4 - Lamaran

1602 Kata
Pemakaman Meisya baru saja selesai, semua orang terkejut dan menangis ketika tahu Meisya kini sudah tiada. Baik itu keluarga, saudara bahkan teman-teman sekolah dan kuliah Meisya pada datang. Bahkan keluarga Zahra juga datang, kedua orangtua Zahra juga sangat mengenal Meisya secara pribadi karena persahabatan keduanya. Zahra tak pernah berhenti menangis sejak Meisya pergi meninggalkannya. Vania, sang Bunda terus saja berdiri di sampingnya untuk menguatkan. Bella tak ikut serta karena terlalu kecil dan belum paham. Maka itu Bella tinggal bersama pengasuh. Keluarga besar Meisya dan Arhan juga hadir di sana. Mereka semua kehilangan Meisya. Mereka tahu bahwa Meisya memang sakit lupus, tapi mereka belum siap kehilangan Meisya. Setelah acara pemakaman selesai, Arhan meminta keluarganya kembali pulang ke rumah. Termasuk juga dengan Zahra, tanpa banyak bertanya Zahra mengikuti keinginan Arhan masih dengan ditemani oleh kedua orangtuanya. Sampai rumah Zahra langsung saja menemui Bella dan bermain dengan anak Meisya itu. Melihat Bella membuat Zahra kembali menangis karena harus mengingat sahabatnya itu. Vania datang dan memeluk anaknya yang masih saja menangis. Padahal mata Zahra sudah bengkak dan kantong matanya sudah terlihat. “Jangan nangis lagi, kasihan Bella nanti lihat kamu jadi ikutan nangis,” kata Vania sambil mengusap punggung putrinya itu. “Aku masih belum bisa terima ini semua Bunda,” kata Zahra masih dengan menangis. Bella menghampiri Zahra dengan merangkak lalu meminta digendong. Zahra langsung saja menghapus air matanya dan menggendong Bella. Berkali-kali Zahra mencium seluruh wajah Bella. “Bunda sayang sama Bella, pokoknya Bella nggak sendirian oke?” kata Zahra dan Bella menganggukkan kepalanya seakan paham. Arhan datang masuk ke dalam kamar tersebut. “Zahra, bisa ikut sebentar? Ada yang mau dibahas,” kata Arhan membuat Vania langsung saja melihat ke arah Zahra bingung. “Sebentar Mas,” kata Zahra dan memberikan Bella kepada pengasuhnya. Zahra menggenggam tangan Vania dan mengajak Bundanya itu ikut keluar. Vania duduk di samping suaminya Adrian yang berada di tengah-tengah keluarga. Keluarga Meisya dan Arhan sudah duduk di sana. Namun Arhan langsung saja menggenggam tangan Zahra erat membuat wanita itu terkejut. Seluruh keluarga terkejut begitu juga dengan kedua orangtua Zahra. Arhan membawa Zahra untuk duduk di sampingnya masih dengan menggenggam tangannya. Tangan Zahra dingin dan ia sedang gelisah saat ini. Apakah Arhan juga tahu dengan permintaan Meisya? Hal itu menjadi pertanyaan bagi Zahra saat ini. “Ada apa ini Arhan? Apa maksudnya kamu menggenggam tangan Zahra seperti itu?” tanya Mama Meisya yang bernama Hanna. “Maaf sudah menahan kalian semua di sini, tapi ada yang mau saya bahas di sini. Sebelum Meisya meninggal, Meisya meminta sesuatu pada saya. Bukan hanya kepada saya tapi juga kepada Zahra juga. Meisya mau kita menjaga Bella bersama, Meisya mau Bella diurus dan dirawat oleh Zahra. Meisya minta Zahra untuk menikah dengan saya, begitu juga Meisya meminta saya untuk menikahi Zahra dan menjadikan Zahra sebagai istri saya. Jadi saya mau bilang, kalau saya akan menikahi Zahra demi permintaan terakhir Meisya. Zahra juga sudah setuju dengan itu, jadi saya minta doa dan restu dari semuanya untuk rencana baik itu. Di sini ada kedua orangtua Zahra juga, di depan kedua orangtua Zahra saya meminta secara resmi Elzahra Winata sebagai istri saya,” kata Arhan tegas dan sopan. Semua orang yang mendengar tersebut terkesiap, begitu juga dengan kedua orangtua Zahra. “Meisya ngomong ini sama Mas Arhan?” tanya Zahra dengan berbisik. “Iya, kita bisa bahas nanti. Saat ini semua sedang berkumpul, jadi lebih baik di sampaikan sekarang,” balas Arhan. “Istri kamu baru saja dimakamkan, bahkan kuburannya juga belum kering dan sekarang kamu bilang mau menikahi wanita lain? Kamu gila Arhan?” teriak Hanna marah. “Mama nggak setuju, bagaimana bisa kamu menikah dengan Zahra yang notabene sahabat dari Meisya? Kami nggak percaya kalau Meisya minta itu sama kalian berdua. Jangan bertindak gegabah Arhan, Mama tahu kalau kamu memikirkan keadaan Bella. Mama tahu kalau Bella masih kecil, tapi tidak seperti ini caranya. Meisya baru saja meninggalkan kita semua,” kata Lydia Mama dari Arhan. “Apa Zahra menggodamu? Apa Zahra meminta itu pada Meisya dan sudah merencanakan ini sebelumnya? Apa diam-diam di belakang Meisya kalian punya hubungan? Kamu selingkuh sama Zahra selama ini? Zahra dan Meisya dekat, pasti kalian juga dekat. Kalian sudah menunggu waktu ini tibakan? Memakai alasan Meisya yang meminta, padahal kalian sudah merencanakannya,” tuduh Hanna. “Mami jangan bicara seperti itu tentang Zahra,” bela Arhan. “Zahra bukan wanita seperti itu, saya sama Zahra tidak punya hubungan apa-apa. Saya kenal Zahra karena memang Zahra bersahabat dengan Meisya. Selama ini saya mengenal baik Zahra, ini semua memang permintaan Meisya. Sebelum Meisya meninggal, Meisya memaksa kita untuk menerima hal itu. Kita tidak punya hal lain lagi selain menerima, ini semua demi Meisya dan Bella. Kami sudah menolak, tetapi Meisya tetap memaksa. Jadi tolong jangan halangi niat baik kami, persiapannya dalam sebulan ini. Mungkin keluarga Meisya dan keluarga saya masih terkejut dengan ini, tapi ini sudah keputusan saya. Ini juga permintaan Meisya, saya sangat mencintai Meisya dan saya menerima permintaan itu. Saya juga sangat menghormati keputusan Zahra, saya yakin Zahra juga tak menginginkan ini. Tapi di sini Zahra juga sebagai korban karena Meisya yang memintanya,” tegas Arhan. “Kami tak percaya,” jawab Hanna cepat. “Meisya tidak mungkin meminta sahabatnya menikah dengan suaminya sendiri. Tidak mungkin Meisya membiarkan hal itu, pasti ini semua sudah rencana kalian. Apa kamu sudah tidur dengan Arhan selama ini? Kamu pasti menggoda Arhan dan memanfaatkan keadaan Meisya yang sakit untuk mendekati Arhan iyakan?” tuduh Hanna. Tangan Adrian terkepal kuat ketika anaknya direndahkan seperti itu. Namun Vania masih mencoba menenangkan suaminya itu. “Mama sama Papa juga nggak setuju Arhan, ini keputusan yang salah. Kamu jawab jujur, kamu memang punya hubungan sama Zahra? Bukankah kamu sangat mencintai Meisya? Apa kamu dijebak sama wanita itu?” tanya Lydia lagi. Kini Zahra tak bisa menahan tangisnya, sudah kehilangan sahabat yang disayanginya kini ia harus direndahkan dan dituduh seperti ini. “Tante kenapa menuduh saya seperti itu? Padahal Tante kenal betul siapa saya, selama ini saya sama Meisya sudah bersahabat. Nggak mungkin saya sejahat itu, saya nggak mungkin mengkhianati Meisya. Saya sangat menyayangi Meisya, bahkan di detik kehidupan Meisya saya ada untuknya. Saya juga kehilangan Meisya, saya juga sudah mencoba menolak. Saya juga nggak mau ada di posisi ini, tetapi ini semua murni permintaan Meisya. Saya harus bagaimana?” tanya Zahra pada Hanna yang sudah lama mengenalnya. “Karena saya mengenal kamu Zahra makanya saya ragu sama kamu. Seharusnya kamu paham bagaimana Meisya sangat menyayangi Arhan, tapi kenapa kamu setuju dan tega padanya? Kamu bukan wanita yang baik, saya kecewa sama kamu Zahra,” ketus Hanna. “Saya dan Zahra akan menikah dalam waktu satu bulan lagi, lebih cepat lebih baik. Saya tak mau menunggu terlalu lama, saya dan Bella butuh Zahra,” tegas Arhan membuat semua orang terkesiap. “Mas, jangan,” protes Zahra pada Arhan karena menurutnya itu telalu cepat. “Kamu memang tidak mendengarkan apa kata saya, bagaimana bisa kamu mau langsung menikah setelah istrimu meninggal? Kamu tidak menganggap anak saya? Bella juga cucu saya! Kami tidak setuju dengan keputusan kamu itu, kamu memang wanita jahat yang menggoda suami dari sahabatmu sendiri,” teriak Hanna membuat Zahra semakin keras menangis. “Arhan jangan bertindak bodoh, jangan seperti ini. Jangan permalukan keluarga kita,” tegur Ldyia lagi. “Apa yang dia lakukan sampai kamu bertindak bodoh seperti ini? Ini bukan Arhan yang kami kenal, apa yang sudah kau lakukan dan katakan pada anakku?” tanya Lydia marah. “Berhenti menghina putriku, dari tadi aku sudah berusaha menahan diri. Namun kalian masih saja menghinanya, aku sangat mengenal bagaimana putriku. Aku tak akan membiarkan putriku menikah, aku menolak hal ini. Kalian bukan seperti orang yang berpendidikan menghina anak orang lain sesuka hati kalian. Sudah seperti apa hidup kalian sampai bisa menuduh orang lain seperti itu? Zahra, ayo pulang,” teriak Adrian. Pria itu menarik tangan Vania dan menarik tangan anaknya. Namun Arhan menahan Adrian agar tidak pergi. “Pak, jangan seperti ini. Saya ben—“ “Saya tidak akan membiarkan kamu menikahi anak saya. Putriku sudah direndahkan oleh keluargamu, tidak ada seorang Ayah yang tinggal diam anaknya diperlakukan seperti ini. Akan saya pastikan bahwa kamu tidak akan mengganggu anak saya lagi,” desis Adrian. Zahra masih saja menangis dan Adrian membawa putri serta istrinya pergi dari sana. “Berhentilah menangis! Jangan menangis karena omongan mereka, kamu bukan seperti perempuan yang mereka maksudkan?” teriak Adrian marah ketika mereka sudah dalam perjalanan pulang. “Mas, jangan berteriak seperti itu. Kita bisa bicarain ini baik-baik,” kata Vania berusaha menenangkan suaminya. Vania memilih duduk di belakang bersama putrinya yang masih menangis di dalam pelukannya. “Aku nggak bisa bicara baik-baik, kamu lihat sendiri bagaimana mereka merendahkan Zahra. Kamu bisa terima dengan itu? Sampai kapanpun Papa tidak akan merestui kamu menikah dengan suami Meisya itu,” tegas Adrian. “Tapi aku udah terlanjur janji sama Meisya Pa, aku harus menepati janji. Itukan yang Papa ajarin sama kami? Kasihan Bella Pa, dia butuh aku. Pa tolong jangan kayak gini, jangan dengarkan apa kata mereka. Mas Arhan setuju dengan itu, kami yang menjalaninya,” kata Zahra disela tangisannya. “Kamu tidak akan bisa menikah sama dia tanpa restu Papa. Pokoknya Papa tidak akan setuju, mau kamu udah janji atau apapun. Papa tidak akan terima, kamu harus terima keputusan Papa. Kamu juga tidak akan bisa menikah tanpa Papa. Kamu mau menjadi anak yang pembangkang? Kamu mau melawan Papa?” ancam Adrian membuat tangis Zahra semakin keras. “Mas udah, jangan emosi. Lebih baik kamu menyetir dengan hati-hati, kita akan bahas lagi di rumah,” kata Vania membuat Adrian marah dan memukul setir mobilnya. Sedangkan Zahra masih saja menangis dan Vania berusaha menenangkannya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN