16. Kucing-kucingan

1171 Kata
Kami memutuskan berkencan di tempat pemancingan ikan.  Di pinggiran kota, di sungai jernih yang dijadikan jujukan warga desa mencari hiburan sekaligus ketenangan.  Masuk ke tempat ini membayar seiklhasnya, masukkan uang donasi itu ke kotak sumbangan.  Pasti pemilik tempat ini bakal syok kalau tahu berapa uang yang telah kuceburin ke kotak itu.  Dua juta! “Apa perlu sebanyak itu, Bel?” protes Ardo. “Tak apa, itu uang kecil.” “Buat kamu.  Buat mereka itu besar.  Dan kita tak mau kedatangan kita kemari mencolok perhatian kan?” Masa masih mencolok?  Padahal aku sudah berusaha sedemikian rupa loh!  “Tapi kita sudah pakai topi lebar dan kacamata hitam sebesar ini, Do.  Masa masih mencolok?  Orang bisa mengenali kalau kita mafia?” bisikku khawatir. Ardo menahan senyumnya, dia balas berbisik di telingaku, “Tidak, mereka akan mengira kita pasangan kekasih selingkuh.  Yang berani menyuap dengan uang masuk besar supaya mereka tutup mata.” Pasangan selingkuh?  Astaga!  Aku ternganga keheranan.  Tapi jika ditelaah lebih lanjut memang kami adalah pasangan gelap.  Apa kekasih gelap termasuk pasangan selingkuh? “Auw!”  Aku memekik lirih, gegara Ardo menggigit kecil telingaku begitu mengakhiri bisikannya. Beraninya seorang supir menggigit telinganya nona majikannya!  Untung ganteng.  Juga untung dia adalah kekasih  gelapku.  Aku tak marah, justru balas menjilat telinganya.   Wajahnya memerah, dia nampak malu menyadari ada pasangan paruh baya yang memperhatikan kami sambil menggeleng-gelengkan kepala.  Mungkin mereka berpikir bahwa kami adalah kekasih yang sedang kasmaran dan sangat tak tahu diri! Ardo menggandengku, membawaku menjauh dari pandangan orang.  Kami memilih tempat yang sepi, disini hanya ada kami berdua.  Ardo segera menyiapkan peralatan memancing kami.  “Astaga, Do.  Kamu tak serius ingin memancing kan?” sindirku gemas. “Tak ada salahnya kan, kebetulan kita disini,” senyum Ardo. Tak lama dia sudah duduk di tepi sungai, dibawah rerimbunan pohon.  Kailnya di lemparkan ke sungai.  Lantas ia menoleh padaku. “Duduklah Sayang, apa kau akan seharian berdiri disana seperti seorang pengawas?” godanya. Aku menatap tikar yang dipakainya untuk duduk.  Pasti tikar itu sering dipakai orang-orang.  Biasanya aku tak suka memakai barang bekas orang, apalagi orang yang tak jelas begitu.  Mana kita tahu kalau mereka memiliki riwayat penyakit menular? “Apakah tikar itu higienis?” “Saya sudah membersihkannya tadi.  Ayolah, kemari.”  Ardo menarik tanganku lembut, membawaku duduk di sampingnya.  Ya sudahlah.  Sudah terlanjur kemari, nikmati saja nuansa pemandangan asri disini lengkap dengan kejorokannya. Yang penting ada Ardo, dimana saja oke.   Aku menyandarkan kepalaku di bahunya, dan menatapnya lekat.  Dari samping Ardo nampak menawan.  Hidungnya bangir, matanya tajam, dan dagunya yang terbelah dua semakin menyempurnakan penampilannya.  Andai saja dia bukan supir, pasti semakin banyak gadis-gadis yang mengejarnya.  Termasuk Sheila, adik tiriku. Btw, aku jadi khawatir apakah selama ini dibalik punggungku adik tiriku yang ganjen itu dengan agresif selalu menggoda kekasih gelapku yang rupawan ini? “Do, apa selama ini Sheila sering menganggumu?”  Tiba-tiba aku jadi kepo. Ardo menghela napas sebelum menjawabnya, “Beberapa kali Nona Sheila pernah memerintah sedikit keterlaluan.” “Ck, bukan begitu maksudku.  Apa dia melakukannya untuk menarik perhatianmu?  Maksudku menganggu disini, mencoba menarik perhatianmu sebagai pria!” tandasku.  Masa hal beginian dia tak tahu?  Tak usah sok polos, Do! Ardo menoleh mataku dengan senyum di matanya.  “Apa nona majikan saya sedang cemburu?” Ingin aku membantahnya.  Hanya wanita level rendah yang suka marah-marah karena cemburu!  Jelas aku bukan wanita level rendah. “Ish, kalau iya kenapa?!  Pokoknya menghindar saja darinya!”  Lah, mengapa aku mengakuinya?  Ck! “Siap, Nyonya!”  Ardo berlagak menghormat seperti tentara.  “Nyonya?” “Calon nyonya,  Nyonya Cinderella,” cengir Ardo.  Meski nyengir, dia tak berubah jelek.  Gemas.  Aku tergoda ingin menciumnya,  tapi baru saja mendekat pandanganku menangkap sosok yang kukenal.  “Ya Tuhan, dia Kakek Albalon!  Buruan, Do ... kita harus menyingkir!”  Aku menariknya tergesa.  “Tapi pancing ini .... ada ikan menggigit umpan saya, Bel!” protesnya lemah dengan raut wajah memelas. “Ck, tinggal  saja.   Kalau ketahuan, kelar hidup kita!” ucapku gusar. Ardo terpontang-panting mengikutiku.  Tangannya sibuk membawa barang bawaan kami, termasuk tas tangan milikku yang sempat kulupakan.  Aku terus menyeretnya, sementara dia asik berpamitan pada penjaga sungai.  Eh, demit kali ... maksudku mas yang menjaga tempat pemancingan ini. “Mas, maaf kami tergesa-gesa pergi.  Ada keperluan mendadak.  Tolong peralatan memancing kami masih tertinggal disana!  Di pojokan yang sepi itu ...” Mas yang diajak ngomong Ardo malah melongo menatap kami.  Mungkin dia menduga kami ini pasangan selingkuh yang terpergok atau habis berantem.  Ah, bodo sama anggapannya!  Pokoknya aku harus pergi dari sini secepat mungkin sebelum bertatap muka dengan Kakek Albalon.  Dia adalah sahabat Dad, mantan bos mafia keluarga Albalon, sekarang sudah pensiun.  Ternyata dia menghabiskan masa pensiunnya dengan memancing.  Sial, aku tak menyangka di tempat sesepi ini bisa menemukan kenalan Dad!  Kemana lagi kami harus pergi? Dari tempat pemancingan yang sepi, kami memutuskan berkencan di tempat yang jauh lebih sepi.  Kuburan!  Jangan bayangan kuburan yang menyeramkan seperti di film horor picisan yang jorok.  Yang kami datangi adalah kuburan elit yang indah penataannya, maklum yang dikubur disini adalah orang-orang tajir.  Atau pejabat.  Kami duduk di bebatuan, di bawah pohon rindang, dengan patung-patung malaikat di sekitar kami. “Mungkin keluarga orang yang dimakamkan disini berharap neneknya akan selalu dijaga oleh malaikat,” gumam Ardo yang tengah menatap kagum patung-patung malaikat itu. Mendadak Ardo menatapku usil, “Apa Nona Bella tercinta tak takut akan hantu yang gentayangan di siang bolong?  Bisa-bisanya mengajak berkencan di kuburan!” Aku mencibirnya, apa dia berusaha menakutiku? “Huh, mana ada hantu di kuburan?  Roh mereka yang dikubur disini sudah tak ada lagi.  Hanya jazadnya yang tertanam, gak ada artinya!” ucapku sinis.  Heh, buat apa juga kami membicarakan hal-hal gak seru macam gini?     “Bicara tentang malaikat .. kita lebih perlu mereka saat masih hidup.  Ardo, apa kamu bersedia menjadi malaikat pelindungku?” pancingku. “Tidak,” sahut Ardo, dia tersenyum begitu melihat bibirku mencebik merespon penolakannya.  “Saya menolaknya, karena saya bukan malaikat.  Saya manusia biasa yang bertekad akan melindungi kekasihnya meski dengan keterbatasan saya.” So sweet ...  Kekesalanku luntur seketika.  Aku spontan memeluknya. “Manusia pelindungku yang manis, bolehkah aku menjilatmu?” tanyaku menggodanya.  Ardo tergelak, tak segera menyanggupi permintaanku.  Serius, padahal aku benar-benar ingin menciumnya.  “Do, serius.  Aku ingin menci ...” Cup.  Ia mendahuluiku dengan mengecup bibirku sekilas.  Eh, nakal juga dia.  Aku berniat balas menciumnya.  Yang panas dan lamaaaa.  Inginnya begitu, namun baru mendekat ... ekor mataku menangkap keberadaan seseorang yang kukenal.   Sial, hari gini manusia pemalas macam Andro Upil nyekar ke kuburan?  Dia teman sekolahku saat SMA dulu.  Astaga, bahkan untuk ngupil saja dia malas melakukannya!  Double sial, dia sepertinya melirik kemari!!  Tak sadar aku mendorong Ardo menjauh.   Tak ayal, dia terjatuh ke ubin.   “Do, kita pindah!”  aku memerintahnya sebelum Andro Upil berinisiatif mendatangiku.  “Lagi?” keluh Ardo. Ya, lagi!  Kuseret dia secepat mungkin meninggalkan tempat pemakaman elit ini.  Entah ada apa dengan hari ini.  Mungkin hari ini diperuntukkan bagi kami sebagai hari kucing-kucingan, sampai aku belum bisa mencium kekasih gelapku sedari tadi. Hah, apalagi ini .... hari kucing-kucingan?!   ==== >(*~*)
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN