“Ma! Pa! Cha, i’m home!” Vigo berteriak begitu kencang seakan dirumah itu semua orang tuli, tapi itu menjadi gaya khasnya yang tak bisa dihilangkan. “Nggak tahu apa Igo yang ganteng ini sudah dirumah.”
Vigo masih sibuk berteriak, saat Luna terus memandangi rumah Vigo yang begitu besar. Mulutnya tak percaya dengan apa yang dia lihat, rumah itu mirip seperti yang ada dilukisan yang diberikan ibunya dulu. Dengan tangga yang tinggi, lantai bening, dan lampu besar yang menggantung. Sungguh wah.
“Ngapain sih loe plonga-plongo kayak gitu?”
“Rumah kamu bagus, kayak...” Luna tak melanjutkan omongannya, dia menutup mulutnya dengan tangan. Enggak mungkin dia mengatakan apa yang diingatnya pada Vigo.
“Kayak apa?”
“Kayak istana.”
“Udah deh gak usah halu. Cepet bawa barang gue kekamar dilantai atas, sebelah kiri deket pintu balkon.”
Luna mengangguk, lalu meneteng tas milik Vigo yang entah kenapa terasa begitu berat, padahal isinya hanya dua lembar baju, dua setel celana, sepasang sepatu dan sebagainya. Enggak berat bukan? Berat!
Tapi, belum sempat dia melangkahkan kakinya lagi. Mama dan papa Vigo datang menyambut keduanya. Senyum manis bertumpu dibibir sepasang suami istri yang mulai masuk kepala empat itu.
“Igo, kapan kamu datang, nak? Loh kok Luna yang suruh bawa tasmu,”
“Dia pembantu kita kan, Ma?”
“Pembantu? Enggak, Mama suruh dia kesini untuk mengawasi kamu, dan Mama sama Papa sudah buat kesepakatan kalau Luna juga bakalan sekolah sama kamu juga Chaca.”
“Mama ini ada-ada aja. Jangan bercanda deh, Igo baru sampe nih.” Vigo sebenarnya sedikit merajut dengan omongan yang mama, tapi ia berpikir positif bahwa itu hanya guyonan.
“Serius, Mama nggak bercanda. Dan... kamu tahu, Mama sudah menyiapkan akta lahir Luna.”
“Akta lahir?” tanya Vigo mengulang.
Tidak. Sudah terlalu jauh dari pikirannya, tidak mungkinkan dia harus tinggal dan sekolah dengan cewek dekil itu, bahkan sekarang Mamanya sudah menyiapkan akta lahirnya. Dunia bebasnya bakalan hancur seketika. Mamanya akan menjadikan Luna sebagai Bodyguard yang setiap saat mengintainya.
“Iya. Tada..!!” sang Mama menunjukkan akta palsu yang berisi tanggal lahir, tempat lahir, dan nama ayah. Apa?! Ayah Luna juga ayahnya, berati di akta itu Luna adik Vigo. Tidak!
“Mama sama Papa ini aneh. Igo nggak mau!”
“Sudah terlambat.”
Vigo sudah tak habis pikir dengan orang tuanya. Bagaimana mungkin mereka bisa melakukan hal sekonyol itu untuk menampung Luna yang tak tahu dari mana. Bahkan mereka sudah menganggap Luna sebagai anaknya sendiri.
Sumpah Vigo sudah kehabisan akal dengan semua ini. Semua rencananya bakalan hancur gara-gara cewek itu.
“Sudahlah mungkin Igo masih sakit makanya mimpi ngawur. Ayo Lun, bawa tas gue kekamar.”
“Igo kamu jangan nyuruh Luna!”
Teriakan sang Mama tak didengar Vigo, ia masih berpikir bahwa semua itu halusinasinya.
%%%
Malam semakin melarut, saat bintang bertebaran dilangit. Luna masih duduk ditaman belakang rumah dengan pikiran yang mengambang. Padahal beberapa hari lalu dia sibuk mencari jalan keluar dari hutan, dan setelah dia keluar semaunya menjadi hal yang aneh. Dia malah terjebak didunia manusia, tinggal dirumah manusia, tanpa tahu apa yang harus dia lakukan.
“Loe mikirin apa?” suara Vigo dari belakang membuyarkan lamunan Luna.
Dengan langkah berat karena kakinya yang sempat terkilir harus ia angkat sedikit dan memperlambat langkahnya.
“Enggak. Aku nggak mikirin apa-apa kok.”
“Masa? Gak mungkin loe diam aja kalau gak mikirin sesuatu.”
Luna menarik nafas panjang lalu membuangnya lagi seperti ingin menceritakan sesuatu, tapi tidak. Dia malah hanya tersenyum sambil tetap diam.
“Kata Mama, gue ini anak bandel. Kerjanya keluyuran, main sampai gak tahu waktu.” Lanjut Vigo sambil bercerita pada Luna.
“Memang apa yang kamu lakukan sampai ibu kamu bilang begitu?”
“Nggak ada sih. Ya biasalah kelakuan remaja.”
“Remaja?”
“Loe sendiri, orang tua loe dimana? Maksud gue, apa loe bener-bener lupa semuanya.”
Luna berpikir sejenak, saat ini dia nggak harus bohong pada Vigo untuk menyembunyikan semuanya dari Vigo, karena memang dia nggak tahu dimana orang tuanya.
“Aku nggak tahu dimana orang tuaku, tapi yang sedikit aku ingat ayah sudah meninggal. Sepertinya.”
“Kasihan juga ya loe.”
Dikasihani Vigo, tiba-tiba saja Luna tertawa kencang seakan-akan nggak ada yang terjadi tadi. Semuanya seketika hilang, bahkan Vigo sendiri sampai mengangkat bibir kirinya keatas. Gadis aneh, bisa-bisanya dia tertawa begitu semangat dalam keadaan galau begini.
“Kok loe ketawa?”
“Soalnya kamu aneh.”
“Aneh apanya?”
“Aku saja biasa, kok kamu bingung mikir.”
Vigo benar-benar hanya bisa menggeleng-geleng kepala sendiri. Dia bukan hanya aneh, tapi seperti robot yang tak punya perasaan sedih.
Keduanya mulai sama-sama menatap langit. Satu, dua, tiga, bintang nampak indah dan semuanya biasa, tapi ada satu bintang yang bercahaya seperti kebiruan. Mereka berteriak bersama. “Bintang itu kan...!”
Mereka nampak canggung dengan hanya memalingkan wajah masing-masing, entah ada yang sedang mereka pikirkan. Seperti yang sedang dipikirkan Vigo, Luna mulai menarik dunianya yang brutal dengan tingkah konyolnya. Perasaan itu sudah ia rasakan sejak dirumah sakit, perasaan yang dirasakan setiap cowok permen karet.
“Eh Lun,” ujar Vigo kemudian memecahkan keheningan.
“Ehm,”
“Besok kan loe mulai sekolah, loe harus bisa beradabtasi dengan lingkungan baru loe.”
“Adabtasi?”
“Iya. Loe harus menyesuaikan semunya, kayak bahasa sama pergaulan. Semua orangkan tahunya loe adik gue jadi bahasa loe juga harus kayak gue.”
“Misalnya?”
“Loe harus ganti kamu, sama loe. Coba deh.”
“Elo,” kata Luna sedikit kaku mengucapkan kata itu, yang sebenarnya salah ejaan.
“Bukan elo, tapi loe. L O E.”
Luna mulai bingung dengan bahasa itu. apa bedanya coba? Dia pikir semuanya sama. “Apa bedanya?”
“Bedanya cara pengucapan dan sama penulisan.”
“Tulisan?”
“Loe gak tahu tulisan?”
Luna menggeleng.
“Yaampun, berarti loe gak tahu abjad dong. Kayak A B C D dan teman-temannya?”
Lagi-lagi Luna hanya bisa menggeleng kepala.
“Yaudah gih, nanti gue ajarin sampai bisa. Siapa tahu alzaemar loe bisa berkurang itupun kalau gue gak kolaps duluan.” Vigo lalu tertawa pelan.
Vigo nggak pernah sebahagia ini sebelumnya saat bersama seorang cewek, Luna yang pertama kali melihat Vigo tertawa. Apalagi selama ini yang dilakukannya hanya mempermainkan perasaan cewek, memacarinya lalu meninggalkannya. Semua itu akibat dari persaingannya dengan Angga, ketua club sepak bola yang paling songong menurutnya dan cowok yang paling membencinya seseantero sekolah.
Angga selalu mengajanya bertanding dalam hal apa pun. Entah itu menjadi ketua tim sepak bola, atau memacari Disti yang sekarang malah pacaran sama Rendra si ketua sangga pramuka. Bahkan bukan hanya itu, Angga sejak dulu memang tak menyukainya, semua itu karena kesalahan Ayahnya yang dituduh membunuh Ibu Angga. Hasilnya? Ayah Vigo mendekam dipenjara selama dua tahun dan denda maksimum.
“Sebelumnya gue gak pernah ketawa kayak gini.” Kata Vigo kemudian, sambil berusaha berhenti dari ketawa lirihnya.
“Kenapa? Ketawa kan asyik.”
“Gue juga gak tahu. Soalnya gak ada yang bisa buat gue ketawa.”
“Benarkah? Berarti aku perlu mendapatkan hadiah karena itu.”
“Hadiah buat apa?”
“Karena sudah bisa buat kamu ketawa.”
Vigo berpikir sejenak. Hadiah? Sepertinya kata itu akan dia pertimbangkan untuk beberapa waktu kedepan. Bukankah setiap pekerjaan harus mendapat imbalannya.
“Oke, gini aja. Aku kasih tiga keinginan. Jadi loe boleh minta tiga keinginan apa pun sama gue.”
“Keinginan? Kayak sihir gitu?”
“Ya sejenis itu deh. Sekarang loe mau minta apa?”
“Minta apa ya?” Luna berusaha berpikir keras untuk berpikir, untuk mendapatkan satu jawaban. Tapi, tidak ada. “Sekarang belum ada, nanti aja ya.”
“Okeh, tapi ada syaratnya. Loe gak boleh nyuruh gue cuci baju, nyetrika, cuci piring dan seantek-anteknya. Dan satu lagi, kayak jinnya Aladin gue gak bisa ngasih sesuatu tentang cinta.”
“Cinta, apa itu?”
“Cinta... besok loe tanya Mama atau Chaca aja. Gue juga gak tahu.”
Baru dipertemukan empat hari lima malam mereka sudah nampak akrab, bahkan bisa tertawa. Sedikit demi sedikit Luna mulai melupakan tentang rombongannya, meski dia juga masih mencari cara untuk bisa pulang kesana.
Ditengah obrolan ringan itu, tanpa keduanya sadari sepasang mata menatap tajam dan nampak angkuh. Chaca nggak suka melihat kedekatan mereka, bahkan rasanya perlahan-lahan Luna mengambil Vigo dari sisinya.
Sejak pertama kali melihat Luna, Chaca memang sudah benci, apalagi ditambah Luna pindah rumah dan akan sekolah bersamanya, itu lebih membuatnay benci.
“Lihat aja, gue bakalan ngebongkar kedok loe. Dan gue juga bakalan cari tahu asal usul loe cewek sarap.” Chaca berlalu pergi dari sana.
Sementara itu Luna dan Vigo nggak ada habisnya bercanda, meski bulan nggak lagi menampakkan cahayanya. Yang perlahan ditutup awan hitam.
“Masuk yok, Lun. Dingin banget, kaki gue juga udah pegel.”
“Yuk, aku juga mulai kedinginan.”
Luna membantu Vigo untuk berdiri dan berjalan kedalam rumah.