13. Cinta?

1903 Kata
“Dari mana aja loe?” tanya Rama saat Angga baru terlihat dikantin, padahal setengah jam sudah berlalu. “Gue habis main bola, sama Messi, CR7, Tsubasa, terus Hyuga.” Jawab Angga malas, sambil menyedot minuman milik Rama. “Yakin loe main sepakbola sama CR7? Terus menang apa kalah?” “Ya pasti kalah lah, b**o’ juga loe.” Angga kemudian terdiam, memikirkan kekalahan telaknya dari Vigo, ah kenapa bisa seperti itu, kenapa ia begitu ceroboh sampai dengan mudah dikalahkan Vigo. “Gue kalah taruhan sama Vigo.” Lanjutnya. Rama hampir tersedak, tak percaya. “Kalah taruhan gimana maksud loe?” “Salah gue juga sih, udah tahu kemampuan gue jauh dibawah Vigo. Eh gue malah taruhan kalau menang boleh deketin Luna.” “Pantesan aja loe kayaknya bener-bener kalah sama Captein Tsubasa. Lagian ngapain sih loe sampai kedekatan sama Luna? Atau jangan-jangan loe suka ya sama Luna?” Suka? Angga memikirkan hal itu, sepertinya apa yang dikatan Rama benar. Ia memang menyukai Luna, bahkan lebih dari itu, Luna seperti sudah menjadi bagian dari hidupnya, Luna memberikan apa pun yang sejak dulu tak pernah hadir dalam dunianya. Luna benar-benar memberikannya hidup yang nyata, yang dulu hanya tinggal abu. “Sepertinya iya, Ram.” Jawab Angga singkat, hal itu malah membuat Rama tersenyum sumringah, sambil berteriak.. “Yes! Akhirnya sahabat gue yang polos plus b**o ini jatuh cinta juga. Gue seneng banget Ngga. Ini perlu dirayain, bagus-bagus. Nanti gue bantuin buat PDKT.” “Apa sih loe, Ram. Ada yang masih gue pikirin nih, sebenarnya apa sih hubungan antara Vigo sama Luna, kok mereka deket banget?” “Loh loe belum tahu?” tanya Rama memastikan. Sementara Angga hanya menggeleng sesaat. “Luna kan adiknya Vigo sama Chaca.” Mendengar jawaban itu Angga langsung terdiam tak percaya. Apa Luna adik Vigo?! Itu seperti sebuah gempa bumi dahsyat yang tiba-tiba saja menelannya hingga tak mampu muncul kepermukaan. Bagaimana mungkin hal sepenting itu bisa tak ia tahu? Bahkan sampai ia memiliki perasaan itu pada Luna. Lalu apa yang harus ia lakukan setelang mengetahui ini semua? “Loe pasti bohong, kan? Gak mungkin Luna adiknya Vigo.” Angga terus memastikan apa yang dikatakan Rama itu salah, dan itu hanya kesalah pendengarannya saja. “Ngapain gue bohong. Masa loe gak lihat kedekatan mereka selama ini, dan loe juga udah bilang kan kalau Vigo sama Luna gak pacaran.” Benar! Memang benar apa yang dikatan Rama, semuanya bukan kebohongan, dan ternyata itulah alasan yang baru ia tahu tentang kedekatan Vigo dan Luna, jadi mereka saudaraan. Tidak! Bagaimana mungkin ia bisa jatuh cinta dengan anak dari seseorang yang telah membunuh ibunya? Rasanya seluruh tubuhnya bergetar hebat, bibirnya kelu tanpa ucapan, matanya berkaca-keca tak jelas. Ini benar-benar mimpi buruk, mimpi yang akan membuatnya hancur berantarkan tak berbekas. Melihat ekspresi kebingungan dari Angga, Rama sepertinya tahu. Bagaimana tidak? Ia yang selama bertahun-tahun ini bersamanya sejak kematian ibu Angga. Ia tahu bagaimana bencinya Angga dengan keluarga Tuan Aris, bahkan ia juga tahu bahwa dengan berbagai cara Angga mencoba membuang Vigo dari mata teman-temannya. “Ngga, gue tahu apa yang loe pikirin. Tapi, apa loe terus berusaha menyangkal semua ini? Pikirin Ngga.” “Enggak Ram, gue gak bisa suka sama anak dari orang yang udah bunuh ibu gue. Gue gak bisa. Gue akan berusaha jauhin dia dan bilang pada diri gue sendiri, bahwa gue gak cinta sama dia.” “Sampai kapan loe mau ngebohongin diri sendiri? Sampai kapan loe berusaha mengatakan terus apa yang sebenarnya gak loe tahu? Alasan loe buat ngebuang perasaan itu jauh-jauh gak rasional, hanya karena Luna anak dari Tuan Aris.” Kata Rama pelan. “Dengerin gue. Gue ini sahabat loe, gue tahu bagaimana sikap loe. Tapi, sekali ini saja dengerin gue. Kejadian dua belas tahun lalu, saat Tuan Aris dituduh membunuh ibumu, kenapa ia begitu santai menjawab dan mengatakan bahwa dia pembunuhnya. Loe denger juga kan bagaimana cara Vigo mengatakan bahwa pembunuhan itu atas dasar rasa kesolidaritas sebagai seorang sahabat. Selama ini apa yang dilakukan Vigo dengan perbuatan loe, dia diem aja. Sementara loe berusaha ngehancurin apa yang dia miliki dari teman-temannya. Bahkan dengan entengnya loe ngambil posisi captein sepakbola dari dia. Coba loe pikirin.” Mendengar omongan Rama yang begitu, membuat Angga diam dan dunia sekitarnya serasa hening. Ia serasa diambang keadaan antara bingung dan rasa gelisah tak menentu, semua ini seperti memang kesalahannya. Semuanya memang benar kata Rama, tak ada yang salah sedikitpun. Laki-laki yang dulu duduk kursi terdakwa begitu tenang menjawab semua pertanyaan hakim dan jaksa penuntut, ia tak sedikitpun beragumentasi untuk menyanggah, bahkan ia tak membawa pengacara saat itu. pikiran kecilnya terus saja memberontak menangis saat itu, tapi itu dulu. Sekarang seharusnya otak remajanya berpikir bahwa ia sudah sangat salah, dendamnya tak beralasan membuatnya diselimuti rasa benci. Ah, ia sangat sulit berpikir. Angga kemudian berlalu pergi dari hadapan Rama, keluar dari kantin dengan membawa rasa kebimbangan yang aneh. *** Jam istirahat belum usai, saat anak-anak sibuk kekantin dan keperpustakaan, Luna malah asyik duduk dibangku dibawah pohon besar yang berada ditaman sekolah. Dia hanya menikmati udara siang yang entah tiba-tiba terasa sejuk sambil memakan kacang yang dibelikan seseorang dari kantin. Seseorang yang tak lain adalah Angga. Saat istirahat pertama tadi Angga membelikannya makanan dan mengajaknya ngobrol dengan santai, tapi tiga jam setelah istirahat ketiga sikapnya tiba-tiba saja berubah, bahkan ia tak menyapa Luna saat lewat didekatnya. Angga memang aneh, tapi sampai saat itu Luna tak pernah berpikir yang macam-macam atau apa pun. Dia masih menganggap Angga adalah cowok paling baik setelah Vigo yang dikenalnya. Memikirkan kedua cowok itu, Luna terdiam sesaat. Sikap Vigo dan Angga ada yang seperti disembunyikan, bukan karena perselisihan yang dulu dipikirkannya, tapi masalah lain. Kenapa sikap mereka seperti begitu memanjakannya? Membuatnya merasa nyaman dan selalu merasa diperhatikan. Jika Vigo melakukan hal itu mungkin wajar karena ia kakak angkat Luna, tapi jika Angga? Apa Angga menyukainya? Tiba-tiba saja pikiran itu muncul, mungkinkah seorang Angga menyukai gadis dari bangsa siluman itu, atau bahkan Angga benar-benar sudah jatuh cinta? Saat ia masih bingung dengan hal-hal aneh, seseorang menepuk pundaknya dan duduk disampinya, merebut bungkus kaca miliknya lalu mengupasnya satu-persatu. “Sejuk banget udara disini.” katanya kemudian. Luna melihat wajahnya sambil menyipitkan mata. “Kamu ini datang-datang main ambil kacangku aja.” Kata Luna mengambil bungkus kacang yang dipegang Vigo tadi. “Loe ini kayak musang ya, makannya kacang-kacangan lagi. Dasar, adek angkat gue yang...” “Yang apa?” “Yang lucu, manis, plus imut ini.” Vigo kini manarik-narik kedua kulit pipi Luna, membuatnya molor seperti permen karet yang habis dikunyah (Tidak lengket). “Dari dulu kan aku emang imut.” Heh. Disibaknya rambutnya pelan, berlagak memamerkan bahwa dirinya begitu cantik. Ge-eR. “Wah-wah, ini anak sekarang udah bisa songong ya. Padahal pas pertama kali ketemu. Loe itu lusuh, dekil, bau, pokoknya jorok banget. Oiya mana Oon banget lagi, sekarang udah bisa gayaan.” “Kan kamu yang ngajarin.” Keduanya lalu tertawa. “Eh Lun, tadi gue sama Angga taruhan, buat ngerebutin loe.” Kata Vigo santai tanpa berpikir bahwa Luna akan terkejut dengan omongannya. “Apa?!” tanya Luna terkejut. “Kamu sama Angga, jadiin aku taruhan. Emang aku barang, lagian ada masalah apa lagi sih kalian berdua ini.” “Kalian berdua? Maksud loe, dia kali. Selama ini Cuma dia yang benci sama gue. Dan setelah ini dia juga bakalan benci sama loe.” Kata-kata Vigo itu semakin membuat Luna tak percaya, bagaimana mungkin Angga membencinya? Karena selama ini ia tak pernah punya salah pada Angga. “Kok gitu, emang aku salah apa?” “Loe gak punya salah, tapi dia bakalan tahu kalau loe adik angkat gue, yang berarti menjadi salah satu anggota keluarga besar Aris Androas. Loe tahu maksud gue, kan?” Benar. Tidak salah lagi, akhirnya semuanya terbongkar. Angga akhirnya mengetahui bahwa ia adik angkat Vigo dan anak angkat Tuan Aris. Seperti apa yang diceritakan Ayah angkatnya, bahwa permusuhan antara kedua keluarga itu tak bisa dengan mudah dijelaskan dengan kata-kata. Ibu Angga yang meninggal dua belas tahun lalu, karena di bunuh ketua BobCat, menimbulkan dendam yang berkepanjangan. Angga hanya mengetahui sebagian cerita yang disembunyikan ayahnya, dan mengetahui bahw ibunya mati ditangan laki-laki yang biadab. Tapi, setelah Luna tahu tentang semua itu, ia semakin bingung untuk menyelesaikan masalah itu. haruskah ia mengatakan pada Vigo tentang kejadian malam kesekian kalinya saat Papanya mengajaknya bercerita? Atau ia biarkan sendiri dan tak mengungkitnya lagi? “Go, kira-kira menurut kamu, mungkin nggak Angga menerima kenyataan kalau sebenarnya Papa bukan pembunuh ibunya?” Vigo menatap kearah wajah Luna dengan tajam, berusaha mencari tahu apa yang dipikirkan gadis itu. Tapi, kemudian ia menarik wajahnya. “Gue gak tahu apa yang loe pikirin saat ini, tapi sepertinya itu sulit banget. Angga bukan anak yang mudah percaya gitu aja dengan omongan orang lain sebelum dia lihat dengan mata kepalanya sendiri. Dan itu seperti twis yang langsung kena matanya, dia lihat sendiri bagaimana Papa ngebawa Mamanya yang ngebuat tuduhan itu jatuh ketangan Papa. Sampai sekarang itu yang dia pikirin.” Ujar Vigo yang langsung dijawab anggukan ringan Luna. “Dan gue perlu bantuan loe, Lun.” “Bantuan apa?” “Buat Angga mengerti semuanya, dan katakan apa yang terjadi dua belas tahun lalu.” “Hah, kamu nyuruh aku?” Luna menunjuk dirinya sendiri, setelah mendengar omongan Vigo. “Cuma loe yang deket sama Angga untuk sekarang. please ya, ini demi kebaikan hubungan antara gue sama Angga. Meski gue akui Angga lebih egois dan keras kepala ketimbang gue.” Luna mengangguk. Entah apa yang dia anggukkan, tapi dia berusaha memahami semuanya. Dan, udara ditaman itu perlahan menyejuk saat angin panas mulai bergesar kearah barah, dibarengi bunyi bel tanda istirahat berakhir. *** Enam jam sudah berlalu sejak kejadian dikantin tadi, semua seperti batu besar yang menghantam kepala secara tiba-tiba dan menyakitkan. Bahkan angin malam itu tak mampu membuatnya tenang. Kenapa orang yang disukainya ternyata anak dari seorang pembunuh? Malam itu bagi Angga seperti kutukan yang menakutkan, sama seperti malam-malam yang telah berlalu, saat semuanya menyakitkan. Ia kini duduk diatas kasur dengan memeluk lututnya, menatap tajam tembok kamarnya yang kosong dan putih, tanpa ada satu goresan pun selain coretan bekas salah catnya. Tiba-tiba suara kaki membuatnya tersadar dan membuatnya menghapus sisa air mati kebimbangan. Papanya duduk disampinya sambil menggantungkan lengannya. “Kamu kenapa? kok belum tidur jam segini.” “Belum ngantuk Pa.” jawab Angga tanpa ekspresi (Flat). “Coba sini lihat wajah cowok Papa yang lagi galau.” Sang papa menarik wajah Angga yang terlihat manyun, digoyang-goyangkannya pipi wajah itu, tapi kemudian Angga melepaskannya. “Sudah Pa, Angga bukan anak kecil lagi.” Angga masih berbicara dengan wajah datar yang semakin membuat Papanya bingung. “Kamu kenapa?” Angga menarik nafas panjang, kemudian berucap. “Pa, ceritakan kejadian dua belas tahun lalu tentang kematian Mama. Apa benar Tuan Aris yang membunuh Mama? Tapi, kenapa Tuan Aris begitu enteng menjawab omongan jaksa penuntut? Kenapa Vigo selalu bilang bahwa Papanya masuk penjara karena rasa solidaritasnya sebagai seorang sahabat? Kenapa, Pa?” Sang papa melepaskan lengannya, sambil diam tanpa mampu berucap lagi. “Ayo jawab, Pa!” lanjut Angga dengan suara meninggi. Ia tahu Papa sangat sulit untuk menceritakan hal ini, dan ia tahu Papa tak akan pernah berbicara apa pun lagi tentang peristiwa itu. Angga tahu kalau Papanya masih sangat terpukul, tapi apa sampai selama ini masih disimpannya semua rahasia itu? “Kalau Papa nggak mau jawab pertanyaan Angga, berarti Angga anggap bahwa semuanya tak pernah terjadi. Kebohongan tentang kematian Mama, kebohongan tentang Tuan Aris sebagai pembunuh hanya semua kebohohongan dan fitnah belaka.” Angga berlalu pergi, meninggalkan sang papa yang masih termenung. Angga membuat Tuan Candra benar-benar kacau. Semakin ia menyimpan rahasia itu dari sang anak, ia semakin penasaran dan akan terus bimbang. Apalagi sampai sekarang virus dendam yang sudah seperti parasit itu membekas diotaknya tidak dengan mudah hilang. Keegoisannya membuat anaknya menjadi korban. Ia benar-benar merasa bodoh.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN