PART 14

1771 Kata
Warning! 18+ Justin bingung setengah mati. Tangannya gemetar saat memegang tangan Vanilla yang dingin. Justin dapat merasakan ketakutan pada gadisnya itu. Sepertinya Vanilla tidak ingin pergi bersama Alex. Ini bagus, batinnya. "Anda tidak---" "Vanilla, kita pulang ke rumah, dan aku akan menceritakan semuanya. Aku Daddy mu, sayang," sela Alex tanpa memiliki niatan untuk menggubris Justin. "Be-benarkah?" Alex mengangguk. "Vanilla tidak akan kemana-mana!" bentak Justin dan berniat menutup pintu rumah itu. Namun, niatannya itu dihentikan Vanilla. Justin mengerutkan keningnya. "Jangan membentak orang yang lebih tua, Justin." Justin semakin mengerutkan keningnya. Perkataan Vanilla sudah membuat ia geram. Sepolos itukah calon istrinya itu? "Jika kalian tidak percaya, aku akan menghubungi pihak pengadilan dan mengatakannya tepat di wajah mu, Justin." Vanilla dan Justin terdiam. "Sebaiknya aku pergi." Justin menoleh ke arah Vanilla. "Apa yang kau lakukan? Kau tidak akan kemana-mana, Vanilla." "Beri aku waktu tiga hari. Aku hanya ingin membuktikan bahwa beliau adalah ayahku," ujar Vanilla yakin. Justin tetap tidak setuju. Ia takut Vanilla pergi dari pengawasannya. Ia tidak akan pernah mengizinkannya. "Ayolah, Just. Bagaimana?" Justin menatap lekat-lekat bola mata Vanilla yang bewarna biru, sama seperti Alex. Akhirnya, Justin menyerah. "Hanya dua hari, oke?" Vanilla mengangguk. Kemudian ia mengalihkan wajahnya ke Alex. "Anda janji akan memberitahu apa yang sebenarnya terjadi?" Alex tersenyum dan mengangguk. Kemudian ia menarik tubuh Vanilla dan membawa putrinya itu pergi dari sana, meninggalkan Justin yang masih bergeming di tempatnya. *** Setibanya di tempat tujuan, Vanilla dibuat terkejut dengan keberadaan Alec yang tiba-tiba di rumah Alex. "Kenapa Kak Alec di sini?" tanya Vanilla dengan wajah yang bingung. Alec tersenyum tipis dan tidak menjawab pertanyaan Vanilla. "Dia seseorang yang Dad perintahkan untuk menjagamu selama perjanjian itu, sayang." Vanilla menoleh ke arah Alex dan terlihat sekali bagaimana interaksi kedua orang itu depan Vanilla. Vanilla menundukkan wajahnya. Ia tidak tahu mengapa, tapi fakta mengenai Alec membuat dirinya kecewa. Ia pikir Alec menjaga dan mengajarnya atas kemauannya sendiri, tapi itu salah. "Ada apa, sayang?" tanya Alex lembut. Kekhawatiran langsung muncul di mata Alex saat melihat raut wajah Vanilla yang berubah. "Bolehkah aku kembali ke Justin?" pinta Vanilla dengan kedua mata yang berbinar. Baru beberapa menit dirinya pergi dari Justin, ia sudah sangat merindukan pria gila itu. "Bagaimana jika Vanilla istirahat dulu?" tawar Alec sambil memegang lengan Vanilla, tapi Vanilla menepis tangan itu. Dan membuat kedua pria yang ada di sampingnya sedikit bingung. "Bisakah menceritakan semuaya di ruangan tertutup?" pinta Vanilla pada Alex. Alex segera menyetujuinya dan menuntun Vanilla ke ruang santai yang sangat luas, dengan dekorasi terbaik dari arsitek terbaik. "Kau benar-benar mirip Levina," ujar Alex saat mereka sudah duduk dengan santai di sofa. Vanilla hanya membalasnya dengan senyuman. "Kenapa kalian berpisah?" tanya Vanilla langsung. Alex menghembuskan napasnya. "Levina hamil di luar nikah, Vanilla." "Iya, aku tahu. Namun, kenapa kalian berpisah disaat akan ada aku di dunia ini? Bukankah aku hasil dari cinta kalian?" Bibir Alex terkatup. Pertanyaan Vanilla benar-benar pertanyaan yang selama ini ia hindari. Sebenarnya ia ingin menceritakan semuanya, tapi apa Vanilla siap saat mengetahui bagaimana sikap menyebalkan Levina yang membuat Alex menyerah untuk menikahi wanita itu? "Apa kau siap untuk mengetahui apa yang terjadi?" Vanilla mengangguk. "Levina, ia bukan wanita seperti biasanya. Ia wanita ambisius yang akan melakukan segala cara untuk mendapatkan apa yang ia inginkan. Dulu, Levina gadis yang baik hati dan karena itu aku mencintainya. Namun, seiring waktu, Lavina berubah menjadi w*************a. Bukan hanya aku yang ia goda, tap---" "Cukup!" "Vanilla..." "Bisakah aku kembali ke Justin? Ak-ak---" "Astaga, Vanilla." Alex berteriak dengan keras saat ia melihat darah mengalir dari lubang hidung Vanilla. Dengan cepat Alex meraih beberapa lembar tisu dan membersihkan darah itu dari wajah Vanilla dengan cepat. "Kita harus periksa," pinta Alex dengan wajah super paniknya. Vanilla cepat-cepat menggelengkan kepalanya tanda tak setuju. "Aku tidak suka apapun yang berbau rumah sakit." "Astaga, Vanilla." Alex menatap putri cantiknya itu dengan panik. Ternyata apa yang Levina katakan di surat, mengenai sikap Vanilla, terbukti. Anak gadis nya itu tidak suka aroma rumah sakit, sama seperti dirinya. "Jadi, bagaimana dengan Jus---" "Tidak ada Justin selama kau berada di rumah ini, sayang," sela Alex. Vanilla mengerutkan keningnya. Kenapa ia tidak boleh bertemu dengan Justin? Memangnya apa yang Justin lakukan sehingga mereka berpisah seperti ini? Vanilla terus-menerus menanyakan pertanyaan itu dalam benaknya. "Sekarang, kau akan tinggal di rumah ini untuk seterusnya, sampai aku mengurus kepindahan perusahaanku yang ada di Indonesia ke London." Vanilla membelalakkan matanya tidak percaya. "Tapi, aku ingin tinggal dengan Justin." "Vanilla, hak asuhmu sudah diberikan kepadaku. Justin hanya merawatmu sementara, sampai aku datang dan membawa surat itu," ucap Alex penuh penekanan. Vanilla menundukkan wajahnya. Dan Alex merasa bersalah karena sudah membentak putri kesayangannya itu. "Vanilla..." "Lalu, di mana aku bisa tidur?" tanya Vanilla tanpa menoleh ke Alex. Alex menghembuskan napasnya. "Ayo, Dad akan mengantarmu." Vanilla berdiri dari tempatnya dan berjalan mendahului Alex, tapi tiba-tiba langkahnya berhenti dan ia berbalik menghadap Alex. "Bisakah kita menguji tes DNA?" Alex mengerutkan keningnya. "Kau tidak percaya padaku, Vanilla?" Vanilla terdiam. Sesungguhnya ia masih ragu, dan ia perlu bukti. "Baiklah, kita akan periksa bersama agar kau percaya dan agar kau tidak berpikiran bahwa aku merekayasa hasilnya." "Tapi aku tidak suka aroma rum---" "Kita hanya ke Lab, sayang. Kau jangan khawatir," ucap Alex menenangkan. Akhirnya Vanilla menghembuskan napasnya dan keluar dari ruangan itu. Saat keluar, ia secara tidak sengaja berpapasan dengan Alec yang sedang memainkan tabletnya. Alec tersenyum ke arah Vanilla, tapi Vanilla bersikap acuh kepadanya dan meminta Alex untuk segera menuntunnya ke kamar yang memang sudah Alex siapkan kemarin. Alec menyadari perubahan Vanilla itu. Sepertinya Vanilla akan membencinya, karena ia sudah berbohong. Dan faktanya, Vanilla benci sebuah kebohongan. Ia harus bicara pada Vanilla. Setelah Alex keluar dari kamar Vanilla, Alec berjalan ke sana untuk menemui Vanilla dan membicarakan semuanya dengan baik-baik. Di sana terlihat Vanilla sedang termenung di sofa kamarnya. Alec berjalan ke Vanilla dan membuat gadis itu mendongak. "You lie to me!" "Yes, i know," ujar Alec pelan. "Jadi selama ini kau berada di sampingku bukan karena keinginan diri sendiri?" Vanilla tiba-tiba tidak menyebut Alec dengan 'kak' "Maaf, Vanilla." "Get out," ucap Vanilla pelan, tapi penuh dengan makna. "Vanilla, please listen to me. I will exp---" "Kau ingin menjelaskan sesuatu? Penjelasan seperti apa? You know that i hate a liar," ucap Vanilla saat tahu apa yang ingin Alec katakan. "Vanilla, aku tidak bermaksud memboh---" "Get out, please?" Vanilla memohon agar Alec pergi dari hadapannya. Alec menghembuskan napasnya. "Satu hal yang harus kau ketahui, Vanilla. Semua yang ku lakukan adalah demi kebaikanmu, dan aku juga melakukannya karena aku suka akan hal itu. Faktanya, kau membuat hari-hari ku menjadi nyaman," jelasnya. Vanilla tetap memalingkan wajahnya. Ia malas menatap wajah Alec yang ternyata selama ini menggunakan topeng. Jadi, saat Vanilla menceritakan tentang ayahnya, pria itu hanya diam tanpa memberitahu keberadaan Alex? Selama ini Vanilla salah mengakui bahwa Alec adalah pria yang baik. Setelah mendengarkan kalimat terakhir Vanilla, Alec keluar dari kamar itu dengan perasaan yang bersalah. Sedangkan Vanilla, ia berjalan ke balkon dan mulai menikmati taman indah yang tertanam dengan rapi. Saat dirinya melihat ke bawah, ia terkejut melihat Justin yang berdiri di sana. Otomatis Vanilla mengerutkan kening bingung. "Apa yang kau lakukan?" teriak Vanilla pelan. Bagaimana bisa Justin masuk ke rumah ini disaat banyak kamera pengintai disetiap tembok. Justin tidak menjawab. Vanilla menyerah. Lalu sedetik kemudian ia melihat Justin yang bersiap naik ke balkon-nya dengan menggunakan tangga. Darimana pria itu mendapatkan tangga? Batin Vanilla. Dengan gerakan yang cepat, Justin sudah berada di hadapan Vanilla. "Akhirnya," desahnya senang. "Ba-ba...hmpft...." Ucapan Vanilla terhenti ketika bibir seksi Justin menempel di bibirnya. Justin terus mencicipi bibir ranum Vanilla, dan karena tidak mendapatkan balasan dari Vanilla, Justin menggigit bibir bawah gadis. Vanilla sontak meringis dan bibirnya terbuka sepenuhnya. Hal itu Justin gunakan untuk memasukkan lidahnya dan mencicipi setiap mulut Vanilla. "Just....lep..." Vanilla mencoba untuk melepaskan diri, tapi Justin terus melumat bibirnya dengan rakus. Tangan Justin berada di tengkuk Vanilla, dan ia memajukan tengkuk itu agar lumatannya semakin dalam. Vanilla tidak tahu kapan Justin membawanya ke sofa dan membuat dirinya duduk di pangkuanya. Justin bahkan membuat kedua kaki Vanilla melingkar ke pinggangnya. "Lepas!" akhirnya Vanilla berhasil melepaskan diri dari pagutan Justin. Bibirnya tampak memerah karena ciuman Justin yang sangat b*******h. Justin tersenyum nakal dan ia mulai membelai wajah Vanilla. "Aku merindukanmu begitu cepat, sayang." Vanilla terdiam. Faktanya ia masih mengatur napasnya yang habis karena ciuman dahsyat itu. "Ah...Just..." desahan Vanilla keluar ketika Justin dengan cepatnya memasukkan ketiga jarinya ke bagian sensitif Vanilla. Seharusnya aku tidak menggunakan dress, batin Vanilla. Vanilla benar-benar tidak bisa menahan rasa sakit itu, tapi ia tidak menyangkal fakta bahwa ia begitu menikmatinya. Ia mencengkeram pundak Justin untuk meredakan rasa sakit dan nikmat yang tercampur. Justin mengeluarkan tangannya dan itu membuat Vanilla bernapas lega. Kesempatan itu Vanilla gunakan untuk menampar Justin, tapi Justin berhasil menghalanginya. "Aku akan memuaskanmu, sayang." Justin mulai membuka resleting belakang dress Vanilla. "Just, stop...ah..." Vanilla berteriak ketika Justin dengan mudah merobek dress-nya dan membuangnya ke sembarang tempat. "Malam itu aku tidak benar-benar menikmati tubuhmu," ucap Justin sambil memikirkan kejadian yang membuat ia merasa bersalah pada Vanilla. Tenang saja, kali ini ia tidak akan melakukan sesuatu itu pada Vanilla. Namun, ia akan membuat Vanilla berada dalam kenikmatan. "Buka bra mu!" "APA?!" "Buka sendiri atau aku yang membukanya?" "Jangan harap!" jawab Vanilla judes, kemudian ia berniat untuk pergi. Namun, lagi-lagi Justin tidak melepaskannya dengan begitu mudah. "Just...lepas!" Justin tidal menggubrisnya. Ia melepaskan pengait bra Vanilla dan menampakkan dua gunung yang sangat pas di tangan Justin, jika ia menyentuhnya. Mata Justin begitu bersinar. Dan Vanilla sibuk menutup dadanya. Melihat keaktifan Vanilla, membuat Justin begitu semangat. Ia mencekal kedua tangan Vanilla, dan wajahnya ia tenggelamkan diantara d**a Vanilla. Ia mencicipi, menggigit, dan menjilat permukaan itu. Setelah memberikan tanda yang sangat banyak, mulut Justin berpindah pada p****g ranum milik Vanilla. Ia menangkupnya dengan mulutnya dan menghisapnya dengan kuat. Hal itu sontak membuat Vanilla kehilangan tenaganya. Setelah mencicipi kedua d**a Vanilla, Justin beralih ke bibir Vanilla dan melumat kembali bibir ranum itu. Tes... Ciuman itu berhenti ketika Justin merasakan air asin membasahi wajahnya. Ia menatap Vanilla dalam-dalam, dan menemukan bahwa wanita nya itu sedang menangis. "Maaf," bisik Justin sambil mengusap air mata Vanilla. Dengan gerakannya yang lembut, Justin mendekap tubuh Vanilla dan membiarkan gadis itu menangis di pundaknya. "Maaf, Vanilla. Aku hilang kendali," ujar Justin. "Ak-aku memben-bencimu..." ucap Vanilla sesenggukan. Justin menyesal. Seharusnya ia tidak mabuk, tidak mencari alamat Alex, dan tidak masuk secara diam-diam ke rumah ini. Justin sudah melakukan kesalahan untuk kedua kalinya, dan ia ragu Vanilla akan memaafkannya. Ia berengsek! Ia tidak pantas menjadi pria yang bisa menjaga Vanilla seutuhnya. Ia hanya b******n tengik yang mulai mencintai seorang Vanilla, wanita polos yang berhasil melumpuhkan otak dan hatinya. Wanita yang berhasil membuat ia lupa dengan sosok seorang Avira Karl, tunangan tercintanya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN