“Kenapa selera kamu rendah banget sih? Emang nggak bisa cari baju yang lebih mewah dan mahal lagi? Anak saya kurang kasih kamu uang makanya milih itu?” tanya Lydia dengan ketus membuat Zahra memejamkan matanya sejenak dan mengepal tangannya.
Dari tadi ia sudah berusaha menahan diri sejak bertemu dengan Lydia. Dari awal pertemuan Lydia sudah tidak ramah dan mengacuhkannya, bahkan orang-orang yang membantu mereka saat ini juga ikut mendengar dan menyaksikan apa yang terjadi di antara mereka.
“Zahra udah lebih suka sama ini kali Mbak, makanya mau yang ini. Zahra lebih suka yang sederhana dan simple seperti ini,” bela Vania mencoba menenangkan.
“Kamu sama anak kamu sama aja seleranya rendahan. Mau mempermalukan anak saya kalau pakaiannya seperti ini? Kamu nggak bisa mendidik anak kamu? Oh iya bukan anak kandung ya jadi nggak akan paham, kamu juga bukan dari keluarga berada makanya kayak gini. Pantes aja kamu nurunin hal yang nggak baik sama anak sambungnya, saya jadi khawatir kalau Bella akan di didik yang salah juga nantinya punya Ibu sambung kayak kamu,” ejek Lydia sambil tertawa menghina Vania dan Zahra.
“Maaf ya Tante kalau sikap saya lancang ngomong kayak gini, tapi Tante udah sangat berlebihan menghina Bunda seperti itu. Kalau dari tadi Tante mencoba menghina saya maka saya diam. Tapi saya nggak terima kalau Tante mencoba menghina Bunda saya,” kata Zahra marah pada Lydia. Vania langsung saja mendekati Zahra dan menarik Zahra agar tidak melanjutkan hal itu.
“Kamu berani sama saya?” tanya Lydia marah.
“Kenapa saya harus takut sama Tante? Bunda emang bukan Ibu yang melahirkan aku, tapi Bunda jauh lebih tahu dan mengenal aku dari siapapun termasuk Papa kandungku sendiri. Walaupun Bunda bukan dari keluarga yang kaya tapi sikap dan hati yang Bunda miliki jauh lebih kaya dari pada orang yang mengaku kaya tapi tidak benar-benar kaya,” sindir Zahra.
“Kamu menyindir saya?” tanya Lydia tak terima.
“Tante merasa? Yaudah itu berarti untuk Tante, dari tadi saya udah cukup menahan diri ketika Tante nggak terima sama pilihan saya. Saya mengalah dan menyerahkan semuanya sama Tante, tapi kalau Tante mencoba menghina Bunda saya nggak akan terima. Bunda lebih dari segalanya buat saya, Tnate nggak kenal bagaimana Bunda. Ini pernikah saya sama Mas Arhan, jadi tolong jangan terlalu ikut campur sampai seperti ini. Aku sama Mas Arhan yang akan menikah dan menjalani pernikahan ini, Mas Arhan juga bilang akan menyerahkan semua keputusan sama aku. Jadi Tante jangan terlalu ikut terlibat,” kata Zahra ketus dan marah.
“Arhan itu anak saya! Kamu nggak berhak bicara seperti itu, saya bisa batalin ini dan nggak merestui kalian,” ancam Lydia membuat Zahra tertawa.
“Ya sudah kalau mau dibatalkan juga gapapa, Tante bilang aja sama Mas Arhan. Harusnya Tante bersyukur aku mau nikah sama Mas Arhan. Setidaknya akan ada yang jaga Bella, belum tentu ada yang mau nikah sama Mas Arhan langsung seperti ini. Akan ada yang ngurus anak sama cucunya Tante, emang nggak mikir sampai sana?” tanya Zahra.
“Kamu pikir nggak akan ada yang mau sama anak saya? Banyak yang mau nikah sama anak saya bukan hanya kamu aja. Kenapa kamu jadi berani sama saya sekarang? Kenapa kamu nggak tunjukin sifat asli kamu di depan Arhan kenapa harus sekarang? Kenapa nggak dari kemarin kamu berontak seperti ini?” tanya Lydia marah.
“Saya udah bilang selama ini saya udah cukup menahan diri. Tante yang buat saya seperti ini karena sudah membangunkan singa tidur, saya nggak terima Bunda saya direndahkan. Aku akan telepon Mas Arhan sekarang untuk bilang batalin aja kalau kayak gini,” ancam Zahra sambil mengambil handphonenya di dalam tasnya namun Vania menahannya.
“Jangan, udah gapapa. Jangan emosi, ingat tujuan kamu nikah sama Arhan apa,” bujuk Vania.
“Tapi aku nggak terima dengan Bunda direndahkan seperti itu, aku diam waktu dihina tapi enggak untuk Bunda. Kalau Papa tahu ini Papa juga akan sangat marah dan batalin pernikahan ini, kami nggak akan terima Bunda diperlakukan seperti ini,” kata Zahra menahan tangisnya. Matanya sudah berkaca-kaca saat ini.
“Lakukan ini semua demi Bella, kamu harus nahan diri. Bunda gapapa kalau em—“
“Enggak Bunda. Kalau emang ini mau dilanjutkan Tante Lydia ga usah ikut campur, biarin aku yang urus semuanya. Termasuk pakaian yang akan dipakai sama Bella, karena Bella juga akan jadi anakku. Bukannya aku lebih berhak untuk Bella dibandingkan Tante? Lebih baik Tante urus keluarga Tante aja, terserah mau pakai baju yang gimana aja terserah aku nggak peduli. Buat apa pakai seragam kalau aslinya nggak kompak? Tante aja menghina saya sama Bunda sayakan?” tanya Zahra marah.
“Zahra udah, ini hanya tentang pakaian. Demi kebaikan bersama ngalah aja ya?” bujuk Vania.
“Justru karena masih hanya pakaian udah kayak gini gimana ke depannya?” tanya Zahra.
Vania memeluk Zahra, dipeluk oleh Vania seperti itu membuat pertahanan Zahra akhirnya runtuh. Zahra menangis dipelukan Vania dan dilihat Lydia beserta orang-orang yang membantu mereka. Arhan datang dan terkejut melihat Zahra yang menangis.
“Ada apa ini? Kenapa Zahra nangis?” tanya Arhan. Vania menggelengkan kepalanya pada Arhan sedangkan Lydia hanya diam saja. “Mbak yang lain boleh keluar sebentar?” pinta Arhan kepada pihak butik tersebut. Para karywan tersebut keluar meninggalkan mereka berempat. “Zahra, kamu kenapa nangis?” tanya Arhan lembut berusaha menarik Zahra agar menatapnya. Namun Zahra menolak dan tetap memeluk Vania. “Bunda, ada apa?” tanya Arhan namun Vania memilih diam karena tak mau memperkeruh suasana. Arhan menghela napasnya panjang lalu menatap Lydia. “Ada apa Ma? Aku tahu Mama pasti tahu apa yang terjadi, jadi tolong kasih tahu aku. Apa yang terjadi?” tanya Arhan pada Lidya. Namun wanita itu menghentakkan kakinya dan mengambil tasnya lalu pergi dari sana. Hal itu membuat Arhan mengusap wajahnya kasar.
“Gimana aku tahu kalau nggak ada yang kasih tahu apa yang terjadi?” tanya Arhan.
“Lebih baik pernikahannya dibatalkan aja Mas,” jawab Zahra akhirnya sambil melepaskan pelukannya dari Vania. Arhan cukup terkejut melihat Zahra yang menangis seperti itu tak pernah sebelumnya Arhan melihat seperti itu. Kecuali saat Meisya meninggal.
“Kenapa? Ada apa? Kamu kenapa ngomong kayak gitu?” tanya Arhan lembut. Vania mengambil tasnya dan menangkup wajah Zahra lalu mengusap air mata putrinya itu.
“Dibahasnya pelan-pelan, tenang, jangan emosi oke? Bunda tunggu kamu diluar, ayo kamu tenangin diri dulu. Jangan biarkan amarah yag menguasai kamu saat ini, Bunda tahu kamu bisa,” kata Zahra menasehati dengan lembut.
Vania mencium kening putrinya itu lama lalu setelah itu pergi. Arhan membawa Zahra untuk duduk di sofa yang tersedia. Zahra menangkup wajahnya dengan tangannya untuk menyembunyikan wajahnya dari Arhan.
Zahra kembali menangis membuat Arhan bingung ingin bersikap seperti apa. Arhan mendekat dan akhirnya memeluk Zahra dengan erat sambil mengusap punggung Zahra, hal itu membuat Zahra kembali menangis dengan keras. Arhan membiarkan Zahra menangis sampai wanita itu merasa lega.