"Tuan. Kita tidak punya waktu untuk bermain-main hal yang tidak penting malam ini. Kita harus bergegas, Tuan." Bisik pria itu kepada pria bertubuh tinggi tegap dengan kemeja hitam lengan panjang, dan celana senada, serta di lengkapi sepatu pentofel menambah kegagahan pria itu.
Dia melirik jam Jacob & Co. Billionaire Watch yang ada di pergelangan tangannya. Jam tangan khas milyarder yang di taksir seharga 272,98 miliar!
Ya, itulah jam yang dikenakan oleh pria bertubuh tinggi tegap dengan rahang kokoh serta memiliki mata tajam tadi. Pria yang saat ini sedang menahan amarahnya, karena lalat kecil itu mengganggu perjalananya.
"Kau!" Geramnya karena dia tak sempat membalas kekesalan hatinya yang dipermainkan oleh anak kecil bau ingusan barusan.
"Tuan. Kita tidak punya waktu, Tuan." Pria yang mengenakan kacamata itu, kembali mengingatkan pria tampan itu.
"Dia telah menghinaku. Kau bahkan dengar itu di akhir kalimatnya, Jordan! Dia berani mengejek seorang Raksa, kau sadar itu, bukan?!" Pria itu sepertinya tidak terima mendapat perlakuan tidak menyenangkan dari seorang gadis kecil yang bahkan telah mengancamnya.
"Iya, Tuan. Nanti kita tanganni lain kali. Saya akan memberikan informasi tentang dia setelah kita menyelesaikan permasalahan ini, Tuan. Saya berjanji, itu." pria itu terlihat kembali membujuk pria bernama Raksa dengan sedikit panik.
PLAK!
Sebuah tamparan melayang ke pipi Jordan. Lorong akses menuju ke toilet adalah saksi bisu, bahwa Raksa adalah orang yang tidak bisa di sela perintahnya "Beraninya kau menyelaku?! Aku harus selesaikan anakk kecil itu. Aku minum darahnya!" Geramnya dengan pantulan sorot mata yang berkilat.
"Tuan. Maafkan saya, kalau kasar." Setelah berkata demikian, pria itu langsung menarik paksa tangan prria yang bernama Raksa dengan cepat. Setelah sampai di luar, tentu Raksa juga harus menjaga harga diri. Terlebih, dia cukup populer sebagai pengusaha muda Indonesia. Wajahnya cukup sering menghiasi media elektronik maupun cetak.
"Lepasin! Kamu pikir aku anak Paud?! Aku juga tahu jalan keluar. Awas, kamu!" Geramnya lalu melangkah dengan cepat menuju mobilnya terparkir. Mobil melaju dengan cepat, menuju sebuah hotel berbintang yang terkenal dengan privasi yang ketat. Livingston Hotel.
"Di kamar berapa wanita itu menginap?" Tanya Raksa tanpa menoleh ke arah Jordan yang melangkah di sampingnya.
"Penthouse, Tuan."
"Oke, dengan senang hati tentunya kita menyambut wanita yang ketagihan ingin bermain-main denganku." Senyum sinis mengembang di wajahnya. "Kamu tunggu saja di sini. Aku tidak enak jika dia melihatmu, dia pasti berfikir aku adalah pria penakut."
"Ta-tapi, Tuan?"
"Tenang saja. Aku juga memakai rompi anti peluru." Raksa mengacungkan jempolnya dan tersenyum ke arah Jordan yang akhirnya melangkah mundur keluar dari dalam lift.
Lift terus membawa Raksa pada kamar penthouse hotel bintang lima itu. Dia berdiri dan mengetuk pintu perlahan, tak membutuhkan waktu lama, seorang wanita cantik bermata biru membuka pintu. "Kenapa sangat lama? Kau pikir waktuku sangat banyak karena telah datang mengunjungimu?" Tatapnya tajam dan langsung menarik tangan Raksa masuk ke dalam kamar super mewah dan luas.
"Suatu kehormatan besar bagiku, jika seorang puteri Runafos berkenan menemuiku." Wanita cantik itu langsung memeluk Raksa dan menciumnya dengan beringas.
"Aku sangat menantikan waktu ini setelah sekian lama. Kau membohongiku terakhir kali. Kau ternyata tidak menyentuhku." Desahnya dengan sigap melepas jas yang di kenakan Raksa.
"Mengapa tuan puteri seperti kehilangan harga diri saat ini? Apakah ada misi tersendiri?" Raksa menahan tangan puteri Runafos yang mencoba melepas kemejanya dengan elegan, sehingga wanita itu juga tidak menyadari jika Raksa mengelak dari sentuhan dengan wanita itu.
"Ini yang paling aku suka dari seorang Raksa. Dia tidak lengah sedikitpun dengan godaan di depan mata." Puteri Runafos duduk dan menatap nakal ke arah Raksa. "Sepertinya, aku harus segera menikah denganmu." Runafos menyodorkan sebuah amplop coklat, dimana disana terdapat perjanjian damai antara Raksa dan ayahnya. Dengan catatan Raksa menikah dengannya.
Sedangkan di dalam toilet, Marsha membasuh wajahnya dengan air, karena dia tidak ingin ada air mata yang terlihat. Dia menatap dirinya dari pantulan cermin.
"Hmm...siapa sebenernya para begundal itu?! Bisa-bisanya dia begitu? Astagaaa...apakah dia penyuka pria? Sehingga dia tidak berkenan bersentuhan kepada wanita?" Marsha tidak terima dengan aksi pria tadi. "Cihh! Dia kira aku najis apa? Secantik ini aku? Glen anak CEO aja klepek-klepek. Lah! Pria tadi? Cuihh!" Geramnya lalu dia akhirnya menggelengkan kepalanya perlahan. Dan tertawa kecil. Sejenak dia lupa perihal perjodohan sang kekasih manakala mengingat pria yang baru saja dia temui.
"Sudahlah. Semua akan baik-baik saja....Marsha...coba perjuangkan cinta kamu. Kamu pasti bisa..." Marsha menghela nafasnya panjang, lalu dia melirik ponselnya yang bergetar.
Setelah memperbaiki pakaian dan rambutnya, Marsha beranjak dari toilet umum cafe langganan mereka berkencan, lalu berjalan menuju kekasihnya berada. Dia membaca pesan singkat dari adik tirinya.
"Lo buruan pulang bego! Ada surprise buat lo. Dan lo kudu rayain ini, loh..." sebuah pesan singkat yang membuat dahinya bertaut. Dia tahu benar, surprise yang di maksud adiknya bukanlah kejutan ala-ala keluarga bahagia atau bagaimana, karena besok adalah hari ulang tahunnya. Keluarganya tidak se-harmonis itu. Karena dirinya dibesarkan oleh ibu tiri. Ibu kandungnya telah meninggal hanya berselang satu bulan dia terlahir ke dunia ini. Bahkan dia tidak ingat bagaimana rupa ibu kandungnya, hanya terlihat dari album foto yang coba di sembunyikan oleh ibu tiri yang dinikahi ayahnya dua bulan sejak kematian ibunya, karena ibu tirinya itu sedang mengandung adiknya.
Sayangnya, Marsha bayi yang ditinggal mati ibunya, tidak lantas di sayang oleh ayahnya. Justru sang ayah termakan omongan oleh ibu tirinya, yang mengatakan jika dirinya adalah anak pembawa sial. Tak heran, jika dirinya di rumah itu kerap kali di perlakukan kasar oleh saudaranya sekaligus ibu tirinya, terlebih jika ayahnya sedang di kantor. Itu sebabnya dia bersyukur memiliki Glen yang tulus menyayanginya. Sayangnya Glen juga harus berpisah darinya, hal itu membuatnya hampir percaya kalimat bahwa dirinya adalah anak pembawa sial.
"Kok lama, Sayang?" Suara Glen yang membuat marsha menebar senyum ke arah wajah pria yang dia cintai itu. Marsha menarik nafas panjang, sebelum kembali duduk di kursi samping Glen.
"Iya, Sayang. Aku tadi di tabrak singa gurun yang laper." Sahut Marsha cuek, tangannya menggeser minuman yang dia pesan dan menyedotnya, walau dia tahu Glen juga sudah menikmati minumannya. Mereka tidak jijik berbagi pipet bahkan sendok untuk makan.
"Hah?! Ada singa? Serius kamu, Sayang?" Glen menegang, dia langsung refleks memegangi tangan sang kekasih, lalu menatap terkejut. "Kamu terluka? Bagian mana, Sayang?" Tanya Glen lagi, membuat Marsha tertawa terkekeh.
"Ya, enggak singa beneran, lah. Mana ada singa gurun, kamu ini..." Marsha melirik ke arah Glen yang terlihat lebih kaku malam ini dibanding sebelumnya.
"Ahhh! Kamu, Sayang. Aku kirain..." sahut Glen menarik nafas lega. Lalu dia kembali meraih jemari kekasihnya dan mengecupnya. Lalu suasana mulai kembali seperti semula. Melihat sang kekasih kembali ceria, membuat Glen menatap ek arah sang kekasih dengan wajah serius, dan berkata.
"Sha, aku-aku..." Glen terlihat tergagap.
"Kamu nerima perjodohan itu, Glen?" Tatap Marsha dengan sorot mata luruh. Dia meredam gejolak yang menerpa hatinya.
"Hmm..." Glen menganggukkan kepalanya, lalu menoleh ke arah Marsha lagi dan mempererat genggaman tangannya. "Tapi-tapi, percayalah. Ini bukan kehendakku, Sayang. Aku terpaksa menyetujui keinginan kedua orang tuaku. Karena ini adalah perjanjian keluarga. Kamu jangan salah paham, Sha. Di hatiku hanya ada kamu."
"Jadi, kamu setuju gitu aja, Glen?" Marsha ingin menangis saat itu, tapi sungguh. Harga dirinya lebih tinggi dari apapun. Dia tak mau jika dia terlihat lemah, sekalipun di hadapan sang kekasih yang sudah menemani melewati tahun-tahun sulitnya dalam menjalani hidup. "Kamu gak pengen coba perjuangin cinta kita? Kita awali segalanya, gimana?" Sorot mata Marsha penuh harap pada pria di hadapannya.