PART 13

1518 Kata
"Tunggu dulu! Aku tidak mengerti," ucap Vanilla sambil menjauh dari Alex. Alex mengerutkan keningnya. "Aku Daddy mu, Vanilla. Apa Levina tidak memberitahumu?" Vanilla menggeleng dan pikirannya kembali ke zaman saat Levina tidak mengatakan apa-apa kecuali fakta bahwa ayahnya menginginkan ada nama Fernando di namanya. "Bunda tidak pernah menceritakannya." "Astaga, Levina, dia begitu kejam." "Kenapa anda menyebut Bunda kejam? Bunda tidak kejam!" ujar Vanilla sedikit membentak. "Oke, kau memang belum mengenal Bunda mu, sayang." Vanilla mengerutkan keningnya bingung. Ia memang tidak mengenal bundanya, tapi setidaknya ia tahu bahwa Levina masih menghidupinya tidak seperti ayahnya. Dan juga, apa benar pria tampan bermata biru ini adalah ayahnya? Jika dilihat secara dekat, mata biru itu sangat mirip dengan milik Vanilla. "Anda benar Daddy ku?" Alex mengangguk langsung. "Apa Levina benar-benar tidak menceritakanku? Aku selama ini tinggal di London, sayang. Hanya saja aku tidak bisa menemuimu karena perjanjian yang aku dan Levina lakukan saat kami berpisah." Perjanjian? Untuk menemui anaknya saja masih menggunakan cara murahan seperti itu. Vanilla benar-benar tidak habis pikir dengan orang tuanya. "Permisi, sebaiknya kita bicara di dalam," sela Justin. Alex menatap Justin dari atas sampai bawah. "Kau Justin O'brian, kan?" "Benar," jawab Justin. "Rival perusahaanku. Dan juga suami Levina, aku benar kan?" Justin mengerutkan keningnya. "Rival?" "Forc Corporation. Itu perusahaanku," jawab Alex santai. Justin mengerti. Forc memang rival perusahaannya, dan ia tidak menyangka bisa bertemu dengan pria yang selama ini menjabat posisi tertinggi di perusahaan itu. Faktanya, pemilik perusahaan itu sangat misterius, kecuali fakta bahwa ia masih memiliki darah seorang bangsawan Inggris. "Aku tersanjung anda bisa mengenalku, tuan Fernando." Alex tersenyum miris. Dan itu menandakan bahwa dirinya dan Justin tidak diberkahi untuk saling bertemu. Ternyata bukan hanya perusahaan mereka yang selalu mengejar posisi pertama di Asia, tapi juga diri mereka. "Ini sudah malam, Vanilla kita pulang." Justin hendak menarik Vanilla keluar dari club itu, tapi Alex menghentikannya. "Aku masih ingin bicara dengan putriku, tuan O'brian," ucap Alex sedikit geram. Justin hanya tersenyum miring. "Tapi maaf, Vanilla berada di bawah pengawasanku sekarang." Justin menepis tangan Alex dan menarik tubuh Vanilla dengan paksa dari sana. Vanilla tidak beronta atau apapun itu, karena ia masih terkejut dengan kemunculan Alex yang tiba-tiba, dan mengatakan bahwa ia ayah Vanilla. "Kau tidak apa-apa?" tanya Justin saat mereka tiba di parkiran. Vanilla mengangguk. Kemudian ia membuka pintu mobil dan masuk ke dalam sana. Sedangkan Justin, ia menghembuskan napasnya dan mengangguk pada Mike yang masih berada di ambang pintu club. Kemudian ia berjalan memutari mobil dan masuk. *** Setibanya di rumah, Justin menghempaskan tubuhnya ke sofa. Setelah memastikan Vanilla baik-baik saja, ia langsung masuk ke kamarnya dan mencoba untuk bernapas dengan tenang. Sekali lagi Justin menghembuskan napasnya berat. Ia berusaha sebaik mungkin untuk mengenyahkan pikiran mengenai Alex. Pria bermata biru itu, sudah menunjukkan kata peperangan secara tidak langsung pada Justin. Dan itu memastikan bahwa bisa saja pria yang baru ditemuinya itu melakukan segala cara untuk mendapatkan Vanilla. Justin dapat merasakannya melalui mata Alex. Pria itu begitu bahagia saat melihat Vanilla. Justin tahu itu, karena ia seorang pria. "Justin..." Justin menoleh ke ambang pintu, dan ia menemukan sosok Vanilla yang menggunakan piyamanya dengan sebuah bantal bewarna biru. Mata gadis itu terlihat takut. "Ada apa? Kemarilah!" Vanilla membuka lebar pintu Justin dan menutupnya kembali. Setelah itu ia berjalan ke Justin dan duduk di sampingnya. "Ada apa?" "Bolehkah aku tidur di sini?" Justin mengerutkan dahi. "Kenapa? Bukannya kau sudah tidur nyenyak di sana?" Vanilla menggeleng. "Bunda datang ke mimpiku begitu cepat, dan aku takut. Jadi, bisakah aku tidur di sini? Aku yang akan tidur di sofa, kau tenang saja." Justin dengan cepat menggeleng. Dan Vanilla terlihat kecewa. "Kita akan tidur di ranjang, aku mandi dulu." "Tap---" Belum sempat Vanilla menyelesaikan ucapannya, Justin sudah pergi ke kamar mandi. Vanilla menghembuskan napasnya berat. Ia menyandarkan punggungnya dan memeluk kedua kakinya. Ia ketakutan. Ini semua benar-benar mengejutkannya. Ia tidak tahu bisa bertemu dengan Alex di club secara mendadak. Dan ia benar-benar terkejut saat pria itu begitu mengenalinya. Apakah ia benar ayah Vanilla? Pertanyaan itu ingin terus ia ajukan dan melihat kebenarannya. Namun, sepertinya terlalu sulit, melihat Vanilla tidak bisa melakukan apapun. Seandainya Levina masih hidup, mungkin ia bisa mengetahui kebenarannya. Beberapa menit kemudian Justin keluar hanya dengan menggunakan piyama hitamnya yang berbahan sutera. Ia terlihat tampan dalam keadaan yang segar, dan rambut yang besar. Nilai plus untuk ketampanannya itu. "Kau belum tidur? Ini sudah malam, Vanilla." "Ini masih belum jam sembilan, Just. Jangan berlebihan." Justin memutar matanya malas dan berjalan ke arah Vanilla. Ia dengan tiba-tiba menggendong tubuh Vanilla ala bridal style dan melemparnya ke ranjang. "Tidur sekarang juga!" perintah Justin penuh penekanan. Vanilla mendesis dan tidur dengan cara membelakangi Justin. Sedangkan Justin, ia tampak puas dengan usahanya. Setelah memastikan Vanilla tidur, ia berjalan ke meja kerjanya dan mulai membuka laptopnya. Email dari Mike. Aku sudah mencari tahu tentang Alex Fernando. Ini datanya. Semoga membantu dan sampaikan rasa rinduku pada calon ipar. Nama : Alex Fernando Tanggal Lahir : 14 Februari 1970 Kewarganegaraan : Inggris Anak : - Istri : Violina Damian Agama : Kristen Hanya itu data yang Justin dapatkan tentang Alex. Pria itu benar-benar misterius, bahkan Mike yang memiliki perusahaan data terkenal, tidak bisa mendapatkan informasinya. Sepertinya ia harus menembus keamanan kerajaan Inggris untuk mendapatkan seluruh data Alex. "Just, kau belum tidur?" Justin mendongak dan ia melihat Vanilla yang terbangun dari tidurnya. Dengan cepat ia mematikan komputernya dan berjalan ke arah Vanilla. "Kenapa kau belum tidur? Ini sudah malam, Vanilla. Jangan membuatku memaksamu tidur dengan caraku." "Aku tidak bisa tidur. Dengan caramu?" Vanilla mengerutkan keningnya. Justin mengangguk, kemudian ia mendorong tubuh Vanilla dan berhasil menindih tubuh mungil itu. "Kau paham?" Vanilla menggeleng. "Kau berat, Just." "Kau harus terbiasa, sayang. Mungkin saat kita menikah nanti, kau akan selalu berada di posisi seperti ini, meskipun sebenarnya aku mengharapkan kau yang berada di atas." Mungkin Vanilla memang makhluk terpolos, sampai-sampai ia tidak mengerti maksud dari ucapan Justin. "Aku tidak mengerti. Gunakan bahasa dan diksi yang bisa aku mengerti, Just. Aku tidak pandai berbahasa Indonesia." Justin tertawa geli mendengar perkataan Vanilla. "Bagaimana jika aku menggunakan istilah berhubungan badan, kau mengerti?" Vanilla membulatka matanya tidak percaya. "Aku tidak akan membiarkan kau menyentuhnya lagi, Just," ujar Vanilla sambil menutup dadanya dengan tangan. "Tenang Vanilla, aku tidak akan menyentuhmu sebelum aku menikahimu. Itulah janjiku, percayalah." Justin kemudian mendekatkan wajahnya dan mencium bibir Vanilla yang sudah lama tidak ia cicipi. Oh astaga, ia harus berhenti sebelum ia memperkosa Vanilla di ranjangnya sendiri, meskipun sebenarnya ia ingin melakukan itu. "Aku mengantuk, bisa kau turun?" "Baik, aku rasa sekarang ciuman adalah obat paling manjur untuk meredakan insomnia, aku benar Vanilla?" Vanilla tidak menjawab, dan malah menyingkir dari Justin. Ia tidur membelakangi Justin dan membungkus sebagian dirinya dengan selimut. Sedangkan Justin, ia terkekeh geli karena kepolosan gadisnya itu. Menggoda Vanilla adalah anugerah terindah. Namun, karena cara menggodanya, ia harus ekstra hati-hati menahan diri untuk tidak masuk ke tubuh Vanilla. Sial! Pikirannya kacau, padahal ia sudah mandi untuk menghilangkan rasa panasnya. Masa bodoh! Justin ingin tidur sebelum ia menerkam Vanilla. Beruntung ia memiliki pertahanan yang kuat sekarang. *** Keesokan harinya, Justin dengan nakalnya mengajak Vanilla menonton twilight. Dan saat ini, keduanya tengah menikmati scene di mana Bella dan Edward saling menyenangkan diri. Justin yang melihat itu mulai menegak salivanya. Ia menyesal menonton film sialan itu. Sedangkan Vanilla, dengan wajah polosnya, mulai menunjukkan ketidaksukaannya pada film itu. "Ini film apa, Just?" "Kau tidak tahu atau sengaja, Vanilla?" tanya Justin tanpa menoleh ke arah Vanilla. Ia masih sibuk mengontrol dirinya untuk tidak menerkam Vanilla. Vanilla tampak kesal. Ia mengambil remot dan mematikannya. "Itu film tidak bermutu, sebaiknya kita menonton The Davinci Code, itu lebih seru." Justin mengerutkan dahi. "Aku ingin sekali merubah dirimu, Vanilla. Aku khawatir saat kita menikah nanti, kau tidak bisa melayaniku." "Aku bukan pembantumu!" ujar Vanilla kesal sambil memukul tubuh Justin dengan remot. "Aku tidak bilang pembantu, Vanilla." Lama-lama Justin bisa mati jika berhadapan dengan gadis yang sudah memenuhi seluruh pikirannya dan hatinya? Hati? Sepertinya Justin memang sudah mencintai Vanilla. Senyum gadis itu terus saja mencul di kepalanya. Namun, ia masih harus membuktikan hal itu. Ia tidak akan dengan mudah mengambil kesimpulan sebelum membuktikannya. Tapi apa buktinya? Ting Nong... Keduanya sontak menoleh ke pintu utama. Vanilla dengan cepat berlari dan membuka pintu itu lebar-lebar, sedangkan Justin mengikuti Vanilla dari belakang. "Siapa?" tanya Vanilla pada sosok pria bersetelan kantor sedang membelakanginya. Pria itu berbalik, dan ia melepaskan kacamata hitamnya, kemudian tersenyum ke arah Vanilla. "Halo, sayang," sapa Alex. Vanilla dan Justin hanya diam. "Kenapa anda kemari?" tanya Justin tajam sambil menarik tangan Vanilla ke belakangnya. Alex tersenyum. Ia mengelurkan sebuah surat dan memperlihatkannya pada Justin. Justin membelalakkan mata membaca judul surat itu. 'Hak asuh Vanilla.' Astaga! Dan Justin sangat yakin bahwa surat itu asli. Bahkan, di sana terdapat tanda tangan Lavina. Sepertinya Alex mendapatkan hak asuh Vanilla setelah Levina meninggal. Jadi itu alasan kedatangan Alex ke Indonesia, setelah ia selama bertahun-tahun tinggal di London. Ia datang untuk membawa Vanilla. "Ayo sayang," ucap Alex lembut. Justin bergeming. Ia tidak bisa melakukan apapun. Pikirannya kacau. "Just..." Bahkan Justin tidak mendengar panggilan Vanilla. Tuhan, apa yang harus kulakukan? Aku sangat yakin Alex tidak akan membiarkanku bertemu dengan Vanilla lagi. Kami adalah musuh sejak awal, batin Justin.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN