BADDAS 1
Bis berisi lima belas penumpang di dalamnya melintasi jalanan lurus nyaris tanpa hambatan. Bukan karena jalan itu jalan tol, melainkan jalanan pedesaan dengan pemandangan asri. Pepohonan rimbun berbaris di tepi jalan selayaknya pasukan yang sedang mengucapkan selamat datang kepada para siswa baru Baddas Academy.
Sayangnya kesepuluh orang siswa dalam bis itu terlalu gugup hingga tidak mampu mengungkapkan dengan kata-kata apa yang mereka lihat saat ini.
Baddas Academy adalah sekolah seni paling populer di Indonesia. Tidak sembarangan orang yang bisa bersekolah di sana. Orang-orang berbakat dari seluruh sekolah di Indonesia dipilih secara rahasia. Hanya pihak sekolah yang mengetahui kriteria seperti apa yang memenuhi persyaratan untuk menjadi siswa dan siswi di Baddas Academy.
Andreas berusaha mengakrabkan diri dengan calon temannya. Lelaki berkaca mata dengan rambut ikal dan terlihat sedikit kucel. Sayangnya tanggapannya datar saja, "Rey, panggil saja Rey."
Lalu pria itu kembali memalingkan wajah dan melihat ke arah jendela. Andreas mendengkus, bagaimana bisa lelaki seperti Rey terpilih jadi siswa Baddas Academy. Apa bagusnya dia? Sejauh ini idol dengan penampilan yang ... Yah, begitulah, hanya mengandalkan faktor lucky saja.
"Gue gak tahu apa yang mereka lihat dari diri gue," celetuk Rey tanpa mengalihkan pandangan dari pohon-pohon yang melambai karena tertiup angin.
"Lo juga pasti mikir gitu, kan? Rasanya, gue sedang dalam perjalanan menuju neraka."
Rey terus mengoceh, Andreas tidak habis pikir di antara ribuan orang yang mendambakan bersekolah di Baddas Academy ada juga orang yang dengan tegas mengungkapkan keengganannya.
"Kenapa lo pergi, aturan diem aja di rumah sekolah di sekolah lama lo."
"Emang itu maunya gue, siapa nama lo?" tanya Rey.
"Andreas."
"Ah, Andreas, gue aslinya gak mau duduk di sini menuju sekolah s****n yang dipuja orang-orang, lo salah satunya," bisik Rey. Dia masih memiliki rasa takut.
"Ya kalo gak mau gak usah pergi."
Bis melewati jalanan berlubang hingga tubuh mereka berguncang. Andreas berpegangan pada sandaran kursi di depannya.
"Kalo gue gak pergi ya gue mati, Mami gue antusias banget pas dapet panggilan sekolah ini."
"Lo kenapa cerita?" tanya Andreas.
"Karena lo yang duluan sok akrab sama gue."
Kedua remaja itu tertawa. Belum apa-apa Rey sudah menemukan orang yang enak bicara. Begitu pun dengan Andreas. Andreas optimis pertemanan dengan Rey akan berhasil.
Di sisi lain bis, Zhie gadis cantik bermata sipit sibuk bersenandung. Rambutnya yang pirang membingkai wajahnya yang putih bersih.
Zhie adalah gadis yang riang dan ceria, dia bahagia akhirnya terpilih menjadi salah satu siswa Baddas Academy mengikuti jejak kakak-kakaknya.
Zhie yang ramah menyapa temannya disambut anggukan malu-malu. Peach yang menyelempangkan drafting tube di pundak kanannya. Zhie sudah bisa menduga bahwa gadis di depannya adalah seorang pelukis.
Luar biasa, Zhie semakin merasa bersemangat gadis itu terus menebar senyumannya meski sebagian acuh dan sibuk dengan urusannya masing-masing.
Zhie adalah gadis dari pulau Borneo. Putri dari pengusaha kaya di pulau tersebut, Ketiga saudaranya merupakan Baddas Academy. Untuk itulah Zhie merasa sangat bahagia kala dirinya terpilih mewakili kota kelahirannya untuk menempuh pendidikan di Baddas Academy.
Tepat di belakang tempat duduk Andreas dan Rey, Darren mengumpat berkali-kali, Pasalnya tidur pemuda berkepala plontos itu terganggu. Dia bergerak gelisah, berusaha menutup kepalanya dengan bantal leher.
Perjalanan berakhir ketika bis kecil itu melewati gerbang utama yang tinggi dan kokoh.
Angin dengan gagah mengarak awan. Aries yang duduk di baris paling depan terperangah. Hamparan rumput hijau di halaman Campus Baddas Academy benar-benar memanjakan matanya.
Manakala bis berhenti, dia melompat lebih dulu mengabaikan teriakan guru pendamping dan penjaga gen 9 yang sedari tadi mendampingi mereka di dalam bis.
"Aries, diam di tempat!" cegah Harvey, sang guru penjaga.
"Maaf, Pak." Aries berhenti di ambang pintu bis. Menunggu intrusksi selanjutnya.
"Duduk kembali, sopan sedikit bisa gak, sih?" celetuk salah satu siswa perempuan.
Aries berdecak kesal, lalu kembali ke tempatnya semula.
"Baik, sebelum kalian turun saya akan memberikan buku ini."
Harvey berjalan di lorong bis membagikan masing-masing sebuah buku dengan sampul berwarna keperakan. Di bagian depan sampul terdapat huruf B yang dicetak embos.
Anak-anak antusias menerima buku itu. Zhie bahkan menghirup buku itu dalam dalam.
"Buka sampulnya. Nama kalian sudah tertulis di halaman pertama." Harvey membuka lembar pertama. Menunjukkan ukiran nama yang indah di atas kertas berwarna kuning gading.
"Lembar berikutnya adalah aturan yang berlaku di Baddas Academy," lanjut guru dengan gaya rambut sedikit aneh.
"Sama halnya dengan sekolah pada umumnya, sistem poin pelanggaran diberlakukan di sini. Jika jumlahnya 100 kalian didiskualifikasi dari Baddas Academy."
Bis yang semula hening mendadak riuh.
"Selamat datang di Baddas academy. Peraturan berlaku sejak kalian turun dari bis ini. Saya Harvey, penjanga dan pendamping kalian."
Mereka turun satu per satu. Melewatu jalan setapak di antara hamparan rumput hijau.
Sebelum memasuki gedung bertingkat yang merupakan asrama mereka, Harvey menunjukkan bangunan Klasik temoat di mana mereka akan menuntut ilmu.
"Gak berhantu, kan? Serem amat," celetuk Andreas.
"Hantu sesungguhnya akan kaliat liat sebentar lagi. Ingat, kalian adalah tanggung jawab saya. Sekecil apa pun kekacauan yang kalian sebabkan akan berpengaruh besar untuk kita semua termasuk saya."
Ucapan Pak Harvey sungguh menjadi tanda tanya bagi kesepuluh siswa itu.
Hantu yang sesungguhnya itu apa? Apakah sosok bergentayangan yang ada di kastil? Seperti hantu-hantu yang bergentayangan dalam kisah Harry potter?
Andreas bergidik, dia berjalan sampai mepet-mepet di sebelah Rey. Lelaki yang tubuhnya lebih tinggi delapan centimeter dari Andreas itu buru-buru mendorong bahu Andreas agar menjauh dari sana.
Pak Harvey terus membawa mereka melewati lorong bangunan, dan berbelok menuju lift.
"Karena kita sebelas orang, kita bagi dua. Kapasitaanya gak cukup buat kita. Andreas, kamu pimpin dan berangkat duluan."
"Baik teman, siapa yang mau naik roket bareng gue?"
Candaan Andreas disambut hambar oleh teman-temannya. Empat orang maju, mereka masuk Lift dan Andreas mematung.
"Kenapa diam saja?" tanya Pak Harvey.
"Lah, saya bingung, Pak. Nanti pencet apa?"
"Lantai enam!"
Andreas mengangguk, lalu memimpin temannya naik ke lantai enam.
Zhie dan Mahda berdiri berdampingan tepat di belakang tubuh Andreas. Sementara Darren yang terlihat mengantuk berdiri di pojokan.
Pintu lift terbuka, dengan antusias kelima orang itu keluar dan menunggu di lorong.
Suasana lorong agak suram, padahal hari belum terlalu gelap. Andreas bergidik dan merapatkan diri dengan teman-temannya.
"Ini asrama apa rumah hantu, Baddas academy gini amat, gue gak liat murid lain selain kita. Lo ngerasa ada yang aneh gak?" bisik Andreas.
Mahda yang berada di sisi Andreas mengangguk. Membenarkan. Gadis itu membayangkan lorong ini seperti hotel terbengkalai yang sering dia lihat di channel youtube orang.
Dalam benaknya, ada sosok bergentayangan yang melayang di sepanjang lorong dengan penerangan minim itu.
Tepat di ujung lorong ada pintu yang terbuka. Keluar lelaki berkemeja biru muda, rambutnya kelimis disisir rapi.
Lelaki itu mendekat, terus mendekat. Dan menyeringai kala Andreas tersenyum menyambutnya.
Sayangnya lelaki itu hanya tersenyum tanpa kata, dan berjalan hingga sisi satunya sampai berbelok dan tidak terlihat lagi oleh mereka.
Zhie dan Mahda saling pandang. Begitu juga dengan Andreas dan Juanita. Darren yang semula diam saja ikut tertegun dan heran melihat lelaki tersebut.
Keheningan pecah kala lift di depan mereka terbuka, Rey dan Pak Harvey duluan keluar.
"Aaaarghhh ... Aaaaarghh!" Andreas menutup matanya, bersembunyi di belakang Mahda.
Gadis itu juga takut, dadanya bergemuruh. Tidak terkecuali dengan Zhie, Darren dan Juanita.
"Hei, hei, tenang, ada apa ini?" tanya Pak Harvey.
"Jangan mendekat!" Andreas berteriak lebay.
Darren menepuk pundak Andreas.
"Ada apa Darren?" Pak Harvey akhirnya bertanya kepada Darren.
"A ... Ada hantu, Pak." Darren menjawab terbata.
Pak Harvey tertawa, Andreas kesal dibuatnya. Lima orang yang berada di belakang Pak Harvey mendadak takut. Kali aja ucapan Darren benar.
"Hantunya keluar dari sana, terus jalan ke sini sambil liatin kami, terus ... Terus ... Wajahnya mirip sekali sama Bapak. Saya kira tadi Bapak, tapi pas Liftnya terbuka saya yakin itu hantu."
Pak Harvey tersenyum geli, lelaki itu lalu merogoh ponselnya dan menelpon seseorang.
"Depan, lift, persis. Okay, ditunggu, Bro!"
Setelah menutup telepon, Pak Harvey meminta mereka untuk menunggu sebentar.
Christina Lee sudah kesal karena kelelahan, dia ingin segera masuk kamar dan tidur di sana.
Begitu juga dengan siswa yang lain, terlebih Andreas yang takut dengan hantu tadi.
Demi apa pun juga Andreas berani bersumpah, lelaki itu begitu mirip dengan Pak Harvey, siapa tahu kan ada jin yang senang menyerupai wajah orang.
"Kalian jangan mikir aneh-aneh. Hantu yang kalian bilang tadi adalah Harris. Itu orangnya," ungkap Harvey.
"Hai, Bro, mana yang bilang saya hantu?" goda Harris.
Adreas, Darren, Mahda, Zhie dan Juanita tersenyum malu-malu. Mereka saling sikut dan saling menyalahkan.
"Dia Pendamping dan Penjaga gen 8. Kebetulan kami kembar."
"Oh, maaf, Pak. Kami kaget beneran," ucap Andeas membela diri.
Harris tertawa, menepuk lembut pundak Andreas.
"Bergegaslah, upacara penyambutan kalian akan segera dimulai. Semua gen sudah menunggu di Auditorium."
Harris kemudian pamit, lalu meninggalkan anak-anak gen 9 yang segera dibawa oleh Harvey menuju kamar masing-masing.
Ketika semua orang lega karena ternyata hantu itu tidak ada, Zhie merasa resah. Pasalnya, di ujung lorong sana ada sosok yang terus mengawasi mereka diam-diam.
Gadis itu mengingat omongan Harvey sebelum masuk asrama tadi, "Hantu sesungguhnya akan kaliat liat sebentar lagi."
Baddas Academy yang dia tahu dari kakak-kakaknya tidak semisterius ini. Zhie berharap semoga tidak ada hal aneh yang akan terjadi ke depannya.
Sekali lagi dia melihat ke belakang, sosok itu kini hilang, menyisakan ruangan gelap yang kosong dengan pintu yang bergerak seperti tertiup angin.