"Lo udah baikan, Sa?" Angkasa mengangguk singkat, wajahnya terlihat lebih segar. Tangannya menenteng jas hitam dan juga jam tangan mewah keluaran baru, ia sibuk dengan penampilannya hari ini. Langit membawa sepiring nasi goreng dan segelas s**u untuk sarapan sahabatnya itu, ia bangun lebih awal dari pada Angkasa. Berinisiatif membuatkan sarapan, Angkasa jarang sekali sarapan setiap harinya, laki-laki itu selalu menggabung makan siang dan sarapannya di jam sepuluh atau bahkan lebih.
"Kok s**u sih, Lang? Kenapa nggak kopi sih? Kek mama lo lama-lama, Lang. Gue bukan anak kecil lagi yang tiap hari harus minum s**u,” protes Angkasa, menerima gelas s**u tersebut. Langit menatapnya datar, ia menikmati nasi gorengnya di samping Angkasa.
“s**u itu nggak cuma buat anak kecil aja, lo juga boleh minum kali. Nggak ada peraturan yang mengatur s**u hanya untuk anak kecil, dari lo masih di dalam kandungan sampai lo kakek-kakek pun di sarankan minum s**u. Kalau usia pertumbuhan itu wajib, kalau usia lo itu kebutuhan. Ya kan? Ntar bukan mama lo lagi yang buat, tapi istri lo.” Langit menoleh dengan tersenyum kecil.
“Tapi, gue pengennya kopi, Aksara! Udah jadi rutinitas gue, tiap pagi minum kopi.”
Langit menggelengkan kepala di sela kunyahannya. Menelan perlahan lalu berkata, “Nggak baik minum kopi pagi-pagi, Tuan Giovano! Asam lambung lo naik, kalau mau minum kopi makan dulu apa gitu. Gue ogah denger sambat lo, apalagi sumpah serapah.”
“Iya, bawel amat sih lo. Kek emak-emak perasaan lo, Lang. Gue ramal lo nanti bakal jadi suami takut istri deh, lo itu harusnya tegas, berani, besok-besok lo nggak usah masak. Ntar gue beli aja makanan dari luar, kasihan lo itu asisten gue di kantor bukan di rumah.”
Langit merapikan rambutnya lalu berkata, "Gini-gini gue calon suami idaman. Nanti kalau istri gue ke repotan ngurus anak-anak gue, ada gue yang bisa bantu masak sarapan. Jago kan gue, Sa? Lagi pula gue masakin lo kek gini juga karena gue tuh prihatin sama hidup lo, Sa. Udah hidup sendiri, nggak ada asisten rumah tangga, masalah hidup banyak, gue kasihan sama lo. Mama lo juga nitip lo sama gue, suruh jagain lo. Gue mah iya-iya aja, nyokap lo kan pemaksa banget jadi gue turutin deh. Udah lo sarapan aja, jangan pikirin gue ini jabatannya apa."
“Makasih ya, Lang. ngomong-ngomong masalah bantu pekerjaan istri, apa gunanya lo kerja selama ini, Lang? Uang mau lo kemanain? Kenapa lo nggak nyewa asisten rumah tangga atau nggak babysister. Hidup itu punya prinsip, Lang, cari duit buat bahagiakan istri sama anak. Buat apa lo kerja siang, sore, malam, kadang lembur tapi istri masih repot ngurus anak sama perkerjaan rumah lainnya? Maka dari itu kegunaan dari uang lo selama ini adalah buat nyewa jasa asisten rumah tangga. Jangan takut uang lo habis, rejeki nggak bakal kemana. Ya nggak?"
Langit menggelengkan kepalanya tak terima dengan argument Angkasa. "Kalau istri gue nggak mau gimana, Sa? Gue pengen istri gue tuh nggak kerja, ngurus anak-anak gue di rumah itu lebih baik."
"Oh iya, Sa, Adhit punya anak?" lanjut Langit.
Angkasa tersendak kopi yang ia seruput, ia berdehem menetralkan rasa terkejutnya. Menatap Langit tajam hingga pria itu tak bisa berkutik. "Lo tau dari mana?"
Langit menelan ludahnya. "Lo cek postingan terakhir Adhit, ada bayi cowok baru lahir."
Buru-buru Angkasa membuka ponselnya, rasa penasaran menggeluti hatinya. "Al?"
"Si Arka juga komen, dia menulis Al di sana. Gue nggak tau sih itu beneran bayinya atau bukan, gue bakal cari info. Tapi kok mirip lo ya, Sa, emang pacar Adhit dulu pernah jadi fans lo ya? Anehnya tuh sebelum-sebelum ini si Adhit nggak unggah foto nikah atau cewek manapun, masa langsung ada anak sih? Udah ah, mending lo sarapan aja dulu," ucap Langit dengan tersenyum.
Langit adalah tempatnya bersandar paling terakhir, laki-laki yang selalu mengorbankan waktunya untuk mengurusi hidup Angkasa. Ketika semua orang menjauhi hidupnya, Langit dengan suka rela mengulurkan tangannya menarik Angkasa dari jurang kesendirian, laki-laki itu selalu bisa ia andalkan setiap saat. Langit selalu menerima apapun bentuk kekurangan dari Angkasa, baik itu berupa ucapann maupun tindakan, sahabatnya itu bukan manusia yang bisa memuji pekerjaan orang lain, Angkasa baru akan berbicara jika pekerjaan itu salah. "Hari ini lo ada meeting sama perusahaan Aludra’s corp, anak perusahaan Radhitya."
"Aludra? Ini siapa yang megang? Adhit?" Langit menggelengkan kepalanya.
"Setelah itu gue kosong kan?" Langit mengangguk.
Angkasa tersenyum kecil. "Lo mau kemana, Sa?"
"Nggak kemana-mana, pengen jalan-jalan aja. Nanti kalau ada yang nyari gue, tolong lo bilang gue lagi pengen sendiri. Apalagi Agni, lo langsung usir aja.”
Langit menatap Angkasa menyelidik. "Mau ketemu siapa sih, Sa? Bukan si-"
Angkasa memotong dengan menggelengkan kepalanya, ia menyudahi sarapannya. Melengggang pergi ke tempat asing yang selama ini menjadi tumpuan hidupnya, tempat yang tak pernah ia mimpikan. Harus ia telan pil pahit itu, cita-citanya tak akan bisa ia capai dalam waktu dekat ini.
REUNI AKBAR (5)
Arka Pandhutama : Woy! Sepi bae lo pada, ngopi ngapa ngopi!
Aksara Langit Narayya : Gini nih kalau pada sukses udah pada sombong. Kumpul yok!
Angkasa B Dewa Giovano : Lo pikir masih SMA, ngumpul seenak jidat lo
Aksara Langit Narayya : Eh pak bos! Ampun!
Radhitya Bhayangkara A : Hei! Apa kabar lo pada?
Arka Pandhutama : Baru sadar kalau nama gue paling pendek sendiri di grub ini :(
Aksa B Argi Bimasakti : Yang sabar, Ka. Btw lo dimana sekarang Dhit?
Aksara Langit Narayya : Kabar baik, Dhit. Lo gimana?
Radhitya Bhayangkara A : Kabar baik. Gue lagi di Indonesia sekarang, pada dimana lo sekarang?
Arka Pandhutama : Kapan lo sampai?
Aksa B Argi Bimasakti : Oleh-olehnya?
Radhitya Bhayangkara A : Gue baru sadar nama lo semua inisialnya A.
Radhitya Bhayangkara A : Gue udah dua hari mungkin di Jakarta. Lupa kapan gue sampai. Lo mau oleh-oleh, Sa? Nih capek!
Arka Pandhutama : Lo masih ingat, Dhit, kalau kita mau bolos setelah hapalan Bahasa Inggris kudu nunggu lo yang absennya di ekor ular sana.
Aksara Langit Narayya : Karena kita semua marga A, cuman lo yang R sendiri. Apalagi pas ulangan kita semua duduknya deketan, lo sendiri yang jauh. Anjir!
Aksa B Argi Bimasakti : Mana mau nyontek susah, terus lo tuh suka tuli. Anjir lah!
Radhitya Bhayangkara A : Heran gue nama beda sendiri, untung otak gue nggak pas-pasan. Kalau di pisah sama lo pada kan gue masih bisa mikir
Arka Pandhutama : Gue kalau pisah sama Angkasa atau Aksa keok udah!
Aksara Langit Narayya : Dasar otak udang! Kek gue dong otak ayam
Arka Pandhutama : Kok ayam?
Aksara Langit Narayya : Lo ingat deh orang tua dulu suka bilang kalau makan otak ayam itu bisa nambah pinter, padahal gue udah makan banyak tetep aja g****k!
Radhitya Bhayangkara A : Kalau udah dari sononya, emang susah di rubah. Yang sabar aja jadi manusia
Arka Pandhutama : Si kembar cuman jadi pembaca gelap, anjir lah!
Langit terkekeh pelan, ia menyenggol Angkasa yang berada di sampingnya. Wajah Angkasa kusut, mood laki-laki itu sedang memburuk. "Tuh lo dicariin Arka, ngapa sih kalian masih perang saudara? Mau jadi Kurawa-Pandhawa?"
"Gue nggak pernah memulai, Lang. Gue korban dari sifat egoisnya Aksa, dia serakah!" ucap Angkasa dengan mengepalkan tangannya.
Langit menepuk pundak Angkasa. "Mama lo bangga punya anak kek lo, Sa, nggak pernah mau balas dendam sama saudara sendiri. Salut gue!"
"Lo nggak mau pulang?" Angkasa menggelengkan kepalanya.
"Buat apa pulang, Papa nggak mungkin suka gue pulang. Gue pulang kalau mama nggak ke apartemen, gue takut kenapa-napa sama beliau. Akhir-akhir ini kesehatan mama kurang bagus," jawab Angkasa dengan mengusap wajahnya kasar.
Langit terkekeh pelan, lalu menepuk pundak Angkasa kembali. "Papa lo kemarin nyuruh lo pulang, Sa, nggak mungkin kalau Om Raka itu nggak kangen sama anak laki-lakinya yang paling tangguh ini. Kalau lo butuh temen buat ke sana, gue siap nemenin lo kok. Udah jangan dipikirin gitu dong, setelah kita meeting lo bisa jalan-jalan.”
•••
"Terima kasih atas kerja samanya, Pak Adhit."
"Sama-sama, Pak Angkasa."
Langit terkekeh pelan, melerai jabat tangan mereka. "Nggak usah formal banget elah, lo pada nggak kangen reunian apa?"
"Rusak suasana banget lo, Lang. Anjir lah!" ucap Radhitya
Angkasa ikut tertawa. "Lo menetap di Jakarta, Dhit?"
Laki-laki itu menggeleng, ia membuka kancing jasnya. "Gue balik ke Inggris lagi mungkin sih. Nggak tau kapan ke sana lagi, masih rindu gue sama Jakarta. Eh katanya Ibu Kota mau pindah ya?"
"Lo kemana aja sih, Dhit? Gue kira lo di Inggris masih suka kepo berita Indonesia, ternyata nggak! Lupa tanah kelahiran sendiri lo?" ledek Langit.
Angkasa terkekeh begitu juga Radhitya yang tertawa. "Temen lo b*****t banget, Sa, pengen gue tendang."
"Bukan temen gue, Dhit."
Langit menatap keduanya jengkel, dengan berkacak pinggang ia berkata "Dasar anak nggak di untung ya kalian, emak ngandung kalian sembilan bulan sepuluh tahun di dalam perut. Ini balasan kalian? Sungguh terlalu!"
"Masih sama aja lo kek dulu, Lang. Emak kita semua," ujar Radhitya dengan tertawa.
Angkasa merapikan jasnya. "Kurang Arka sama Aksa deh. Arka dimana, Dhit?"
"Dia ada di Inggris, mungkin besok sampai Jakarta. Katanya dia mau pulang gitu," jawab Radhitya.
Ia menatap jam tangannya, lalu menepuk dahinya pelan. "Haduh, gue harus jemput Bara dulu. Gue balik ya, besok-besok ngumpul lagi."
Kepergian Radhitya membuat hati Angkasa tak tenang, laki-laki itu bisa sekali beradu akting. Angkasa sangat yakin projek kerja sama ini merupakan kedok Radhitya untuk menjatuhkannya, laki-laki pasti sangat dendam dengan dirinya.
“Sa, siapa Bara?”
Angkasa menatap Langit, mengerutkan dahinya. “Anak di taman itu namanya juga Bara, emang kenapa?”
“Lo nggak dengar Adhit tadi ngomong apa? Dia mau jemput Bara, lo nggak curiga anak yang lo temui itu adalah anak Adhit?” tanya Langit.
Angkasa menggelengkan kepalanya pelan dengan berkata, “Nggak mungkin anaknya Adhit, orang anak itu sendiri aja bilang kalau ayahnya itu nggak tau dimana terus ibunya kerja. Dia di taman sama pengasuhnya.”
Langit menganggukkan kepalanya, dahinya berkerut tajam. Sejak awal kepulangan Adhit ke tanah air, unggahan foto itu, sampai anak bernama Bara, seperti benang kusut yang kemungkinan besar berkesinambungan satu sama lain. Otak Langit berusaha keras untuk mencerna semua yang berkaitan dengan Angkasa, Adhit, dan jangan lupa gadis aroma mawar.
"Lang, gue pulang dulu. Ada yang perlu gue urus lagi," pamit Angkasa.
Akan ada pelangi setelah hujan, akan ada selalu yang kembali setelah pergi, entah itu raganya atau karmanya. Akan ada akibat setelah perbuatan, akan ada balasan tersendiri dari alam. Alam menyeleksi manusia dengan ketat, Tuhan menciptakan semuanya dengan seimbang dan juga tak ada yang sia-sia.
Gurat wajahnya syarat akan kegelisahan yang sedang ia rasakan akhir-akhir ini, antara hati, pikiran dan perkataannya tak ada yang bisa bertautan. Semua berjalan sendiri-sendiri tak dapat ia atur lagi, laki-laki itu bingung harus dari sudut mana dahulu yang ia selesaikan, persoalan seakan tak ada habisnya. Bayangan gadis aroma mawar menangis di hadapannya sambil bersimpuh memohon, terputar bagai kaset yang rusak. Matanya menatap danau seakan bisa mengulang kejadian tadi pagi.
Semburat jingga pun telah berkacak pinggang adu ketangkasan, riuh terdengar burung-burung yang beterbangan kembali ke sarangnya. Pemandangan yang jarang sekali ia temui, tulisan dan setumpuk kertas telah berhasil menyita separuh waktu dalam hidupnya. Dan jangan lupakan dengan satu lagi pengganggu hidupnya, mengejar dirinya dengan mengaku anak yang tumbuh di rahimnya adalah anak sah Angkasa. Perempuan itu tak luput berhasil menyita seperempat waktu geraknya, seakan-akan semua aktivitas Angkasa harus tetap dalam penglihatannya.
"Om ganteng?" Angkasa menoleh ke arah bocah laki-laki yang menyapanya itu.
Al kembali berdiri di hadapannya, ia tersenyum lembut. "Hei, Al. Kamu ke sini lagi?"
Anak itu tersenyum memperlihatkan gigi susunya. Angkasa mengangkat tubuh Al ke pangkuannya. "Al sama siapa? Bunda?"
"Bukan, Om. Bunda masih kelja, Al main sama Mbak Alin." jawab anak itu dengan memainkan jarinya.
Angkasa semakin penasaran dengan keluarga anak kecil ini. "Bunda kerja apa, Al?"
"Bunda keljanya di lumah sakit, Om, bajunya putih-putih. Kata Bunda jadi penyelamat bayi," jawab Al dengan polos.
Angkasa tersenyum kecil ia mengelus rambut Al, gemas dengan potongan rambut anak itu. "Siapa yang potong rambut, Al?"
"Om Tya potong rambut Al, Om. Katanya kalau modelnya seperti ini tambah ganteng. Emang benel om, Al ganteng?” Angkasa semakin terkekeh dibuatnya, anak itu terlewat polos sekali. Ia mencubit pipi Al lalu menciumnya gemas.
"Om punya anak?"
Pergerakan Angkasa terhenti, darahnya seakan berhenti mengalir. Ia menarik napasnya kuat, lalu membuangnya pelan. Pertanyaan itu sukses menohok ulu hatinya, darah dagingnya sendiri hingga saat ini tak pernah ia jumpai wajahnya bahkan lewat fotonya sekalipun. "Om punya anak, tapi dia sekarang nggak tahu dimana."
Al menatap Angkasa berbinar. "Al mau berteman dengan dia, Om. Al sendilian di lumah, Bunda kelja, Om Tya juga kelja."
"Kamu bisa berteman dengan Om, Al. Kita bisa main bersama," ucap Angkasa.
"Den Bara?" Al menatap sekitarnya dengan terkekeh.
"Om ganteng, aku pulang dulu ya. Om jangan lupa pulang ya. Besok main ke sini lagi! Al udah dipanggil sama mbak, pasti bunda pulang." Al mencium pipi Angkasa sebelum berlari menemui pengasuhnya.
"Andai Al itu anakku, nggak akan aku biarin dia sendirian di rumah. Kasihan juga dia, pasti kesepian. Harusnya kamu sadar, Sa, kamu itu juga udah nelantarin anak kamu sendiri. Kamu mikir deh keadaannya pasti nggak jauh beda sama Al, ditinggal ibunya kerja. Belum tentu dia dapet kerjaan yang baik, dia cuma lulusan SMA, bisa aja gajinya cuma pas buat makan sehari-hari nggak bisa nyewa pengasuh, pasti dia repot banget. Dan lo sendiri? Lo hidup enak di sini, punya ini punya itu, pengen apapun tinggal pesen. Anak lo di sana belum tentu hidup layak, kenapa lo tega?”