Jibril menatap Ardo seakan ingin menelannya bulat-bulat.
“He looks yummy, Beb! Semakin lama dia semakin kinclong. Dia tak butuh apapun lagi untuk menjadi seorang pangeran. Jiwanya adalah pangeran tulen,” puji Jibril terkagum-kagum.
“Tentu saja, kau percaya pada pilihanku kan?” sahutku pongah.
“Kuakui seleramu tinggi, hehehehe ....” kekeh Jibril.
“Lalu, bagaimana training kita akan berjalan?”
Jibril menjentikkan jarinya antusias. “Kita akan mulai training sepasang kekasih ini dengan candle light dinner!”
Mataku membulat mendengarnya. Candle light dinner dengan baju seperti ini? Aku memakai blazer kantor, sedang Ardo memakai seragam supir perusahaan kami. Oh no! “Tapi kami tak siap makan malam romantis!”
“Buat apa ada peri biru disini? Aku akan membereskan segalanya buat kalian!” sahut Jibril dengan mata berkedip.
Dia memang cocok kutahbiskan menjadi peri biru kami, Jibril berhasil menyulap penampilan kami dengan sempurna. Juga mengatur makan malam yang romantis di Restoran Perancis ternama yang seharusnya untuk makan disana kita perlu memboking sebulan sebelumnya.
Kami sedang duduk di ruangan VVIP Restoran Perancis The Mademoiselle. Aku mengenakan gaun malam panjang berwarna marun dengan belahan tinggi hingga pertengahan paha, membuat pahaku yang putih dan mulus terekspos dengan sempurna. Rambutku dicepol agak ke bawah dengan menyisakan untaian rambut di samping kanan dan kiri. Penampilanku disempurnakan oleh make up natural yang lebih menonjolkan keindahan mataku. Sedangkan Ardo, ia mengenakan setelan tuksedo semi formal tanpa dasi berwarna coklat tua. Ia nampak gagah, charming dan aristokrat. Seperti pangeran! Hingga membuatku menatapnya terus tanpa berkedip.
“Apa kamu betul-betul pangeran?” gumamku pelan.
“Apa .... ?” sahut Ardo rikuh. Ekspresi wajahnya nampak galau, dia berkomat-kamit seakan ingin mengakui sesuatu.
Aku terbahak melihatnya. “Hahahaha .... tentu saja tidak! Kau adalah supirku yang kupermak habis hingga menjelma menjadi pangeran.”
“Iya, Nona,” sahutnya dengan tersenyum masam.
“Hei, mengapa masih memanggilku nona? Kita adalah partner kencan, saat begini kau harus memanggilku yang mesra, Sayang,” ralatku gemas. Dia harus kubiasakan, masa ada kekasih sekaku dirinya?
“Lalu saya harus memanggil seperti apa? Honey? Bee? Piggie?”
Makin ke belakang panggilannya makin tak menyenangkan, aku tersinggung. Tapi sekarang, saat ini, sementara, dia adalah kekasihku. Aku pura-pura tergelak geli, padahal dalam hati tergoda ingin menoyor kepalanya. Apa dia sengaja melupakan statusku yang merupakan atasannya?
“Sayang, kamu bercanda ya? Piggie?!” cetusku sedikit menggeram.
Dia tersenyum kecil. “Honey mungkin lebih baik,” putusnya kemudian.
Aku mengangguk, cukup puas dengan pilihannya. Masalah panggilan kesayangan telah terselesaikan, kini kami harus membiasakan diri bersikap mesra. Aku beringsut mendekatinya, hingga menempel padanya seperti lintah. Kalau kami berduaan saja, mungkin dia tak masalah. Tapi didepan umum, baru kali ini kulakukan. Ardo nampak jengah, dia celingukan kesana-kemari.
“Mengapa?” tanyaku mesra, sembari menarik dagunya kembali kearahku.
“Nona, saya ingin memastikan tak ada mata-mata atau orang lain yang mengenal kita di sekitar sini. Nanti jika mereka melapor pada ayah Nona, urusannya bisa berabe,” jawabnya berbisik pelan.
“Tak usah risaukan itu, Do. Bukannya kita berlatih ini untuk ditunjukkan pada mereka? Tapi tunggu setelah kita siap!”
“Siap bagaimana?”
“Siap tampil sebagai pasangan yang saling mencintai.”
Mata Ardo mengerling kocak, mendadak sikapnya berubah sangat rileks.
“Kalau demikian, saya tak akan segan lagi ... Honey!”
Dia mengambil tanganku dan mengecup punggung tanganku lembut. Aku terkesima melihatnya, gayanya sungguh gentle. Seperti pria bangsawan memperlakukan wanitanya. Jibril telah berhasil mengubah Ardo menjadi pangeran idaman. Salut!
“Honey, ada apa?” tanyanya heran, membuatku tersadar dari keterpukau-anku.
“Tak apa, kau ... cukup baik untuk langkah awal melakukannya di latihan kita hari ini,” sahutku setenang mungkin.
Cukup baik? Dia sangat baik, sempurna! Seperti pangeran betulan.
“Terima kasih, saya hanya menuruti arahan mentor saya.”
“Bagus! Sekarang tahap selanjutnya, tentang table manner. Mungkin ini sesuatu yang asing bagimu. Aku akan menjelaskannya ....”
Bla ... bla ... bla ... aku menjelaskan etika di meja makan, meski aku yakin Jibril telah mengajarinya. Kuingatkan sekali lagi supaya dia lebih cepat menguasainya.
“Jadi, disini ada beberapa peralatan makan yang mungkin membuatmu bingung. Sendok saja ada beberapa macam, ini sendok makan, ini sendok sup ....”
“Honey, yang ini sendok sup,” ralatnya sembari menunjuk sendok yang benar.
“Ohya, aku tahu. Tadi aku salah menunjuk,” kataku berkilah. “Juga garpu, ada beberapa. Ini garpu steak, ini garpu makan, ini garpu ...” aku lupa untuk apa fungsi garpu itu. Haish, ini akibat aku sering ketiduran saat pelajaran etika yang membosankan!
“Itu garpu desert,” timpal Ardo kalem.
“Ya benar, itu untuk memakan desert!”
Duh, kurasa aku hanya membuang waktuku mengajarinya hal-hal remeh temeh begini, kenyataannya dia lebih paham dariku. Bahkan cara makannya lebih aristokrat dibandingkan aku! Lagi-lagi aku terpukau memandangnya. Dia menggunakan peralatan makan serba ribet itu dengan gaya begitu anggun dan sangat bangsawan. Gaya makanku yang perempuan saja tak seindah dirinya. Apa benar dia supirku?
“Apa kamu cukup kenyang dengan melihatku saja, Honey?” goda Ardo padaku.
“Belum, kamu terlalu lezat hanya untuk dilihat saja,” balasku menyindir.
“Lalu apa yang harus kulakukan untuk mengenyangkanmu, Honey?”
Dia memajukan wajahnya, manik matanya yang biru menatapku berkilau. Sungguh indah, siapa yang tak terpesona melihatnya? Aku wanita biasa yang tak kebal akan pesonanya. Aku terus menatapnya kagum, hingga tak sadarnya bibirnya telah menyentuh bibirku.
“May I ... ?” gumamnya lirih, tatapan sendunya seakan menembus sukmaku.
Tak tahu apa yang dimintanya, aku mengangguk. Setelahnya, bibirnya melumat bibirku lembut. Aku menerimanya dengan pasrah, pada awalnya. Kemudian perlahan membalasnya. Diluar kendaliku, tanganku menelusur kebawah ... menyentuh sesuatu yang keras di s**********n Ardo. Aduh, aku tak sengaja melakukannya, betapa malunya saat Ardo menahan tangan nakalku.
“Honey, belum saatnya.” Dia menggelengkan kepala dengan sorot mata serius. “Lagipula, apa kita perlu menunjukkan pada orang lain hingga sejauh ini?”
“Ten-tentu tidak! Dan jangan berpikir macam-macam. Tak sengaja tanganku menyentuh itu, aku bukan w*************a!”
Ardo tersenyum geli mendengar bantahanku, dengan manis ia menimpali, “Honey, bukan aku tak suka. Tapi akan ada saat yang tepat untuk itu. Bukannya sekarang kita masih latihan awal sebagai sepasang kekasih? Belum masuk sesi erotis.”
Blushhhhh ... b*****t! Dia berhasil membuatku merona seperti gadis muda nan lugu. Sebenarnya siapa yang lebih ahli disini? Dan siapa yang melatih siapa? Mengapa semua jadi blur?
“Jangan berburuk sangka. Aku tak berminat melakukan sejauh itu, Do! Tadi hanya salah sentuh. Kau paham?”
Ardo tersenyum geli, tak langsung mengiyakan hingga membuatku gemas.
“Tidak, kau harus paham!” kataku arogan.
“Iya, Nona,” sahut Ardo dengan senyum dikulum.
“Serius! Aku tak suka main-main. Disini aku adalah orang yang menyewa jasamu, jangan lupakan itu! Jangan meremehkanku.”
“Iya, Nona,” ucapnya sopan, kali ini tanpa senyuman.
Dan dia beringsut menjauh, sikapnya kembali menjadi Ardo, supirku yang sopan dan tak tersentuh. Ah, dia membuatku kecewa. Mendadak aku menyesal telah menjauhkannya dariku.
“Do, aku hanya ingin menunjukkan supaya kamu tak lupa diri. Meski kita harus berperan sebagai kekasih, tapi kau tetap harus tahu diri? Apa kau mengerti? Ada batasan yang tetap dipatuhi .. seperti kau tak boleh memperolokku.”
“Saya paham, Nona. Maafkan saya.”
“Bagus, tapi sekarang mari kita berlatih lagi .. sebagai sepasang kekasih, dengan batasan yang harus dipatuhi.”
Ardo tersenyum manis, “Baik Nona.”
“Jangan panggil aku ...”
“Iya Bella, apa yang kau inginkan?” potong Ardo manis, ia kembali mendekat dan memandangku mesra. Hatiku meleleh dibuatnya.
Apa yang kuinginkan? Dirinya?
==== >(*~*)
Bersambung