Skenario Membangun Tanpa Beban Hutang Luar Negeri (HLN)

858 Kata
Membangun Tanpa Hutang Jakarta -Nasi ibarat sudah menjadi bubur.Republik Indonesia dalam membangun sejak Presiden RI pertama hingga kini, semua menyisakan hutang luar negeri. Jumlahnya bervariasi, namun tren nya selalu bertambah, karena hutang baru untuk menutup defisit APBN serta membayar cicilan dan bunga tiap tahun. Keluar dari mainstream logika anggaran adalah bagaimana menciptakan sebuah rancangan yang tidak meleset dari defisit tiap tahun.Artinya perlu usaha kerja keras, memperbesar pendapatan dan menekan angka pengeluaran. Menghitung pengeluaran pokok yang realistis dan ditambah program percepatan ekonomi. Negara harus hadir untuk memback up ekonomi rakyat sebagaimana amanah Konstitusi pasal 33 UUD 1945. Karenanya, usaha kebangkitan ekonomi Intinya adalah bagaimana mencari titik pijak kebangkitan ekonomi(Quantum economic). Lompatan percepatan pertumbuhan ekonomi bisa dilakukan agar pendapatan nasional ada melalui Obligasi ,Investasi, Industri Makanan Minuman, Ekonomi kreatif dan Pariwisata, Agroindustri pertanian dan peternakan, pembangunan kawasan ekonomi halal (halal food centre), ekonomi syariah, ekonomi maritim (nelayan) dan kawasan pesisir, UMKM serta berbagai lapangan usaha produktif yang melibatkan peran serta kalangan produktif dari kaum.pengangguran dan miskin (10,9 juta) itu menjadi prioritas utama dari pembangunan. Ghalibnya negara harus memutar cara keluar dari ketergantungan energi bumi dan gas, menuju pembangunan berkelanjutan dengan pemanfaatan energi terbarukan sebagai salah satu upaya untuk keluar dari hutang sembari berusaha penuh untuk tidak saja mencicil dan bunga, tapi bila perlu menyudahi hutang luar negeri dengan cara melakukan skenario ulang melalui kerjasama bilateral, multilateral serta internasional bentuknya bisa korting hutang, rescheduling bahkan pengumpulan dana (pendapatan) untuk melunasi hutang dalam jangka waktu tertentu (Perlulah dibentuk Badan Pelunasan Hutang Luar Negeri). Isu pembangunan infrastruktur dan utang kembali muncul ke permukaan, dan telah menjadi bahan diskusi di tengah-tengah masyarakat. Kemunculan isu ini diawali oleh banyak pasangan Capres-Cawapres yang menggagas pembangunan infrastruktur tanpa utang, dalam artian pemerintah membangun infrastruktur tanpa berutang atau membebani APBN. Tak pelak lagi, karena mengandung muatan politik, gagasan ini pun menuai kontroversi di masyarakat, ada yang pro dan ada pula yang kontra. Di samping isu politik, gagasan ini memang wajar dipertanyakan kelayakan implementasinya oleh masyarakat. Hal ini tak lain disebabkan pula oleh kondisi kemampuan APBN yang terbatas. Sejak krisis ekonomi dan keuangan 1997/1998, APBN mengalami defisit anggaran, di mana pengeluaran lebih besar dibandingkan dengan pendapatan yang diperoleh. Bahkan APBN mengalami defisit primary balance, artinya pendapatan negara tidak cukup men-cover pengeluaran p********n bunga utang. Namun, pada intinya masyarakat mempertanyakan bagaimana strategi infrastruktur dibangun tanpa berutang? Telah Menerapkan Gagasan membangun tanpa berutang mendapat tanggapan positif dari Menteri Keuangan, dan mendukung atas implementasi gagasan ini karena dapat menyehatkan perekonomian dan keuangan Indonesia. Membangun tanpa utang diartikan swasta yang membangun infrastruktur, dan ini merupakan hal yang digadang-gadang dalam pembangunan ekonomi yang sehat. Ekonomi tidak tergantung pada stimulus APBN. Kementerian Keuangan mencatat posisi utang pemerintah kembali naik pada Maret 2022 menjadi Rp7.052,5 triliun. Nominal tersebut bertambah 0,5% atau Rp37,92 triliun dibandingkan bulan sebelumnya yang sebesar Rp7.014,58 triliun. Adapun jika dilihat secara tahunan, utang pemerintah tersebut juga naik 9,4% dibandingkan Maret 2021 yang berjumlah Rp6.445 triliun. Seiring kenaikan pada nominal utang tersebut, rasio utang pemerintah terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) juga naik menjadi 40,39% pada Maret 2022. Surat berharga negara (SBN) masih mendominasi utang pemerintah yang sebesar Rp6.222,94 triliun atau 88,2%. Utang tersebut terdiri dari SBN domestik yang sebesar Rp4.962,34 triliun dan SBN valuta asing (valas) sebesar Rp1.260,61 triliun. Pemerintah juga memiliki utang berupa pinjaman sebesar Rp829,56 triliun atau 11,8%. Dari jumlah itu, pinjaman sebesar Rp13,20 triliun berasal dari dalam negeri.Ditambah bunga dan cicilan hutang, 405,9 T per tahun. Kemudian, pinjaman sebesar Rp816,36 triliun berasal dari luar negeri. Rinciannya, pinjaman bilateral sebesar Rp 281,31 triliun, pinjaman multilateral Rp491,57 triliun, dan pinjaman bank komersial Rp 43,48 triliun. Pemerintah menyatakan akan terus menjaga rasio utang dengan mengedepankan pemanfaatan pembiayaan non utang, seperti optimalisasi pemanfaatan Saldo Anggaran Lebih (SAL) sebagai buffer fiskal, serta implementasi SKB III dengan Bank Indonesia. Upaya lain yang dilakukan pemerintah adalah melalui pembiayaan kreatif dan inovatif untuk pembiayaan infrastruktur dengan mengedepankan kerjasama berdasarkan konsep pembagian risiko yang fair. Instrumen dari pembiayaan kreatif ini terdiri atas PPP atau KPBU, blended financing serta SDG Indonesia One. "Sri Mulyani menjabat sebagai Menteri Keuangan di Kabinet Indonesia Bersatu Jilid 2. Rasanya tidaklah berlebihan jika ada penilaian terhadap menteri keuangan atau biasa disingkat menkeu sebagai Menteri Kecanduan Utang," sebut Kusfiardi, mantan Ketua Koalisi Anti Hutang Indonesia. Membangun Indonesia tanpa utang, lanjut Kusfiardi adalah hal yang mungkin untuk dijalankan." Prasyarat untuk menjalankannya adalah mengoptimalkan potensi ekonomi yang ada di dalam negeri.Tentu mengurangi besaran utang yang harus dibayar dengan devisa. Mengurangi utang dalam denominasi mata uang asing," tegas Kusfiardi, Analis Ekonomi Politik, Co-Founder FINE Institute (Lembaga Kajian Fiskal dan Moneter). Kondisi yang memprihatinkan lagi adalah keseimbangan primer defisit, yakni di 2022 ini mencapai 868 T plus cicilan dan bunga 405,9 T. Keseimbangan primer adalah penerimaan negara dikurangi belanja, di luar p********n bunga utang. Defisit keseimbangan primer menunjukkan bahwa penerimaan negara tidak mencukupi untuk menutupi belanja negara di luar p********n bunga utang. Situasi itu menggambarkan bahwa penambahan utang selama ini jauh dari baik-baik saja. Beberapa fakta selama ini menjerumuskan keuangan negara dalam jebakan utang, yakni pertama utang pemerintah bertambah; kedua, rasio utang terhadap PDB meningkat; ketiga, rasio pajak rendah; keempat, penerimaan pajak tidak tercapai; dan kelima, defisit keseimbangan primer.(***) Aji Setiawan, alumnus Teknik Manajemen Industri, Fakultas Teknologi Industri, Universitas Islam Indonesia,Yovyakarta
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN