"Jangan ... aku mohon jangan ...."
Terlihat seorang remaja laki-laki yang sedang diseret secara paksa di malam yang sangat gelap, oleh seorang pria dewasa melewati sebuah ladang dengan rumput-rumput yang menjulang tinggi, menuju ke sebuah tempat yang tidak diketahui.
"Diam kau anak tidak berguna!"
Bugh!
Satu tinjuan diarahkan tepat ke perut remaja tersebut hingga ia jatuh tersungkur ke tanah.
"Kelahiranmu di dunia ini saja sudah menyusahkanku! Jadi sekarang diam dan menurutlah. Dasar anak pembawa sial!" bentak pria yang adalah ayah dari remaja laki-laki tersebut. Remaja itu pun hanya bisa terdiam sambil menangis tertahan.
Setelahnya, si ayah kembali menyeret remaja laki-laki itu, tapi kali ini lebih kasar dan dengan langkah kakinya yang lebih dipercepat.
Mereka berdua terus berjalan melewati rerumputan yang tinggi dan juga jalan setapak yang gelap. Hanya bantuan pencahayaan dari sang rembulan lah mereka dapat melihat jalan di depan sana.
Sampai akhirnya, mereka berdua pun tiba di sebuah gubuk, di tengah ladang yang benar-benar sangat jauh dari pemukiman penduduk. Dari dalam gubuk itu terlihat ada cahaya yang menandakan kalau terdapat orang di dalamnya.
"Ampun, Yah ... ampun ... maafin Dio ...."
Remaja yang bernama Dio itu terus menerus memohon pada ayahnya untuk tidak membawanya ke tempat tersebut. Tetapi sang Ayah tetap terus menyeretnya secara paksa.
Mereka pun kini telah tiba di depan pintu gubuk tua yang tampak cukup reyot. Walaupun begitu, gubuk tersebut masih dapat berdiri dengan kokoh di tempat terpencil seperti ini.
Tok tok tok...
"Bos, ini saya. Sesuai permintaan Bos, saya membawa anak saya."
Setelahnya, pintu dibukakan oleh seorang pria bertubuh tegap yang penampilannya terlihat seperti seorang pengawal. Pria itu lantas mempersilahkan si ayah dan remaja bernama Dio untuk masuk ke dalam.
"Kenapa kau lama sekali, Ardi? Saya sudah menunggu sejak sore tadi loh," ucap seorang pria paruh baya berbadan tinggi dan kekar.
Pria itu mengenakan setelan jas mahal dan juga memakai banyak sekali aksesoris berharga fantastis di tubuhnya. Pria itu kini memberikan senyum yang tampak menyeramkan pada Dio yang sedang berdiri di belakang Ardi, Ayah Dio.
"Mohon maaf Pak Bos, ada sedikit kendala tadi. Tapi untungnya, semuanya dapat saya atasi."
Ardi langsung menyeret Dio ke hadapan pria yang ia panggil bos itu. Pria itu pun lantas memandangi Dio dari ujung rambut sampai ujung kakinya. Ia merasa terkesan melihat remaja yang ada di hadapannya dalam kondisi yang sehat dan bugar. Walaupun, terlihat ada beberapa luka di tubuhnya.
"Kondisi fisik dan kesehatan anakmu seperti apa yang telah kamu katakan padaku kan, Ardi?" tanyanya.
Ardi mengangguk dan berkata, "Iya, Bos. Semua seperti apa yang telah saya katakan pada Anda. Dia sehat dan tidak menderita penyakit apa pun. Hanya saja, kekurangannya seperti yang saya bilang sebelumnya." Kata-kata Ardi tidak ia selesaikan. Namun, si pria paruh baya tampak sudah mengerti.
Pria paruh baya pun melebarkan senyumnya. Ia terlihat senang memandangi Dio. Seperti melihat sebuah tambang emas yang akan memberikannya banyak keuntungan.
"Bagus, dengan begitu perjanjianmu padaku telah terpenuhi," kata si pria paruh baya.
"Berarti hutang-hutang saya sudah lunas ya, Bos?"
Wajah Ardi terlihat sangat senang dan perasaannya menjadi sangat lega ketika mendapati hutang-hutangnya pada pria yang ia panggil bos telah lunas hanya dengan memberikan anak lelaki satu-satunya yang ia miliki itu sebagai bayaran atas semua hutangnya. Bisa dibilang, Ardi menjual anaknya sendiri.
"Ya-ya, hutangmu padaku sudah lunas."
Namun, tanpa disangka-sangka ....
DOR!
Suara tembakan yang cukup keras pun terdengar. Disusul dengan teriakan histeris dari Dio.
"AYAH!!"
Ardi ditembak dari belakang tepat di kepalanya. Pria itu pun tewas seketika.
Dio yang melihat kejadian itu langsung jatuh terduduk dan menangis sejadi-jadinya. Ia tidak kuasa melihat satu-satunya keluarga yang ia miliki telah tewas terbunuh.
Pria paruh baya yang dipanggil bos tampak tersenyum dengan licik. Ia lalu bangkit dari kursinya dan berjalan ke arah pintu keluar sambil dengan santai menginjak mayat Ardi, seakan-akan mayatnya itu adalah sebuah pijakan kaki.
Sambil berjalan ke arah pintu, pria paruh baya memerintahkan kepada salah seorang dari dua orang anak buahnya untuk membawa Dio.
"Bawa anak itu. Besok seluruh organ tubuhnya sudah harus diambil dan diawetkan agar bisa segera dijual!"
Lelaki yang berpenampilan seperti pengawal itu langsung menyeret paksa Dio yang masih menangis sesenggukan untuk mengikutinya pergi keluar gubuk.
Mereka bertiga pun lantas pergi meninggalkan gubuk beserta mayat Ardi yang masih tergeletak di sana. Mereka pergi menuju mobil hitam mahal milik si pria paruh baya yang diparkir tidak terlalu jauh dari tempat mereka berada saat ini.
Tapi, tepat sebelum mereka memasuki mobil, tiba-tiba saja datang sebuah mobil mahal berwarna putih dan langsung berhenti tepat di depan mereka.
Pria paruh baya lantas memerintahkan kepada anak buahnya untuk memeriksa siapa gerangan orang yang berada di dalam mobil tersebut.
"Periksa mobil itu dan cari tahu siapa yang ada di dalamnya."
Lelaki yang diberi perintah itu langsung mendekati mobil berwarna putih tersebut sembari mempersiapkan pistol miliknya. Ia lantas mengarahkan pistolnya ke arah kaca pengemudi mobil dan memerintahkan pada orang yang mengemudikan mobil tersebut untuk segera turun dari dalam sana.
"Hey kau! Keluar dari dalam mobil sekarang!"
Pintu mobil pun terbuka, menampilkan sesosok pria berwajah tampan dengan tubuh tinggi dan gagah. Ia mengenakan setelan jas yang bagus dan mahal. Lebih mahal dan lebih mewah dari yang dikenakan pria paruh baya.
"Siapa kau?" tanya si anak buah.
Bukannya menjawab, pria tampan itu malah menatap ke arah Dio yang masih dalam keadaan menangis ketakutan.
"Tenanglah, Nak. Paman akan segera menolongmu," kata pria tampan dan langsung mendapatkan sebuah pelototan seram dari pria paruh baya.
"Punya nyali juga kau! Tak ada yang boleh menyentuh sumber uangku!" bentak pria paruh baya, tetapi hanya ditanggapi dengan senyuman sinis oleh si pria tampan.
"Tidak usah takut, Nak. Paman benar-benar akan menyelamatkanmu."
Pria tampan itu malah mengabaikan ucapan pria paruh baya, sehingga membuatnya jadi naik pitam.
"Kurang ajar! Kau mengabaikanku! Kalau begitu, rasakan kemarahanku ini!" Pria paruh baya melotot dengan begitu menyeramkan.
"Hey, kau! Tembak dia!"
Dengan emosi yang meledak-ledak, pria paruh baya memerintahkan kepada anak buahnya untuk segera melepaskan tembakan ke arah si pria tampan. Si anak buah pun menuruti perintah dan akhirnya, terdengarlah suara dor sebanyak dua kali.
DOR!
DOR!
Tapi, betapa terkejutnya si pria paruh baya dan kedua anak buahnya ketika melihat dua buah peluru yang ditembakkan tadi berhenti tepat di hadapan pria tampan. Seakan-akan ada sesuatu yang menahannya.
"Tembak! Tembak lagi!"
Anak buahnya pun menurut dan langsung melepaskan tiga buah tembakan sekaligus.
DOR!
DOR!
DOR!
Tapi hasilnya tetap sama, peluru-peluru itu tetap berhenti dan melayang tepat di hadapan pria tampan. Pria paruh baya pun terlihat semakin tidak percaya dengan apa yang dilihatnya saat ini.
"Kau ... kekuatan apa yang kau miliki, hah?!"
Pria tampan itu tidak menjawab dan malah merapalkan kata-kata yang terdengar seperti sebuah bacaan mantera.
"Dharah, Meevhutara Toobuhon"
Seketika itu juga, tubuh si anak buah yang menembakkan pistolnya tadi langsung bergerak seakan-akan dipelintir dengan sangat kuat. Tubuh bagian atasnya terus bergerak, memaksanya untuk memutar ke arah kanan, sedangkan bagian pinggang ke bawahnya memaksa memutar ke arah kiri.
"AAAARRRRGGGGHHHH!!!"
Teriakan kesakitan si anak buah terdengar sangat keras dan semakin keras hingga akhirnya suara teriakan itu pun terhenti tepat saat tubuh si anak buah itu memutar tiga ratus enam puluh derajat ke arah kanan pada bagian atasnya dan memutar ke arah kiri pada bagian bawahnya sehingga tubuhnya terbelah menjadi dua bagian. Darah pun menyembur ke mana-mana dan anak buah itu pun tewas seketika. Si pria paruh baya dan anak buahnya yang tersisa hanya bisa melongo kaget dengan apa yang baru saja terjadi di hadapan mereka.
Pria tampan pun kini beralih menatap ke arah si pria paruh baya dan anak buahnya secara bergantian. Dengan langkah pelan namun pasti, ia mulai mendekat ke arah mereka berdua dan juga Dio.
Sampai akhirnya, si pria paruh baya menodongkan pistol miliknya tepat ke kepala Dio dan seketika itu juga, si pria tampan berhenti mendekat.
"Jika kau mendekat lagi, maka akan aku ledakan kepala anak ini!" Ancamnya dan si pria tampan pun hanya diam tidak berkutik. Senyum kemenangan kini terpampang jelas di wajah pria paruh baya.
"Bagus, diam seperti itu."
Namun tiba-tiba saja ....
KRAK
"AAAARRGGHHH!!! TANGANKU!!"
Secara tiba-tiba, tangan pria paruh baya yang sedang menodongkan pistol langsung terpelintir hingga patah.
"AAAAAA!! SAKIT!!"
Pria paruh baya langsung jatuh tersungkur ke tanah dengan rasa sakit yang teramat sangat di tangannya. Anak buah si pria paruh baya seketika menjadi ketakutan. Ia langsung melepaskan Dio dari kekangannya dan lalu pergi menjauh secepat mungkin dari tempat itu.
Tapi terlambat. Pria tampan kembali mengucapkan kata-kata anehnya dengan suara pelan.
"Dharah, Ledhaqcian Khanzhuroh"
BLAZT!
Seketika tubuh anak buah dari si pria paruh baya yang sedang melarikan diri itu meledak. Potongan-potongan tubuhnya tampak terpencar ke mana-mana. Dia pun mati seketika dengan cara yang sangat sadis dan juga mengenaskan.
Dan kini yang tersisa hanya tinggal si pria paruh baya, yang sedang berusaha merangkak menjauh sambil terus memohon pada si pria tampan agar nyawanya diampuni.
"Tolong ... ampuni saya ... saya mohon ... biarkan saya hidup."
Tapi sepertinya pria tampan itu benar-benar tidak memberikan ampun kepada mereka semua.
"Kau, makhluk tamak dan serakah, enyahlah dari muka bumi ini!"
Pria tampan itu lantas kembali mengucapkan kata-kata anehnya dan boom! Tubuh pria paruh baya itu meledak. Kini yang tersisa di tempat itu hanya ia dan juga Dio yang masih menangis ketakutan dengan tubuh yang bergetar.
Si pria tampan dengan langkah tenangnya menghampiri Dio dan saat ia sudah berdiri tepat di hadapan remaja lelaki yang sedang dalam keadaan rapuh itu, ia langsung memeluk tubuhnya dengan erat dan lalu membiarkan remaja lelaki itu untuk menangis di dalam pelukannya.
"Sekarang kamu sudah aman, Nak. Kamu tidak perlu takut lagi."
Dio pun menangis di dalam pelukan hangat pria tampan yang telah menolongnya. Tangan pria itu bahkan dengan lembut mengusap-usap punggung rapuh milik Dio untuk menenangkannya. Momen mengharukan itu berlanjut hingga beberapa menit, sampai akhirnya si pria tampan memutuskan untuk membawa Dio pulang bersamanya.
"Maukah kamu ikut dengan Paman? Paman akan merawatmu seperti Paman merawat anak-anak Paman sendiri."
Dio yang masih sedikit sesenggukan itu pun mengangguk tanda ia mau.
"Baiklah kalau begitu, ayo kita pergi dari tempat ini."
Mereka berdua pun melangkahkan kaki mereka menuju mobil mahal berwarna putih milik si pria tampan dan lalu melesat pergi meninggalkan tempat itu.