Kinan mencoba untuk menghilangkan semua rasa takutnya saat akan berhubungan dengan Adrian. Dua hari yang lalu, dia pergi ke psikiater, di antar oleh kedua sahabatnya tanpa sepengetahuan Adrian. Adrian memang pernah mengusulkan Kinan untuk datang ke psikiater, tapi Kinan tidak mengindahkan keinginan suaminya. Kinan menyadari, memang dirinya harus konsultasi ke psikiater, apalagi kedua sahabatnya terus membujuk Kinan untuk konsultasi ke psikiater. Dan, pada akhirnnya, Kinan mau menuruti kedua sahabatnya. Dia pergi ke psikiater tanpa sepengetahuan Adrian, dua hari yang lalu.
Adrian dan Kinan sudah di atas tempat tidurnya. Adrian masih diam, memikirkan dosanya pada Kinan yang telah ia lakukan tadi bersama wanita malam yang ia sewa. Adrian tidak pernah menduga dirinya akan sekalap itu karena sudah tidak bisa menahan hasratnya.
Kinan mencoba memberanikan diri, mendekati Adrian, memeluk Adrian, memainkan jari lentiknya di d**a Adrian, dan memberi sentuhan lembut yang menggugah hasrat Adrian.
“Kinan, jangan mulai, kalau pada ujungnya aku harus menahan lagi, karena kamu takut,” ucap Adrian dengan mengusap pipi Kinan.
“Aku akan mencobanya, Sayang. Aku sudah terlalu lama menanggung dosa ini. Membiarkan suamiku menahan hasratnya selama setengah tahun. Hari ini tepat setengah tahun pernikahan kita, izinkan aku melakukannya. Aku akan mencobanya,” ucap Kinan dengan penuh keyakinan kalau dirinya sudah tidak takut lagi melakukannya dengan suami.
“Kamu yakin, Sayang?” tanya Adrian.
“Yakin, berikan aku kesempatan malam ini untuk mencobanya, Kak,” jawab Kinan.
Adrian tidak percaya istrinya benar-benar sudah bisa melakukannya. Namun, tidak ada salahnya Adrian memberikan kesempatan pada istrinya malam ini.
Adrian memulai menyentuh istrinya. Memberikan sentuhan lembut yang membuat Kinan merasa nyaman. Kinan memejamkan matanya merasakan apa yang suaminya lakukakn. Bayangan itu kembali menghampiri Kinan. Kinan semakin kuat memejamkan matanya. Menarik napasnya dengan berat saat bayang-bayang Adrian dengan Sherly kembali muncul.
“Aku harus bisa, aku tidak mau Kak Adrian melakukannya dengan wanita lain. Aku harus bisa, aku istrinya, aku wajib memberikan ini. Adrian sudah berubah, bukan Adrian yang dulu.” Kinan mencoba meredam rasa takutnya sendiri. Napasnya semakin sesak, bayangan itu semakin terlihat.
Adrian melihat Kinan yang semakin ketakutan saat dia menyentuh milih Kinan dengan jarinya. Adrian merasakan keringat dingin Kinan keluar, wajahnya menjadi pucat karena dia terlalu menahan takut, air matanya juga sudah terlihat keluar dari sudut matanya, mengalir di pipinya.
“Sayang, jangan memaksa, ya? Aku tidak mau kamu seperti ini,” bisik Adrian.
Kinan langsung memeluk suaminya. Menangis di pelukan suaminya. Adrian tahu bagaimana perasaan Kinan sekarang, dia tidak mau memaksakan Kinan yang nantinya akan berimbas pada pagi harinya. Matanya bengkak karena menangis, dan wajahnya lusuh. Yang membuat Haidar dan Kinan selalu bilang dirinya nakal sama bundanya. Sering membuat bundanya menangis.
“Sudah, ya? Jangan di paksakan kalau tidak bisa. Aku tidak apa-apa, aku masih bisa menahannya,” ucap Adrian.
“Maafkan aku, Kak. Aku sudah berusaha, dan aku pun sudah berusaha mendatangi pskiater. Aku berusaha mencobanya, tapi aku tidak bisa,” ucap Kinan.
“Sudah jangan nangis.” Adrian mengusap air mata Kinan.
“Boleh aku bicara dengan kamu, ya aku hanya ingin memberikan kamu masukan saja, Kinan. Gini, kamu pernah ngelakuin hal seperti ini, kan? Dulu setiap hari kita bahkan sering melakukannya, meski aku tidak memasukannya. Coba mulai sekarang, kamu bayangin masa-masa kita, sebelum kejadian di Villa. Kamu ingat saat kita tinggal satu rumah kita sering melakukan seperti itu di kamarku atau kamar kamu saat mama dan papa gak di rumah? Kamu seneng gak ngelakuin itu? Merasakan enak enggak? Coba mulai sekarang, bayangin yang enaknya, jangan yang takutnya. Kamu pasti bisa, Kinan. Aku memang menyakitimu saat di Villa itu. Aku menyesal, dan karena sesalku itu, izinkan aku memperbaikinya sekarang,” tutur Adrian.
“Iya, aku akan mencobanya. Aku ingat semua masa-masa itu, Kak. Masih sangat ingat,” ucap Kinan.
“Ya sudah, kita tidur, yuk? Besok aku harus berangkat pagi.” Ucap Adrian dengan mengecup kening Kinan.
“Kalau pulang telat, bilang, ya? Terus selalu ngabarin aku di mana, jangan kayak tadi. Aku sampai tidak bisa tidur,” ucap Kinan.
“Siap, Sayang ... ya sudah sini peluk.” Adrian merengtangkan kedua tangannya. Kinan membenarkan pakaiannya yang sudah di berantaki oleh Adrian.
Kinan menyandarkan kepalanya di d**a Adrian. Dia masih memikirkan bagaimana caranya dia bisa menghilangkan rasa takut itu.
“Mas, besok aku ada jadwal ke psikiater lagi. Boleh, kan?” tanya Kinan.
“Boleh, kamu sama siapa ke sana? Mau aku antar?” jawab Adrian, dengan menawari Kinan.
“Aku sama Rossa saja, sekalian aku mampir ke butik sebentar sebelum menjemput Haidar,” ucap Kinan.
“Oke, kamu hati-hati. Kamu harus semangat, aku akan menunggu kamu siap, Sayang,” ucap Adrian.
Adrian ingin sekali jujur dengan Kinan soal masalah tadi dengan wanita malam itu. Dia terpaksa melakukan itu karena Kinan Belum mau melakukannya, dan dia sudah tidak bisa menahan hasratnya.
“Maafkan aku Kinan. Aku salah, seharusnya aku mengerti keadaan kamu. Tapi, mau bagaimana lagi. Aku sudah tidak bisa menahannya,” gumam Adrian.
^^^^
Satu minggu telah berlalu. Adrian masih belum mau menanggapi Kinan yang sudah semakin aktif untuk melakukan kewajiabannya. Itu semua karena Adrian tidak ingin kecewa lagi seperti kemarin-kemarin. Sudah on, tapi Kinan masih saja menampakkan wajah yang takut. Adrian selalu bergumam, ‘bercinta itu bukan ajang percobaan.’ Kadang Adrian egois seperti itu saking dia kesal, karena istrinya masih takut. Padahal rutin ke Psikiater untuk konsultasi.
Hari ini pekerjaan Adrian sangat menguras pikirannya. Kesalahan itu bermunculan saat sekretaris pribadinya yang bernama Rio mengundurkan diri tiga hari yang lalu. Dan, sekarang Rio bekerja dengan Andrew. Perusahaan Andrew ternyata perusahaan yang selalu bersaing dengan perusahaannya. Adrian sekarang bekerja sendirian, tidak ada partner kerja lagi, dan belum menemukan yang cocok untuk menjadi asistennya.
Adrian meluapkan kekekasalannya itu dengan mendatangi bar lagi. Setelah pulang ke rumah, Adrian pamit dengan Kinan akan keluar sebentar menemui Rio untuk menyelesaikan masalah kantor, dan masalah pekerjaan yang Rio tinggalkan. Begitu pamitnya dengan Kinan. Tapi, Adrian tidak menemui Rio, melainkan dia pergi ke bar mencari ketenangan.
“Hidupku kenapa begini? Menikah dengan wanita yang sangat aku cintai, tapi setengah tahun belum bisa menyentuh dirinya. Sudah gitu, Rio resign, dan kerja dengan Andrew!” geram Adrian dengan lirih.
Adrian menambah kembali minumannya di gelas kecil yang ada di hadapannya. Tidak peduli dia nantinya akan mabok. Pikirannya sudah tidak bisa dikendalikan lagi.
“Adrian? Kamu Adrian bukan?” sapa perempuan paruh baya. Ya, seperti mami-mami yang suka menawarakan wanita penghibur.
“Eh Tante Marissa? Iya, kan benar?” sapa Adrian.
“Rupanya kamu masih mengenali aku, Adrian?” ucap Tante Marissa dengan duduk dan menempelkan tubuhnya ke lengan Adrian.
“Ternyata, masih mau datang ke sini lagi kamu, Adrian? Tante kira kamu sudah taubat,” ucapnya dengan terkekeh.
“Biasa, Tante, jenuh,” jawab Adrian dengan meneguk lagi minuman yang ada di depannya. Miliknya on ketika melihat belahan d**a Tante Marissa yang menantang.
“Tante punya barang baru, masih segel pula. Kamu mau? Untuk kamu sih Tante kasih harga teman lah. Siapa yang enggak kenal Adrian Carlos, kasih harga teman pun masih kasih lebih kalau barang oke,” ucap Tante Marissa.
“Hmmmhh ... barang baru? Masih segel? Yakin itu? Jan bohong?” ucap Adrian yang sudah terpengaruh alkohol.
“Mau tidak? Kalau mau, ayo ikut tante ke belakang,” ajak Tante Marissa.
Adrian yang sudah on dan pikirannya ke mana-mana, dia tidak memedulikan semuanya. Adrian mengekori Marissa ke belakang, menghampiri anak didikannya.
“Itu yang pakai gaun biru muda. Namanya Tiara. Barang baru datang kemarin sore. Dijual sama ayahnya, untuk melunasi utang,” ucap Tante Marissa.
“Barang bagus. Berapa?” tanya Adrian. Tante Marissa membisikkan harga wanita malam itu yang bernama Tiara.
“Baik, tuliskan nomor rekening tante di sini. Aku transfer sekarang. Kalau cocok boleh aku adopsi untuk jadi simpananku?” tanya Adrian.
“Lo kira dia anak kucing, pakai adopsi segala?!” tukas Tante Marissa.
“Ya kali aja boleh,” jawab Adrian dengan mengamati wanita itu dengan jeli, karena dia tidak asing dengan wajahnya.
“Boleh, tapi ada harga khusus,” ucap Tante Marissa.
“Harga teman lagi, kan?” tanya Adrian dengan terkekeh.
“Tidak dong, segini harganya.” Tante Marissa mendekatkan bibirnya ke telinga Adrian dan membisikkan harga jual wanita yang bernama Tiara itu.
“Kalau cocok, aku akan bayar nanti setelah ini,” ucap Adrian.
“Baiklah, selamat bersenang-senang, baby ....” Marissa dengan gemas meremas milik Adrian yang sudah on.
“Sialan! Bikin tambah tegang saja tante ini,” umpat Adrian dengan ngeloyor masuk ke dalam menemui Tiara. Tante Marissa mengikuti Adrian yang masuk.
“Tiara, kemari kamu!” panggil Tante Marissa.
“Iya, Mih ...,” jawabnya dengan suara yang sedikit bergetar karena ketakutan.
“Malam ini kamu layani klien saya dengan benar. Dia sudah berani bayar mahal, kamu layani dia,” ucap Tante Marissa.
“I—iya, Mih,” jawab Tiara dengan mata berkaca-kaca.
“Deal, kan? Aku bawa,” ucap Adrian.
“Ya, silakan bawa dia, Have fun, Baby ...,” ucap Tante Marissa dengan mencium pipi Adrian, dan meninggalkan Adrian keluar, mencari mangsa selanjutnya.
“Ayo ikut saya!” Adrian menarik tangan Tiara dan membawanya ke Apartemennya yang ia sewa kemarin.
Adrian melajukan mobilnya ke Apartemen. Gadis yang mungkin memang belum pernah di sentuh laki-laki itu hanya memandang ke arah jendela, dengan tangannya tak henti mengusap air matanya.
“Kinan, kenapa aku ingat dia? Ingat saat dulu ada masalah dengan aku karena sepeda motorku. Astaga, gadis ini mirip Kinan dulu. Dia pasti merasakan takut seperti Kinan dulu saat akan aku nikmati tubuhnya,” gumam Adrian.
Isak tangis gadis yang bernama Tiara itu semakin terdengar. Hingga dia sesegukkan. Adrian tahu apa yang gadis itu rasakan. Usianya masih belia, harusnya dia masih menikmati masa-masa sekolah dengan temannya, dan menikmati masa remaja, tapi dia sudah dijual ayahnya sebagai pelunas utang ayahnya.
“Kamu kenapa sampai di tempat Mami Rissa?” tanya Adrian.
“Bukan urusan kamu, kan? Bukannya urusan kamu itu membeliku malam ini?” jawab Tiara.
“Aku tanya baik-baik, kenapa kamu jawab seperti itu? Aku tahu perasaan kamu seperti apa malam ini. Kalau dengan kamu cerita dengan aku menjadi lega. Ceritalah. Aku juga tidak akan merusak gadis yang masih belum cukup umur,” ucap Adrian.
“Aku dijual ayahku, lebih tepatnya ayah tiri. Dia menjualku untuk melunasi utangnya pada bandar judi,” ucap Tiara.
“Lalu ibumu?” tanya Adrian.
“Ibu meninggal sebulan yang lalu. Anak dari ayah tiriku perempuan, dia juga dijual, menikahkannya dengan orang kaya. Dan, kemarin ayah tiriku menjualku,” jelas Tiara.
Adrian hanya mengangguk-anggukkan kepalanya, mendengar Tiara yang sedang menceritakan kehidupannya. Adrian mengambil ponselnya. Dia menelefon seseorang.
“Berapa? Aku transfer sekarang.”
Adrian langsung mentransfer uang pada Tante Marissa untuk membeli Tiara. Dan, melepaskan Tiara dari jeratan Tante Marissa. Adrian kembali menelefon Tante Marissa lagi.
“Sudah masuk? Oke, baiklah, malam ini dia sudah tidak ada urusannya dengan tante.”
Adrian meletakkan ponselnya di saku bajunya. Dia melirik Tiara yang masih diam dan hanya menyeka air matanya saja. Adrian mengambil kartu namanya dan memberikannya pada Tiara.
“Ini kartu namaku.” Adrian memberikannya pada Tiara. Tiara hanya melihat saja. Dia sudah tidak tahu harus bagaimana, yang dia tahu, sekarang dia sudah di beli Adrian, dan mungkin dia akan menjadi budaak Adrian seumur hidupnya.
“Kamu masih sekolah?” tanya Adrian.
“Aku baru lulus SMK tahun ini,” jawab Tiara.
“Sudah bekerja?” tanya Adrian.
“Belum, karena ijazah belum ku ambil, belum ada uang, untuk ambil ijazah,” jawab Tiara.
Adrian hanya diam. Miris melihat gadis yang ada di sebelahnya. Mengambil ijazah saja dia tidak bisa. Adrian membelokan mobilnya ke apartemennya. Mengajak Tiara turun dan masuk ke dalam unitnya yang ada di lantai tujuh.
“Ayo masuk,” ajak Adrian. Dengan langkah bergetar Tiara masuk ke dalam unit milik Adrian.
“Duduk sini.” Adrian mengajak duduk di sofa. Tiara masih menunduk takut. Keringat dinginnya terus keluar, dan matanya terus mengeluarkan bulir air mata.
“Ini untuk ambil ijazah kamu. Besok pagi ambilah ke sekolahan kamu. Setelah itu kamu temui aku di sini. Sebelum ke sini, telfon aku dulu. Ada nomorku di situ,” ucap Adrian.
“Bagaimana aku mau menelefon bapak? Aku tidak punya hape, hapeku di ambil ayah tiriku, dan dijual, padahal itu hasil dari tabunganku dari SMP,” ucap Tiara.
“Tunggu aku di sini, aku ambilkan ponselku dulu yang tidak ku pakai, lalu sementara kamu bawa dulu,” ucap Adrian.
Adrian langsung keluar, ke parkiran mobil. Mengambil ponsel miliknya. Dia sejenak terdiam, menyangga kepalanya dengan tangannya di atas kemudi mobilnya. Hanya ada wajah Kinanti dan Kinan putrinya, saat dia membawa Tiara ke apartemennya.
“Maafkan papa Kinan sayang. Papa ceroboh seperti ini hanya karena papa belum mendapat hak papa dari bunda. Kinanti sayang, maafkan aku. Aku janji, malam ini aku tidak akan lagi seperti ini. Aku janji, Kinan. Mau kamu tidak memberikanku hak ku sampai beberapa tahun, aku tidak akan seperti ini lagi,” gumam Adrian.
Adrian mengusap kasar wajahnya. Dia mengambil ponselnya yang bergetar. Ada pesan dari Kinan. Dia segera membukanya.
“Kak, di mana? Sudah jam sebelas, apa kamu masih dengan Rio dan Andrew? Hati-hati pulangnya ya, Kak. Kamu jangan terbawa emosi dengan Andrew dan Rio, biarlah Rio bermain curang, kamu jangan terbawa emosi, ya?”
Kinan selalu saja khawatir dengan suaminya kalau sampai larut malam belum juga pulang. Adrian menyeka air matanya setelah membaca pesan dari Kinan.
“Iya, ini mau pulang, Sayang. Sudah selesai urusannya dengan mereka. Iya, aku hanya sedikit kesal saja tadi, tapi semua sudah clear kok. Ini sudah mau pulang, pengin dibawain apa?”
“Enggak usah, kamu hati-hati pulangnya. Aku tunggu di rumah.”
“Iya, Sayang. Kamu tunggu di dalam, jangan di teras, ya?”
“Iya, Kak.”
“Anak-anak sudah tidur, kan?”
“Sudah, Kak.”
“Ya sudah, tunggu aku pulang, baik-baik di rumah.”
Adrian mengakhiri chatnya dengan Kinan, dia melihat layar ponselnya yang menampakkan foto keluarga kecilnya. Adrian menyeka air matanya lagi.
“Maafkan papa ya, Sayang? Papa janji, tidak akan seperti ini,” ucap Adrian dengan suara yang serak karena menangis.
Adrian mengambil ponselnya yang sudah tidak terpakai lagi. Untung Adrian belum memberikannya pada Pak Satpam di rumahnya. Masih lumayan bagus, karena baru ia pakai beberpa bulan saja. Tapi, dia tidak cocok dengan type ponselnya.
Adrian kembali masuk ke dalam unitnya. Tiara masih duduk di sofa, dengan menundukkan kepalanya. Adrian duduk di depannya, meletakkan ponsel lengkap dengan box dan chargernya. Sudah ada kartu SIM nya, dan sudah ia isi paket data tadi.
“Sementara pakai ini. Kamu bisa pakai hape gini, kan?” tanya Adrian.
“Bisa, Pak,” jawab Tiara.
“Sudah aku instal aplikasi untuk chat, dan sudah ada kartu sim nya juga, sudah aku isi pulsa untuk menelefon, sudah ada paket datanya juga. Kamu pakai ini, besok hubungi aku kalau kamu sudah selesai ambil ijazahmu,” ucap Adrian.
“Terima kasih, Pak,” jawab Tiara.
“Kamu lulusan SMK, kan? Jurusannya apa?” tanya Adrian.
“Administrasi Perkantoran,” jawab Tiara.
“Oke, malam ini tidurlah di sini. Ini apartemen sudah ku sewa. Nanti aku akan perpanjang sewanya. Pakai ini untuk tempat tinggal kamu sementara. Besok setelah kamu ambil ijazah kamu, telefon aku, aku temui kamu di sini. Ini untuk biaya hidup kamu, sebelum kamu bekerja. Besok, belilah baju yang layak dan sopan. Aku tidak akan menyentuh kamu sedikit pun. Sekarang, perbaiki hidupmu, kamu sudah lepas dari Mami Rissa. Aku tidak mau merusak gadis yang masa depannya masih panjang. Aku punya anak perempuan, aku punya istri, aku tidak ingin anak perempuanku menanggung dosaku, dan menanggung karmaku,” ucap Adrian.
“Sekali lagi terima kasih, Pak. Besok saya akan segera ambil ijazahnya,” ucap Tiara.
“Baik, nama kamu benar Tiara?” tanya Adrian.
“Panggil Tia saja, Pak. Nama lengkapku Selvi Aristya. Ibuku biasa memanggil aku Tia. Tiara itu nama pemberian Mami Rissa,” jawab Tia.
“Oke, aku sudah menduga itu. Aku Adrian, salam kenal, Tia. Mulai malam ini, perbaiki hidup kamu,” ucap Adrian.
“Iya, Pak. Terima kasih,” ucap Tia.
“Aku pulang,” pamit Adrian, dan Tia hanya menganggukkan kepalanya.
Adrian melangkahkan kakinya untuk pulang. Dia sadar karena sosok Tia mengingatkan dua wanita yang sangat ia cintai. Dua Kinanti yang sekarang menjadi bagian dari hidupnya. Kinanti Istrinya, yang sangat ia cintai dan ia sayangi, juga Kinanti putrinya, putri dari mendiang istrinya yang bernama Sherly. Adrian tidak ingin Kinan putrinya menanggung karmanya. Apalagi Kinanti hasil dari hubungan tidak sehat dengan Sherly dulu. Dia tidak ingin kejadian seperti itu jatuh pada Kinan di masa depan. Kinan harus jadi wanita baik, wanita yang menjunjung tinggi harga dirinya sebagai wanita.
“Maafkan papa, Kinan. Maafkan papa,” ucap Adrian lirih dengan menyeka air matanya.