Sepuluh tahun pun berlalu, kini Xuan Yi kecil pun mulai beranjak dewasa dengan penjaga yang masih sama seperti sebelumnya, yaitu Chang Qi. Mereka berdua memang tumbuh bersama-sama dengan Xiao Pingjing.
Bahkan bisa dikatakan mereka bertiga tidak bisa dipisahkan layaknya sahabat karib. Sebab, Xuan Yi tidak pernah menganggap Chang Qi adalah pelayannya. Ia malah memperlakukan pemuda yang lebih tua beberapa tahun dari dirinya itu sebagai kakak laki-laki.
“Xuan Yi, apa kau sudah mendengar bahwa Akademi Tangyi sudah dibuka?” tanya Xiao Pingjing yang baru saja datang sembari membawa sekeranjang penuh berisikan buah jeruk.
Ketiganya sedang bersantai di tangga Pavilium Penglai milik Kakek Gu yang tidak terlalu banyak orang melintas mengingat hari ini masih pagi sehingga jarang sekali ada pengunjung datang.
Xuan Yi yang tengah mengupas kulit jeruk itu pun terhenti, lalu menoleh. “Apa kau yakin? Aku baru saja datang dari istana bersama Ayahku, tetapi di sana aku sama sekali tidak mendengar apa pun.”
“Entahlah. Aku hanya membaca di papan pengumuman tadi,” jawab Xiao Pingjing sedikit ragu.
Sedangkan Chang Qi terdiam menatap majikan sekaligus temannya yang sangat menyukai jeruk. Bahkan keduanya bisa menghabiskan sekeranjang besar. Karena waktu itu keduanya pernah tertangkap basah di dapur istana yang sedang memakan buah jeruk dalam jumlah cukup banyak. Dan hal tersebut membuat keduanya langsung disuruh berlutut sehari semalam demi menyesali perbuatannya.
“Ya sudah. Kalau begitu, aku ingin meminta penjelasan pada Kakek Gu,” pungkas Xuan Yi bangkit dari tempat duduknnya membuat Xiao Pingjing ikut bangkit membawa keranjang berisikan beberapa buah jeruk saja.
“Aku juga ingin bertanya dengan Kakekku,” timpal Xiao Pingjing tersenyum lebar.
Xuan Yi hanya menangguk singkat menanggapi perkataan temannya itu. Kemudian, ia mengajak Chang Qi untuk kembali ke kediaman Keluarga Gu yang tidak jauh dari Pavilium Penglai. Sebab, di sana pasti banyak sekali para ahli bela diri yang datang untuk melakukan kultivasi.
Sesampainya di kediaman, Xuan Yi melihat banyak sekali dayang dan prajurit yang melakukan penjagaan sekitar. Kemudian, pemuda itu langsung berlari menuju tempat berkultivasi kakeknya yang berada jauh dari pilar kebenaran di halaman depan.
Di suatu ruangan yang serba merah dan hitam itu, tampak seorang lelaki paruh baya mengenakan pakaian hanfu berwarna senada. Sebuah energi api itu mengelilingi bundaran dengan sangat besar nan kuat.
“Kakek!” panggil Xuan Yi tanpa memedulikan lelaki paruh baya itu tengah berkultivasi.
Sedangkan Chang Qi terlihat melipat kedua tangannya di depan da*da sembari berdiri di depan double pintu kayu dengan slayer kain merah yang melapisi sisinya.
“Yi’er, apa kau lupa kalau Kakek sedang berkultivasi?” tanya Kakek Gu sembari membentuk lingkaran di depan da*danya untuk menurunkan energi yang telah ia hasilkan beberapa saat tadi.
“Nanti dulu, Kakek!” jawab Xuan Yi tersenyum lebar, lalu kembali berkata,”Yi’er ingin bertanya, apakah Akademi Tangyi sudah dibuka? Tadi Yi’er mendengarnya dari Xiao Pingjing.”
Kakek Gu tersenyum tipis, lalu mengajak cucunya itu untuk melakukan hal yang sama, yaitu berkultivasi. “Nanti akan Kakek jelaskan. Sekarang kau coba ikuti apa yang Kakek lakukan. Sebab, beberapa hari ini Kakek lihat kemampuanmu semakin baik.”
“Baik, Kakek,” balas Xuan Yi patuh, dan mulai melakukan hal yang sama menumpukan kedua tangannya membentuk sentilan satu sama lain.
Beberapa saat kemudian, entah kenapa tiba-tiba Xuan yi merasa tubuhnya mendadak panas seiring dengan cahaya terang menyinari wajahnya hingga tanpa sadar membuat pemuda itu bergetar di sekujur tubuhnya.
Kemudian, tanpa ia sadari matanya mulai terbuka dan menyaksikan bagaimana kekuatannya bisa sebesar itu. Namun, terdapat beberapa keanehan di sana membuat Xuan Yi merasa bingung pada dirinya sendiri.
Sesaat, pemuda tampan yang mengenakan pakaian hanfu merah dengan rambut sepunggungnya tergerai sedikit ikal, lalu menatap sang kakek yang ternyata tidak menyadari perubahan tersebut. Membuat Xuan Yi diam-diam merasa lega.
“Sepertinya aku harus menyembunyikan hal ini pada siapa pun,” gumam Xuan Yi tanpa suara dan hanya gerakan bibir saja pada dirinya sendiri. Sebab, ketika ia berbicara dalam suara sepelan apa pun pasti kakeknya akan mendengar. Apalagi dalam keadaan kulvitasi yang cukup tinggi.
Setelah itu, Xuan Yi pun hendak melakukan kultivasi lagi, tetapi tiba-tiba pergerakannya terhenti saat mendengar suara pintu yang berderit pelan menampilkan sesosok wanita paruh baya begitu anggun dengan balutan hanfu merah campur hitam yang dipadukan dengan rambut dibentuk menjadi sanggul, lalu tak lupa tusuk konde elegan tampak menghiasinya.
“Nenek!” panggil Xuan Yi tersenyum lebar.
“Yi’er, kemarilah!” titah Nenek Gu membuat pemuda yang penuh kasih sayang itu langsung mendekat dan merangkul bahunya dengan penuh kelembutan. Sebab, memang hanya Nenek Gu yang selama ini menjaga Xuan Yi tanpa memarahinya sama sekali.
“Ada apa, Nenek? Yi’er sedang berkultivasi dengan Kakek,” tanya Xuan Yi penasaran.
“Dasar anak nakal! Apa kau tidak lapar sejak tadi tidak makan?” sinis Nenek Gu menatap kesal.
Sontak hal tersebut membuat Xuan Yi meringis pelan, lalu menuntun sang nenek untuk keluar dari sana. Tentu saja ia tidak ingin mengganggu kakeknya yang terlihat sangat serius berkultivasi.
“Aku sudah makan di Pavilium Penglai, Nenek,” jawab Xuan Yi.
“Ya sudah. Sekarang cepatlah makan bersama Chang Qi,” titah Nenek Gu membuat pemuda itu mengernyit bingung.
Xuan Yi menggeram pelan mendengar penjaga dirinya ada di sana. Memang ia akui kalau Chang Qi sangat jujur terhadap sesuatu. Sehingga bisa ditebak pemuda itu tidak akan pernah bisa diajak kerja sama dalam keadaan genting.
Akhirnya, mau tak mau Xuan Yi pun melangkah ke arah pavilium bulat yang berisikan lima dayang dan Chang Qi di sana. Tentu saja hal tersebut membuiat Xuan Yi menghela napas pelan dan mempercepat langkah kakinya ke sana.
“Kau benar-benar menyebalkan Chang Qi. Bagaimana bisa kau sangat jujur mengatakan bahwa kita berdua belum makan. Padahal aku sengaja ingin mengajakmu pergi ke pasar,” sungut Xuan Yi mendudukkan diri di sana membuat beberapa dayang langsung mendekat dan menaruh banyak makanan di sana.
Sedangkan Chang Qi hanya mengangkat bahunya acuh tak acuh. “Aku hanya menjawab apa pun yang ditanyakan Nyonya Besar Gu. Lagi pula tidak ada salahnya kita berdua makan lagi saat di pasar.”
“Kau bisa, tetapi tidak denganku,” balas Xuan Yi mengernyit kesal.
“Kalau begitu, sudahlah terima nasibmu yang tidak mujur itu,” timpal Chang Qi santai.