4. Double A

1388 Kata
Rumah megah itu nampak sepi sore ini, langit telah semburat jingga tak ada tanda-tanda pemiliknya kembali. Gerbang menjulang tinggi terbuka otomatis ketika mobil sang empu mendekat. Mobil silver hadiah ulang tahunnya dari sang papa, ia melepas kaca mata hitamnya. Melangkah masuk ke dalam rumah. "Ma! Mama!" Teriakan itu menggema di penjuru ruangan, jas putih dan tas kerjanya terlempar di sofa. "Biasakan meletakkan barang pada tempanya, Sa! Mama udah berapa kali bilang jangan berantakkan gini, sekarang mama masih ada buat ambil jas sama tas kamu. Kalau nanti mama nggak ada siapa yang bakal ngerapiin semuanya?" Wanita menghampiri dengan celemek yang masih menempel di tubuhnya. "Capek, Ma! Kan ada pembantu, apa gunanya Papa gaji mereka kalau kerjaan rapi-rapi masih kita kerjakan? Ayolah, Ma, rumah ini punya pembantu banyak, tugas mereka itu melayani tuan rumahnya. Dan aku wajib mendapatkan pelayanannya, contohnya barang-barang ini nanti biar mereka yang membawa ke kamar. Mama nggak usah lebay, lagi pula mama mau kemana?" “Sa, yang sopan. Kamu mama perhatiin makin lama, makin ngelunjak ya. Mama tidak pernah mengajarkan kamu seperti ini, Sa. Terlena dengan kemewahan, menyombongkan diri dimana-mana. Kemewahan ini hanya sementara jika kamu tidak mau berusaha, Sa. Papa mendapatkan semua ini karena dia tidak malas-malasan, tidak berpangku tangan begitu saja. Papa memiliki target capaian setiap tahun, Mama tidak melihat jiwa Papa ada dalam diri kamu." “Sekarang kamu udah jadi dokter, bukan berarti kamu bisa sombong, sesumbar. Tetap rendah hati, orang lain juga males hormat sama kamu kalau kamu sendiri aja gini.” lanjut Genta, mengambil jas dan tas anak bungsunya tersebut. "Udahlah, Ma! Ujung-ujungnya Mama pasti akan membanggakan si Angkasa kan? Apa sih, Ma, yang bisa di banggakan dari Angkasa? Dari segi mana, Ma, dia menghamili anak gadis? Aku heran dengan jalan pikiran Mama. Angkasa juga bukan anak yang baik-baik, Ma. Kita sama-sama nakal, hanya beda jalan." Genta menggeleng-gelengkan kepalanya, tak percaya. Air matanya berjelajah di pipi. "Setidaknya Angkasa tak pernah berani menentang Mama, Sa. Dia penurut tidak keras kepala, dan juga pekerja keras. Kalian keluar dari rahim yang sama, tapi perilaku kalian jauh berbeda." "Terserah Mama, Aksa pusing! Emang cuman Angkasa yang bisa buat Mama bangga, Aksa nggak pernah Mama pandang selama ini." ucap Aksa, merebut jas dan tasnya dari tangan Genta. "Aksa! Dengerin Mama, Sa! Aksa!" Wanita itu semakin tersendu, ia tak pernah di buat menangis oleh Angkasa walaupun anak itu membuat nama keluarga menjadi jelek. Dirinya tak habis piker melahirkan anak keras kepala seperti Aksa. "Sayang? Kamu kenapa, kok nangis?" Laki-laki berumur itu memeluk istrinya erat, ia mencium kening wanita itu. "Urus anakmu, Mas. Aksa selalu membuat aku darah tinggi, anak kesayanganmu itu selalu saja membuat ulah." Laki-laki itu menghapus jejak air mata istrinya. "Apa bedanya sama Angkasa? Dia juga sudah mencoret citra keluarga, Sayang. Kenapa sampai sekarang belum ke sini dia, aku udah suruh dia ke sini tadi padahal.” “Mas, apa pernah selama ini Angkasa bantah ucapan kamu? Dia nggak pernah nuntut apapun, dia masih punya hormat sama orang tua. Nggak ngebantah seperti Aksa, Mas. Mereka beda, Mas.” Raka menghembuskan napasnya perlahan, ia tak pernah bisa menyangkal fakta jika kedua sifat anaknya berlain arah. “Kamu habis dari apartemen Angkasa? Gimana keadaannya?” “Dia capek habis dari Inggris, Mas, aku yang ke sana. Angkasa punya banyak pikiran, dia nggak bisa fokus satu arah. Sampai kapan kamu mau membebani pikiran dia, Mas? Angkasa masih anakmu, anak kita. Kamu lupa, aku hampir kehilangan nyawa demi mereka. Tapi apa perlakuan kamu sama Angkasa? Tuhan masih sayang sama Kasa, Mas, coba kalau aku dulu bener-bener pergi selamanya, gimana nasib Angkasa sekarang? Aku pasti nggak tenang di sana lihat Kasa tersiksa batinnya, nggak punya tempat untuk bersandar. Kamu lebih mikirin ambisi Aksa jadi dokter dan Angkasa jadi penerus perusaaan, kamu nggak pernah tanya apa keinginan mereka mau jadi apa. Kamu memaksa mereka jadi seperti apa yang kamu inginkan, Mas. Kenapa sih kamu nggak dengerin keinginan mereka, cita-citanya, mereka itu jelas punya impian masing-masing.” Genta menghembuskan napasnya perlahan. “Kamu sebenarnya niat nggak sih, Mas, jadi ayah mereka? Aku ngerasa kita beda jalan, Mas, kamu seperti menyembunyikan sesuatu dari aku. Selama ini aku diem, Mas, kamu atur mereka sesuai yang kamu mau, tapi kali ini aku enggak bisa diem aja. Aku kasihan sama Aksa yang nggak suka sama darah, Angkasa yang sama sekali nggak suka diem di balik meja dan laptop. Sekarang emang mereka udah sukses, Aksa udah lulus dari kedokteran terus Angkasa juga akan mimpin perusahaan. Tapi semakin ke sini kebahagiaan mereka semakin hilang, Mas, tolong kamu bebasin anak-anak kamu. Hanya mereka yang kamu miliki jika aku pergi, dan aku nggak bisa punya anak lagi.” “Sayang, nggak gitu maksud aku. Aku pengen mereka itu punya pekerjaan yang bisa mencukupi kebutuhan mereka sendiri dan keluarganya nanti, gaji dokter itu besar masa depan Aksa dan keluarga nanti pasti terjamin. Apa lagi Angkasa, dia akan menjadi pemimpin sebuah perusahaan dan aku jamin dia bakal enak hidupnya nanti. Kalau tua nanti aku nggak bakal bingung mikir keuangan mereka yang tiba-tiba surut karena pekerjaan mereka asal-asalan, kita berdua akan hidup bahagia melihat anak cucu kita hidup dalam kecukupan.” Genta menggelengkan kepalanya, ia tak akan setuju dengan pemikiran Raka. “Mas Raka, uang bukan tolak ukur sebuah kebahagiaan. Mereka bisa mewujudkan cita-cita mereka, dapat penghasilan sendiri, itu sudah membuat mereka bahagia. Aksa dan Angkasa butuh kasih sayang dan kebebasan, Mas, bebas berekspresi. Setiap Aksa melukis selalu kamu larang, kamu buang alat lukis yang dia beli sendiri. Apa lagi Angkasa, setiap dia main piano selalu kamu marahi. Mas, mereka tersiksa dari kecil.” “Aku nggak mau mereka seniman, Sayang. Keluarga kita nggak ada sejarahnya masuk jiwa seni,” bantah Raka. “Mas, almarhum bapak itu seniman Jogja. Jelas darah seni itu ada dalam diri mereka, kakek mereka itu seniman. Sampai sini sudah jelas, Mas, kamu itu nggak mau mereka bebas berekspresi.” Genta menyeka air matanya dengan berkata, “Satu lagi, Mas, jangan terlalu memanjakan Aksa. Dia sudah jadi dokter yang kata kamu gajinya besar, seharusnya dia bisa mencukupi dirinya sendiri. Aku nggak suka ya lihat dia semakin lama, semakin besar kepala. Sombong terus di mana-mana, bangga dengan marga keluarga Bramantyo. Kamu ajarin dia bagaimana bersikap rendah hati dan sopan santun.” "Genta Sayang, Aksa nggak gitu. Dia itu hanya- " "Hanya apa, Mas? Dia terlalu kamu manjakan, aku tidak mau tahu dia harus mencoba seperti yang Angkasa lakukan. Dia harus hidup sendiri tanpa transferan setiap bulan dari kamu, biarkan anak itu memiliki rasa tanggung jawab terhadap dirinya sendiri. Wajah mereka sangat mirip tapi sayangnya kepribadian mereka bertolak belakang." Laki-laki itu tak lain dan tak bukan adalah Raka, rahangnya kokoh seperti puluhan tahun yang lalu, dan dia masih sama mencintai dan menyayangi istri dan anak-anaknya. “Kamu ajari Angkasa, bagaimana bersikap yang baik pada seorang ayahnya sendiri. Aku akui Aksa memang salah, dia terlena sama kemewahan yang aku berikan. Aku minta maaf, Sayang, semua berjalan nggak seperti yang aku inginkan. Aku jauh dari Angkasa maupun Aksa, kedua anak yang aku sayangi.” Genta mengangguk lalu mengusap lengan Raka pelan. "Apa pun yang dipaksakan hasilnya tidak akan memuaskan, Mas. Angkasa nggak pernah benci sama kamu, dia hanya takut sama kamu. Nanti aku akan bicara sama Aksa, dia itu juga harus mengerti keadaan." Diam-diam sepasang mata menatap dengan kilatan amarah tak terima, ia benci di samakan dengan kembarannya. Dirinya adalah dirinya, Angkasa adalah Angkasa. Mereka tak sama! Di sudut lain, Angkasa masih termenung dengan semua masalah yang sedang dia hadapi. Masa lalu yang masih membayangi pikirannya dan juga Agni yang terus menuntutnya. Hatinya yakin jika ia tak pernah melakukan apapun dengan wanita picik itu. Ia menoleh ke arah ponselnya yang berdering. "Halo." "Sayang, anterin aku dong. Kamu hari ini udah pulang kan?" "Aku sibuk!" "Sayang, kamu nggak mau lihat anak kita? Nanti aku dikira hamil duluan, Sayang, kalau kamu nggak ikut." "Emang iya kan? Kenapa kamu tutupi segala? Aku sibuk, kamu ke dokter sendiri aja." "Tapi, Sa, anak kita kangen kamu loh. Dia pengen di jenguk sama kamu. Kamu nggak rindu sama aku?" "Lo elus sendiri aja, Ag. Semua bisa lo lakuin sendiri, lagi pula anak lo itu mana paham gue bapaknya apa bukan. " Angkasa mematikan panggilan tersebut secara sepihak, ia tak tahan mendengar suara wanita itu yang selalu dibuat-buat agar terdengar merdu. Telinganya sangat sensitif mendengarkan suara Agni. "Kenapa kau malah kepikiran Al ya, anak itu sangat menggemaskan. Andai saja aku bisa bertemu dengan Lena, pasti usia anaknya sepantaran dengan Al. Lena, kemana kamu pergi, Len, aku pengen ketemu anak kita." Ia menggeleng-gelengkan kepalanya. "Jangan terus-terusan mikirin dia, Kasa, ada Agni sama bayinya yang mesti lo usut tuntas masalahnya." ●●●
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN