak..." Justin menoleh ke asal suara dan melihat Jenny yang berlari ke arahnya dengan dua jagung bakar di tangannya. "Ini," kata Jenny sambil memberikan jagung itu pada Justin. Justin menerimanya dalam diam dan itu membuat Devany bingung. "Kenapa?" Justin menggeleng. "Masalah Vanilla?" Justin diam sambil terus berjalan ke parkiran, yang di mana Reno sudah menunggu mereka. "Kak, jika Kakak mencintainya seharusnya Kakak berjuang. Jangan menyerah hanya karena kesalahan yang sudah Kakak lakukan. Ingat Kak, cinta itu tidak bisa berjalan sendiri, harus ada salah satunya yang bertindak. Jika kalian tidak bertindak sama sekali, maka akan merusak cinta itu." Justin berhenti melangkah, begitu juga dengan Jenny. "Jadi apa yang harus kulakukan?" tanya Justin. Jenny tersenyum. "Lakukan apapun untuk membuat Vanilla memaafkanmu. Karena dengan begitu, ayahnya pasti akan merestui kalian." Justin tersenyum. Ternyata tidak salah membagi bebannya pada Jenny yang selalu bersikap dewasa. "Ngomong-ngomong, kenapa sekarang kau semakin dekat dengan Reno?" Raut wajah Jenny berubah seketika. Dan itu otomatis membuat Justin memikirkan hal yang tidak-tidak. "Aku tidak pernah bertemu dengan Reno selama ini, apa terjadi sesuatu?" Jenny mengangguk. "Kak Reno membatalkan pertunangannya dengan Sintia." Justin sedikit terkejut. "Apa karenamu?" Justin mencoba bertanya. Jenny mengembuskan napasnya, lalu memakan jagungnya. "Sulit menjadi dokter yang cantik dan digilai semua orang." Justin tertawa karena perkataan Jenny. "Kau baik-baik saja, kan? Jika terjadi sesuatu, katakan kepadaku." "Aku baik-baik saja, Kak. Ayo pergi," ajak Jenny sambil menggandeng tangan Justin. Mereka pun pergi ke mobil yang sedang dijaga Reno. *** Alex terus memerhatikan Vanilla yang sedang menikmati camilannya. Putrinya itu sudah menghabiskan sekitar sepuluh snack yang membuat Alex waswas. Bagaimana jika itu beracun? Bagaimana jika tenggorokannya sakit? Berbagai macam efek negatif membuat Alex tidak berhenti gelisah. Terlebih lagi mengenai kandungan Vanilla. "Sepertinya aku tahu Ayahnya," ujar Alec yang sedang duduk di samping Alex. "Siapa?" "Justin," bisik Alec. Alex mengerutkan keningnya dan menoleh ke arah Alec. "Beberapa minggu yang lalu Vanilla menghubungiku dan memintaku datang ke Indonesia. Saat itu wajahnya begitu pucat dan ia terlihat menahan rasa sakit yang ada di selangkangannya. Saat membiarkan ia pergi, Justin datang dengan wajah yang tak kalah pucat dan panik. Aku yakin terjadi sesuatu diantara mereka, dan entah kenapa aku memikirkan hal itu baik-baik. Ada dua kemungkinan, Vanilla menyerahkan tubuhnya atau Justin memper---" Alec menghentikan perkataannya saat ia melihat bagaimana keras rahang Alex. "Apa yang harus kita lakukan? Kita tidak bisa membiarkan bayi itu lahir tanpa Ayah." Alex diam. Ia juga bingung. "Apa Justin mencintai Vanilla?" Alec mengedikkan bahunya. "Jika begitu cari tahu apakah pria berengsek itu mencintai Vanilla." "Lalu apa yang akan kita lakukan jika ia mencintai Vanilla?" "Tentu saja aku akan menikahi mereka. Ingat, Vanilla memiliki darah bangsawan Inggris dan jika media menemukannya dalam keadaan hamil, maka keluarga bangsawan Inggris lainnya akan malu. Mereka juga akan mulai menghujat Vanilla, dan aku tidak ingin itu terjadi." Alec mengangguk mengerti. Walaupun di Inggris tidur bersama dan hamil di luar nikah sudah biasa, tapi tidak untuk anggota bangsawan. Karena itu sama saja merusak moral yang sudah dibangun. Bangsawan harus suci dan bersih dari kejahatan atau apapun itu. "Bagaimana jika Justin tidak mencintainya?" tanya Alec serius. Alex balik menatap Alec dengan serius. "Buat si berengsek itu menderita, dan bawa Vanilla kemanapun. Walaupun ke ujung dunia sekalipun." Alec menatap mata biru itu dengan serius. Perkataan Alex yang keluar dari bibirnya, harus dilakukan. Tanpa semua orang sadari, Alex berani mengotori tangannya untuk melindungi orang terkasihnya, dan itu berlaku untuk Vanilla, putri yang sudah lama tidak ia jumpai. *** Justin bangun dari tidur siangnya. Ia bangkit dari sofa kantor itu dan tiba-tiba saja ia merasakan pening yang amat sakit. "Kau tidak apa-apa?" Justin mendongak dan di sana sudah ada Lara. "Kenapa kau di sini?" tanya Justin. Lara menghela napasnya lega terlebih dulu, kemudian ia menggenggam tangan Justin. "Aku melihatmu pingsan tadi saat akan menemui mu di kantin kantor." Justin mencoba mengingat hal itu. Dan memang benar jika tadi kepalanya begitu pusing bahkan ia merasa mual terus-menerus. Ini sangat aneh, mengingat Justin tidak pernah merasakan sakit kepala selain akibat dari minuman alkohol. "Aku juga memanggil Reno untuk memeriksamu," lanjut Lara. Justin hanya diam. Ia menghela napasnya dan mengencerkan punggungnya sambil memejamkan matanya. Inilah satu-satunya cara untuk mengatasi rasa sakit itu. "Kata Reno kau terkena morning sickness." Kedua mata Justin perlahan terbuka. Kepalanya melayang ke satu tempat. Ia memiliki teman, dan temannya itu mengalami morning sickness ketika istrinya hamil. Justin mulai memikirkan hal yang tidak-tidak.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN