Perjodohan

952 Kata
"Aku terpaksa menyetujuinya, Sha. Aku gak bisa menerima keluargaku di ancam kalau aku gak bersedia menikah. Aku gak tega, Sha..." Glen berusaha meyakinkan Marsha dan membuat Marsha tersenyum getir karenanya. "Aku tahu, Glen. Itu sebabnya ibumu tidak menyukaiku. Beliau takut aku menghalangimu untuk menikah..." Marsha menahan kalimatnya. Dia berusaha menyajikan untaian kalimat yang sederhana dan paling tidak menyakiti Glen. Dia takut Glen marah pada ibunya, jika mengetahui bahwa ibunya sudah menemuinya. "Sayang? Kamu udah ketemu ibuku?" Glen menatap tak percaya ke arah sang kekasih, Marsha menganggukkan kepala mengamini kalimat sang kekasih. "Iya, Glen. Gak masalah, aku memang kurang pantas buat kamu. Karena aku gak sepadan dengan kamu, Glen." Marsha kembali menahan bendungan air mata yang coba sekuat tenaga dia tahan. "Sha. Kok kamu ngomong gitu? Sumpah, Sha. Aku mencintaimu, dan aku menerima perjodohan ini juga karena terpaksa. Aku bingunng harus bilang gimana ke kamu. Tapi, sumpah. Aku gak punya pilihan lain, Sha. Selain menikahi wanita itu..." jawaban Glen membuat Marsha menatapnya dengan binar harapan. Walau hanya secercah harapan, tapi Marsha mencoba untuk bisa berusaha memperjuangkan cintanya, sehingga tidak ada penyesalan di kemudian hari. "Jalan?" Kalimat Marsha terhenti, dia sebenarnya sedang memilih kalimat lanjutan yang paling pas dan cocok untuk dia lontarkan kepada Glen. Tapi, siapa sangka, Glen justru segera terpancing dengan kalimat itu. "Jalan? Jalan apa, Sha?" "Jalan untuk kita memperjuangkan cinta kita, Glen. Kita kawin lari aja. Aku yakin, kalau kita bersungguh-sungguh, kita bisa membuktikan ke orang tua kamu. Kalau kita juga mampu tanpa mereka. Kita mulai buka usaha kecil-kecilan, tentunya bukan di Jakarta. Aku punya sedikit tabungan peninggalan ibuku." Jawaban Marsha membuat Glen tertawa terkekeh. "Kamu ada-ada aja, Sha." Glen menggelengkan kepalanya. "Kamu itu gak ada apa-apanya di banding Intan. Kamu bakalan jadi bahan tertawaan kalau mengatakan kamu bakalan buka bisnis dengan tabungan kamu itu. Kamu itu kan cuma..." Glen menggaruk kepalanya dan menjeda kalimatnya. Mendengar kalimat yang di lontarkan sang kekasih, membuat Marsha tersenyum getir. Karena sang kekasih telah meremehkan dirinya. "Jadi, kamu gak optimis kalau kita bisa perjuangin cinta kita, Glen?" Marsha kembali ingin meyakinkan diri, dia tak mau merasa menyesal di kemudian hari jika melihat sang kekasih menikah tanpa perjuangan terlebih dahulu untuk mempertahankan hubungan itu. "Apa yang mau di perjuangin, Sha? Gak ada yang mau di perjuangin dari kita. Kita hanya sebatas cinta. Dan kamu tahu bukan, cinta tidak bisa menjamin apapun sama sekali. Kamu tahu itu bukan? Apalagi jaman sekarang yang serba susah. Dan kita massih harus merintis mulai dari nol dulu, gitu maksud kamu?" Glen tersenyum pesimis, membuat sayap-sayap cinta Marsha patah berserakan tak tentu arah. "Tapi, Glen..." Marsha masih mencoba di titik akhir, tapi pria itu sepertinya telah membulatkan tekatnya untuk berpisah darinya, dan menikahi wanita yang di pilih orang tuanya untuknya. "Sha. Soal cinta kita, kita masih bisa melanjutkannya setelah aku menikah. Kamu tenang saja, kamu adalah wanita yang akan ku prioritaskan." Tegas Glen membuat Marsha tersenyum kecut. "Ehh! Glen, udah malem, aku di suruh cepat balik sama mamaku. Yuk kita balik..." Marsha mengalihkan pembahasan mereka, dan langsung beranjak berdiri. Dia tersenyum getir ke arah Glen. "Kali ini biar aku yang bayar, Glen. Anggep aja, ini traktiranku buat kamu, sebagai ucapan selamat atas pertunangan kamu nantinya..." Tak menunggu jawaban Glen, Marsha langsung bangkit berdiri dan melangkah menuju kasir cafe itu. Hingga Glen kalang kabut mengejarnya. "Sha, kamu apa-apaan? Uang kamu mana cukup sampai akhir bulan, kalau kamu bayarin makanan kita gini..." sungguh kalimat Glen ini, sebenarnya tidak ingin di dengar Marsha. Terlebih di detik-detik terakhir mereka akan berpisah. Marsha berharap, dia memiliki setidaknya kenangan manis dalam hidupnya. "Sha, kamu kok diem aja?" Glen membuka pembicaraan setelah mereka hampir sampai di rumah pembantu Marsha yang tak jauh dari rumahnnya. Selama ini, Marsha memang sengaja menggunakan rumah pembantu rumah tangga dia, agar tidak di aniaya oleh ibu tirinya jika ketahuan dirinya pacaran. Karena jangankan pacaran, jika Marsha ketahuan memiliki teman, maka dengan segera, ibu tirinya bersama adik-adiknya akan menganiayad irinya seperti dahulu kala. "Aku ngantuk banget, Glen. Kenyang bangat malam ini, beneran." Jawaban Marsha tentu bukan yang sebenarnya. Dia menutupi kegundahan hatinya tentang kabar perjodohan sang kekasih. "Ohh, gitu. Yaudah, kamu nanti langsung tidur, ya? Kalau gak bisa tidur, call aku, oke?" Glen masih bersikap manis, dan tak merasa bersalah atau merasa kehilangan sama sekali, sedangkan mereka akan berpisah. Karena glen di jodohkan. "Oke. Aku masuk dulu, ya? Makasih buat malam ini, Glen..." setelah berkata demikian Marsha langsung keluar mobil, tidak seperti biasanya, mereka akan melakukan pelukan perpisahan dan berciuman panas. Malam itu Marsha seperti ingin segera menghindar dari Glen. Marsha bahkan setengah berlari masuk ke dalam rumah pembantunya. Setelah mobil Glen meninggalkan rumah itu, seperti biasa, Marsha berlari menuju kerumahnya. Denagn nafas terengah-engah dia masuk ke dalam rumah. Kalau orang di dalam rumah menyangka dirinya turun dari halte bis yang lumayan jaraknya dari rumah mereka. "Cieee...si Tuan puteri sampai berlari ngos-ngosan gak sabar mau dapetin surprise di ulang tahunnya ke sembilan belas." Kalimat sambutan dari adiknya yang merupakan anak pertama dari ibu tiri dan ayahnya-namanya Marinka. "Jadi, kado ulang tahun si Marsha kali ini adalah pernikahan ya?" Sahut Yuwen dengan tepuk tangan mengejek. Marsha terlihat kebingungan. Antara senang dan kawatir. Sempat terbersit harap dalam hatinya, jika perjodohan yang adiknya maksud, adalah antara dirinya dan Glen. “Yah, siapa tahu, kemarin mama Glen cuma nge-prank aku, dan nguji kesabaran aku gimana. Tapi ternyata diam-diam antara mama Glen dan papa punya perjanjian masa lalu. Ahh! Semogaaa…boleh—kan, ngarepnya begini?” Bisik Marsha dalam hati tentunya. Cuma yang terucap “Apasih maksud kalian?” Ucapnya tersipu. "Selamat atas perjodohan ini, Marsha. Lo bakal menikah dengan pria yang sangat kaya dan berkompeten. Intinya, lo gak bakal jadi babu kayak di rumah inix deh!” kalimat sambungan Marinka membuat Marsha terkejut. Seketika secercah harapan muncul. Apa mungkin?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN