Pertengkaran Dewa dan Dewi Neox membuat seisi alam terasa sangat dingin. Memang sejak perseteruan tadi tidak ada yang berani mengganggu, selain para dayang yang sibuk membersihkan tubuh Dewi Renisia.
Bahkan Dewi Neox sama sekali tidak terganggu akan hubungannya yang terasa merenggang bersama sang suami. Wanita paruh baya itu tengah sibuk menyulam sebuah kain kecil yang biasa digunakan untuk sapu tangan.
Seorang dayang perempuan yang berada di samping Dewi Neox terlihat menyiapkan sekeranjang berisikan benang sulam berwarna-warni.
“Yang Mulia Dewi, apa masih membutuhkan semua benang ini?” tanya dayang tersebut.
“Tidak perlu. Kau bisa kembalikan semua itu ke tempat semula,” jawab Dewi Neox menggeleng pelan.
Mendengar hal itu membuat dayang muda nan cantik itu bangkit dari tempat duduknya yang berada tepat di bawah kursi santai milik Dewi Neox. Sedangkan seorang wanita dewasa itu masih tidak sadarkan diri.
Di saat Dewi Neox dan dayang pribadinya menghabiskan waktu berdua, tiba-tiba terdengar pergerakan dari Dewi Renisia. Tentu saja hal tersebut langsung mengejutkan keduanya.
“Ibu ...,” panggil Dewi Renisia lemah.
“Renisia, kau sudah sadar, Nak?” tanya Dewi Neox spontan meletakkan alat sulamannya di tangan dayang pribadi.
Kemudian, wanita paruh baya itu pun menghampiri Dewi Renisia yang terduduk lemah. Bahkan Dewi Renisia menyambut sang ibu dengan pelukan lemah sembari meletakkan wajahnya pada pundak Dewi Neox.
“Ibu, apa yang sedang terjadi? Mengapa aku memimpi Ibu dan Ayah bertengkar?” tanya Dewi Renisia bernada sendu.
Sejenak Dewi Neox terdiam membisu. Rasanya ia tidak ingin menjawab pertanyaan dari sang anak membuat dirinya benar-benar menghindari perkataan tersebut.
Sementara itu, jauh pada tempat di bumi yang menjadi kediaman Klan Manusia. Terlihat seorang pemuda tampan tengah duduk di depan tungku dapur dengan api yang menyala sedang.
Namun, seorang gadis yang tengah sibuk meracik beberapa bahan makanan itu benar-benar ramai dengan kegiatannya sendiri.
“Jia’er, apa kau benar-benar berniat membakar tubuhku seperti ini?” sinis Xuan Yi memasukkan kayu bakar yang mulai menjadi arang panas.
“Sudahlah jangan mengeluh! Kau hanya perlu menjaga api agar tetap menyala,” balas Shen Jia mendesis kesal sembari terus memotong sayuran menjadi potongan kecil dan memasukkannya ke dalam sebuah penggorengan.
“Kau sangat jahat. Aku hampir saja mati terbakar di sini. Lagi pula s**u milikmu sudah hampir menjadi mentega. Mengapa kau terus bersikeras memanaskannya lagi? Apa kau berniat mengerjaiku?” omel Xuan Yi kesabarannya yang sudah habis.
Kemudian, pemuda tampan itu pun bangkit dari tempat duduknya membuat ia bisa melihat betapa sibuknya Shen Jia mengelola banyak bahan makanan berbentuk sayur. Namun, gadis itu sama sekali tidak mengalihkan perhatiannya ketika mendengar bantingan sebuah kipas tungku yang dilakukan oleh Xuan Yi.
“Ya sudah, kau gantikan pekerjaanku,” balas Shen Jia meletakkan pisau besar dapur itu di atas meja beralaskan sebuah talenan kayu besar berbentuk bulat.
Tidak ingin kalah, Xuan Yi pun mengangguk mantap. Seakan menantang pekerjaan Shen Jia yang terlihat sangat mudah. Sebab, sejak tadi gadis itu memang hanya diam di tempat dengan beberapa suara potongan dari sayuran hijau tersebut.
Dengan menggeleng tidak percaya, Shen Jia pun menghampiri sebuah tungku dengan api yang menyala. Ia pun membuka sebuah panci berisikan mentega putih hasil dari pemanasan s**u hasil perahan Xuan Yi.
Walaupun mereka berdua mengambil bahan makanan tersebut secara diam-diam. Tentu saja hal tersebut sama sekali tidak diketahui oleh asisten guru. Karena Guru Xuaming sering kali melarang mereka melakukan hal-hal membahayakan sekaligus merepotkan ketika di dalam dapur.
“Bagaimana hasil pekerjaanku?” tanya Xuan Yi melirik ke arah gadis yang tersenyum senang menatap hasil dari dalam panci tersebut.
“Bagus,” jawab Shen Jia mengangguk senang.
“Tentu saja aku menunggunya benar-benar sangat niat!” sahut Xuan Yi mengedipkan sebelah matanya menggoda.
Sedangkan Shen Jia yang menoleh tepat melihat kedipan itu pun langsung mendecih mengejek. Ia memang sudah tidak lagi menganggap sesuatu yang berhubungan dengan Xuan Yi serius. Sebab, pemuda itu terkadang sangat menyebalkan membuat rasa yang dulu pernah ada mendadak tidak terlalu terasa saking seringnya bersama.
“Kau sudah tidak bisa menggodaku lagi, Xuan Yi!” sinis Shen Jia.
“Oh ya, memangnya kapan aku menggoda dirimu, Shen Jia? Sepertinya kau saja yang tiba-tiab menyukaiku,” balas Xuan Yi tertawa pelan.
“Hei! Sudah kubilang jangan menggodaku lagi. Apa kau tidak mendengarnya?” sentak Shen Jia tidak terima sembari melayangkan sebuah centong nasi yang begitu besar. Untung saja benda mematikan itu meleset dan tidak mengenai kepala Xuan Yi yang sedang menunduk memotong sayuran.
“Apa kau ingin membunuhku!?” tanya Xuan Yi tidak santai ketika mengetahui lemparan Shen Jia yang hampir saja mengenai kepalanya.
“Iya, aku gemas sekali ingin mencekik lehermu!” jawab Shen Jia berpura-pura kesal.
“Baiklah cekik aku sekarang juga,” pinta Xuan Yi berpura-pura menyerahkan diri dengan ekspresi putus asa membuat gadis yang tidak jauh dari pemuda itu tertawa keras sekali.
“Apa kau baru saja menyerahkan diri padaku?” tanya Shen Jia dengan ekspresi menyebalkan.
“Tidak,” jawab Xuan Yi santai.
Tanpa mengatakan apa pun lagi, Shen Jia hanya menghela napas panjang dan mengangkat panci berisikan mentega miliknya itu ke atas meja yang sudah disiapkan sebuah wadah berukuran sedang.
Xuan Yi hanya memperhatikan kegiatan teman sekamarnya dengan acuh tak acuh. Ia terlihat sibuk mencicipi sebuah tumis masakan yang beraroma sedap. Tentu saja sentuhan yang tidak terduga dari sang koki andal dan seorang putri bangsawan.
“Aku mencium aroma sedap yang begitu kuat dari masakanmu,” celetuk Shen Jia menghampiri seorang pemuda tampan tengah melakukan beberapa jenis atraksi dalam memasak. Salah satunya mengaduk dengan cara menerbangkan masukan tersebut tanpa membuat berjatuhan di bawah. Benar-benar mencerminkan seorang koki.
“Kau harus mencoba masakan dari Pavilium Penglai, Jia’er,” ucap Xuan Yi tersenyum lebar memberikan Shen Ji beberapa potong sayuran di dalam piring.
Membuat gadis itu tersenyum lebar. Ia menerima piring tersebut dan mengambil sebuah sumpit dari tangan Xuan Yi yang baru saja digunakan untuk mencicipi makanan. Gadis itu tidak sadar bahwa tingkahnya sempat menjadi perhatian Xuan Yi.
Sebab, baru kali ini ada seorang gadis yang begitu acuh tak acuh melakukan sesuatu. Terlebih gadis itu adalah seorang bangsawan dengan keberadaannya begitu berpengaruh. Sehingga segala sesuatu dan tindakannya mengandung banyak perhatian.
“Astaga, ini benar-benar sangat enak!” puji Shen Jia dengan ekspresi sangat cerah. Seakan ia meletupkan sebuah kembang api di benaknya sendiri merasakan masakan yang terlalu enak, melebihi menu di istana.
“Apa kau ingin mencobanya lagi?” tanya Xuan Yi menaikkan satu alisnya.