"Bunda ... "
Vanilla terbangun karena mimpi buruk yang datang ke tidurnya malam ini. Keringat terus bercucuran dari keningnya, dan itu membuat tubuhnya sedikit lengket. Vanilla tidak nyaman. Ia pun turun dari ranjang, berjalan ke balkon, dan merasakan hembusan angin malam yang saat ini sangat ia butuhkan.
Di pinggir balkon, ia memejamkan matanya dan pikirannya berkecamuk ke satu hal. Bundanya.
Ia tidak menyangka malam ini si bunda akan muncul, dan membuatnya ingin memeluk wanita yang sudah lama tidak ia pikirkan lagi. Berdosakah ia, Tuhan?
Sejak kedatangannya ke Indonesia, sosok cantik Levina mulai pudar, dan tergantikan oleh sosok pria manis bernama Justin.
Mungkin Vanilla membenci pria itu, tapi bukankah ia sudah menjelaskan jika ia sedikit merindukan pria itu?
Hembusan napasnya keluar, membuat hatinya yang tadi berdetak, kembali normal.
Tiba-tiba saja Vanilla menoleh ke jam besar yang ada di dinding.
Pukul 20.34
Jadi, ia hanya tidur selama dua jam? Astaga, ia pikir ini sudah pukul dua belas malam.
Dengan langkah yang pelan, Vanilla berjalan ke meja kecil yang ada di pinggir sofa. Ia mengangkat gagang telepon itu dan meletakkannya di telinga. Tangannya kemudian asyik menekan tombol yang masih ada dalam ingatannya.
"Halo." suara pria yang sangat ia rindukan terdengar dari seberang sana. Justin.
"Halo." Vanilla tidak juga menjawab, dan itu membuat si penerima menutup teleponnya.
Vanilla juga melakukan hal yang sama, ia meletakkan kembali teleponnya. Setidaknya ia sudah mendengar nama Justin.
Setelah itu, ia pun kembali menaiki ranjangnya dan mencoba untuk tidur kembali. Ia berharap, tidak ada lagi mimpi buruk yang akan mengganggu pikirannya.
***
Pagi ini Vanilla berangkat ke kampus bersama Alec. Pria itu tiba-tiba saja menawarkan diri untuk mengantar Vanilla. Vanilla yang masih marah dengan Alec, hanya bisa diam dan mengikuti apa saja perkataan Alec.
"Kamu masih marah sama aku?"
Saat ini keduanya sedang berada di dalam mobil.
"Vanilla..."
"Jika kau sudah mengetahuinya, kenapa masih mempertanyakannya?" kata Vanilla dengan nada yang tinggi.
Alec mengembuskan napasnya. "Oke, aku tahu aku salah, tapi sampai kapan kamu mendiamkanku seperti ini, Vanilla?"
Vanilla diam. Ia tidak ingin menjawab pertanyaan yang tak bisa ia pastikan.
"Apa yang harus ku lakukan agar kau tidak marah? Em?"
Sebenarnya Vanilla agak tertarik. Lagipula ia tidak bisa marah kepada Alec. Dan juga tidak seharusnya masalah ini dibesarkan.
"Aku akan memikirkannya?"
"Benarkah?"
Vanilla mengangguk. Dan itu membuat Alec mengembangkan seyumannya. Ternyata tidak sesulit itu membujuk Vanilla. Karena demi apapun, ia merasa kosong karena tidak bisa berinteraksi seperti biasanya bersama Vanilla.
"Kenapa kau bisa mengenali Daddy?" akhirnya Vanilla bertanya.
"Aku kepala agen di perusahaan Daddymu."
Vanilla mengerutkan keningnya. "Agen?"
"Agen rahasia," jawab Alec lebih detail.
Vanilla tidak percaya. Bukankah seharusnya agen dirahasiakan? Tapi mengapa Alec tidak merahasiakannya dari Vanilla.
"Kau tidak percaya?" tanya Alec seolah-olah bisa membaca pikiran Vanilla.
Vanilla mengangguk.
"Setelah tiba di kampus, aku akan memberitahukanmu sesuatu."
Sesuai dengan apa yang Alec katakan, Vanilla dibuat percaya dengan tanda pengenal Alec.
"Daddy mu bukan orang sembarangan, Vanilla. Ia saja meminta seorang kepala agen sepertiku untuk menjagamu, padahal kami memiliki anggota yang sangat ahli. Daddy mu tidak mudah memberikan kepercayaan pada orang lain."
Satu kata yang ada di benak Vanilla. Amazing.
"Nah sekarang, masuk ke kelasmu dan belajar dengan rajin, oke?" Alec memberikan tas pada Vanilla, dan Vanilla menerimanya dengan sangat baik.
Vanilla mengangguk dan pergi meninggalkan Alec. Ia berjalan dengan pelan, tapi menoleh ke belakang setelah melihat Alec pergi.
Dengan cepat Vanilla keluar dari Kampus dan menyetop taksi. Setelah mengatakan tempat yang ingin ia datangi, Vanilla menyenderkan punggungnya ke sandaran dan mencoba untuk bersikap tenang.
Tujuan Vanilla adalah makam. Hari ini adalah kali pertama Vanilla mengunjungi makam Lavina setelah acara pemakaman beberapa minggu yang lalu.
"Bunda, Vanilla datang." Alasan mengapa Vanilla datang adalah, karena ia merasa harus menemui Lavina setelah mimpi yang muncul di tidurnya tadi malam.
Vanilla mencoba tersenyum, meski ia begitu tersakiti karena keegoisannya selama ini. Ia merasa bersalah sudah mengabaikan kepergian Lavina.
"Kau di sini?"
Vanilla menoleh ke asal suara dan ada Justin yang sedang membawa sebuket bunga, dan Vanilla dapat menduga bahwa bunga itu akan diberikannya ke makam Levina.
"Kenapa kau ada di sini? Apa kau mengikutiku lagi?" tanya Vanilla, meski ia sudah tahu alasan sebenarnya kedatangan Justin.
Justin tersenyum geli dan berjalan ke samping Vanilla. "Hari ini adalah ulang tahun Levina, kau lupa?"
Vanilla terdiam. Ia benar-benar lupa dengan ulang tahun Levina. Oh astaga, ia anak yang durhaka.
"Aku lupa," ujar Vanilla sedih.
Kemudian Justin memegang pundak Vanilla, dan Justin dapat merasakan beban yang ada di pundak wanitanya itu. "Kau membenci Levina?"
Vanilla mendongak. Ia kemudian mengedikkan bahunya. "Di satu sisi aku membencinya, tapi di sisi lain aku benar-benar merindukan kehadirannya. Merindukan tulisan indahnya yang ia kirimkan untukku."
Vanilla mengembuskan napasnya dan kedua matanya kembali tertuju ke makam yang tertulis 'Levina Anastasia' itu.
"Lagipula sepertinya Bunda benar-benar tidak membutuhkanku. Buktinya, ia meninggalkanku dan tidak pernah mejadi Ibu yang aku inginkan. Bahkan, Bunda tidak datang ke London saat ulang tahunku yang ke-17. Miris kan?"
"Vanilla..."
"Aku harus kembali ke Kampus. Ngomong-ngomong, jangan berpikir karena aku bicara denganmu, maka aku akan memaafkanmu."
Setelah mengatakan apa yng sama sekali tidak ingin Justin dengarkan, Vanilla berbalik. Namun, Justin mencegah kepergiannya.
"Aku antar."
"Tidak perlu, kau pasti sibuk."
"Vanilla..."
Vanilla tidak merespon. Ia tetap berjalan keluar dari area pemakaman menuju jalan raya, sedangkan Justin ia hanya bisa mengikuti langkah Vanilla.
Tapi, tiba-tiba saja Vanilla menghentikan langkahnya. Dan itu membuat Justin mengerutkan keningnya bingung. Dengan cepat pria itu berjalan ke arah Vanilla, dam begitu terkejut saat mendapati hidung Vanilla yang berdarah.
"Astaga, Vanilla..." Justin langsung menggendong Vanilla ala bridal style dan membawa Vanilla ke dalam mobilnya. Vanilla sempat meronta, tapi tenaga Justin sangat kuat sehingga ia tidak bisa turun dari gendongan Justin.
Dengan terburu-buru, Justin membawa Vanilla ke rumah sakit yang dulu mereka datangi. Di koridor, ia langsung bertemu dengan Reno dan meminta pria itu memeriksa keadaan Vanilla.
Karena yang memeriksanya adalah Reno, Justin memiliki kesempatan untuk melihat pemeriksaan Vanilla di ruangan.
"Bagaimana keadaannya?"
"Jangan berlebihan Justin, aku hanya mimisan," ucap Vanilla sambil bangkit dari posisi tidurnya.
"Diamlah, Vanilla. Aku sangat khawatir."
Vanilla mengembuskan napasnya kesal, dan menoleh ke arah Reno yang dari tadi diam saja. "Tidak ada hal buruk terjadi, kan? Aku harus kembali ke Kampus. Daddy pasti mengkhawatirkan ku." tiba-tiba saja Vanilla teringat perkataan Alec tadi. Daddynya bisa saja meminta seseorang untuk mencari tahu keberadaannya seperti yang ada di drama-drama. Dan Alex pasti khawatir jika tahu bahwa dirinya tidak datang ke Kampus.
"Kau baik-baik saja. Hanya saja tubuhmu sangat lemah sekarang ini, apa kau kurang istirahat?"
Vanilla mengangguk. "Akhir-akhir ini jam tidurku berkurang, dan aku seringkali kelelahan."
Reno mengangguk mengerti. Kemudian ia menoleh ke arah Justin. "Just, bisakah kau ke ruangan Jenny dan memintanya untuk memberikan laporan pasien ruangan 104?"
"Kenapa harus aku?"
"Karena aku harus memeriksa darah Vanilla, bisakan?"
Justin mengembuskan napasnya. "Baiklah," jawabnya malas, tapi tetap pergi meninggalkan ruangan itu.
"Jadi..." Reno mendekatkan wajahnya ke wajah Vanilla. "Kau benar-benar tidak tahu?"
Vanilla mengerutkan keningnya. "Tahu apa?"
Reno tersenyum dan berdiri tegak dengan kedua tangan terlipat di dadanya. "Aku ingin tahu bagaimana reaksi Justin jika ia mengetahuinya."
Vanilla semakin bingung. "Aku benar-benar bingung saat ini."
"Kau ingin tahu hasil pemeriksaanku?"
Vanilla mengangguk. "Apakah parah? Tapi, tadi Kak Reno bilang itu hanya kelelahan saja."
"Memang, tapi ada alasan utamanya."
"Apa?"
"Kau hamil, Vanilla. Dan usia kandunganmu sudah memasuki satu bulan."
Vanilla terdiam. Tiba-tiba saja ia tertawa. Namun, ia berhenti tertawa saat melihat wajah serius Reno.
"You know that i'm not kidding, baby," ucap Reno saat tahu bahwa Vanilla mulai mengerti.
"But how? I think that its so impossible?" pikiran Vanilla mulai dipenuhi dengan kebingungan.
"Sayang, bisa saja kau hamil saat kalian melakukannya pertama kali. Meskipun perlu ku akui itu memiliki peluang yang kecil."
Bagaimanapun Vanilla mencoba untuk mengerti, ia sama sekali tidak mengerti.
"Aku ingin pulang, di mana tas ku?"
"Biarkan Justin yang mengantarmu, kondisimu masih lemah."
"Aku akan meminta seseorang menjemputku, dan aku sedang tidak memiliki hubungan dengan Justin saat ini," kata Vanilla lemah. Ia beranjak dari ranjang, dan berjalan mencari tasnya. Setelah menemukan tasnya, ia merogoh ponselnya dan mulai menghubungi Alec.
"Di rumah sakit mana ini?" tanya Vanilla masih dengan ponsel yang menempel di telinganya.
"Pelita Harapan."
Setelah Reno mengatakan nama rumah sakitnya, Vanilla langsung menjelaskannya pada Alec.
Panggilan pun berakhir, Vanilla bersiap-siap untuk menunggu Alec di luar. Namun, sebelum itu, ia berjalan ke arah Reno. "Bisakah Kak Reno tidak memberitahu Justin apa yang terjadi kepadaku? Aku akan memberitahunya sendiri."
Reno mengangguk, dan ia membiarkan Vanilla pergi keluar.
Sepanjang di koridor rumah sakit, Vanilla terus mengelus perutnya yang masih rata. Pikirannya masih berkecamuk ke perkataan Reno mengani kehamilannya.
Hamil? Tidak pernah Vanilla membayangkan hal itu sebelumnya. Usianya masih delapan belas tahun, dan bagaimana mungkin ia menjadi seorang ibu saat usianya bahkan belum mencapai 20?
"Aw..."
Vanilla merintih ketika ia tidak sengaja menabrak seorang perempuan mungil berambut pendek sebahu. Ia yang merasa bersalah, segera meminta maaf.
"Maafkan aku," ucapnya lembut.
Perempuan itu tersenyum. "Tidak apa-apa, kau juga tidak apa-apa, kan?"
Vanilla mengangguk. "Jika begitu, saya permisi." setelah itu Vanilla kembali berjalan, tapi langkahnya berhenti saat ia mulai merasakan sesuatu.
Sentuhan tangan itu sangat sama dengan sentuhan penusuk Vanilla saat pesta topeng. Bahkan, Vanilla dapat merasakan aroma yang sama dari keduanya. Dengan berani, Vanilla menoleh ke belakang untuk melihat perempuan itu lagi, tapi nihil. Perempuan itu sudah pergi.
"Vanilla..."
Tepat saat ia sibuk mencari perempuan itu, Justin berlari ke arahnya.
Sial. Ia berusaha untuk menjauh dari Justin, tapi ia malah bertemu dengan pria itu.
"Kenapa kau di sini?"
"Aku harus pulang, Alec akan menjemputku."
"Tap---"
Vanilla langsung berbalik dan berjalan dengan cepat ke pintu keluar. Namun, Justin terus mengejarnya.
Vanilla merasa lega saat ia menemukan Alec masuk ke rumah sakit.
"Vanilla, tunggu, aku harus bicara denganmu."
Vanilla tidak menggubrisnya, tapi Justin terus mengejar Vanilla sampai ia berhasil mencekal pergelangan tangan Vanilla dan membawa gadisnya itu ke dalam pelukannya. Vanilla diam.
"Aku ... sangat merindukanmu."
Vanilla tetap diam. Aroma maskulin Justin yang sangat ia rindukan, membuat tubuh dan pikirannya tenang.
"Aku sangat merindukanmu, sayang. Tidak bisakah kau kembali?"
Vanilla tertegun. Suara Justin sedikit berbeda dengan tadi. Suaranya agak melunak, dan terdengar kesedihan di dalamnya.
"Kenapa susah sekali membuatmu berada di sampingku?"
Vanilla menggigit bibir bawahnya. Suara Justin yang serak benar-benar membuat jantungnya tidak teratur. Ia pun melepaskan pelukan Justin menatap pria itu dengan lunak. "Kemudian berusahalah."
"Aku sudah melakukannya, tapi itu pasti akan berakhir dengan kebencianmu kepadaku."
"Kalau begitu menyerah saja, tidak ada yang sulit dari itu semua."
"Vanilla... "
"Aku akan memberimu kesempatan untuk mendapatkanku kembali."
Justin mengerutkan keningnya.
"Aku hamil sekarang, lalu apa yang akan kau lakukan?"
Bibir Justin terbuka sedikit, dan matanya melebar karena perkataan Vanilla. Sedangkan Alec, pria itu mengerutkan kening karena bingung. Bingung kenapa Vanilla bisa tahu bahwa dirinya sedang hamil.
"Kau bercanda?"
Vanilla menggeleng. "Kenapa? Kau tidak suka aku hamil? Oke, itu akan jadi hal yang mudah agar kau pergi dariku. Aku tidak akan meminta pertanggungjawaban darimu, Justin. Aku bisa merawat bayi ini sendiri, karena aku sudah terbiasa sendiri."
Nada bicara Vanilla sedikit meninggi. Ia berbalik, berniat untuk pergi, tapi Justin sekali lagi menahannya dan kembali memeluk tubuh mungilnya.
"Aku tahu kau tidak bisa berbohong. Aku hanya terkejut, Vanilla. Aku akan bertanggungjawab, tidak peduli kau suka atau tidak. Aku akan melakukan segala cara untuk membuatmu berada di sisiku."
Vanilla melepas pelukan Justin. "Kalau begitu lakukan apa yang harus kau lakukan, karena aku tidak akan langsung menerima cintamu. Buat aku berada di sisimu dengan caramu sendiri, dan buat Daddy percaya bahwa kau mencintaiku."
Setelah mengatakan hal itu, Vanilla berjalan ke arah Alec dan pergi dari sana, meninggalkan Justin yang masih mencerna perkataan Vanilla.
Oh astaga, ia harus berjuang lagi. Tapi dengan apa? Sepertinya ia harus melakukan konsultasi untuk mendapatkan rencana yang akan ia gunakan pada Vanilla.
***
Alec terus melihat ke arah Vanilla yang tersenyum selepas kepergian mereka dari rumah sakit itu. Melihat dari wajah Vanilla yang berseri, Alec yakin bahwa gadis itu sangat senang akan semuanya.
"Kau mencintai Justin, kan?"
Vanilla menoleh. "Apa aku mencintai Justin?" tanya nya polos.
Alec mengedikkan bahunya dan kembali fokus ke jalanan. "Jika kau mencintai Justin, kau harus bersiap menjalani berbagai tragedi. Aku baru menemukan sebuah fakta ini tadi. Ada seseorang yang terus memantau Justin."
Perkataan Alec membuat Vanilla bingung. Namun, tidak ingin menanyakannya lebih jauh lagi.
Vanilla pun mengalihkan fokusnya ke luar jendela. Hujan lagi. Namun, entah mengapa, kali ini ia tidak terlalu membenci hujan.
Ia tersenyum. Dan itu mulai menunjukkan bahwa ada rasa untuk Justin. Hanya saja, Vanilla belum menyadari hal itu. Dan sepertinya, Justin membutuhkan waktu yang lama dan kerja keras untuk membuat Vanilla menyadari hal itu.