8. Mawar yang Polos

1528 Kata
"Pak, apa yang Bapak lakukan?" tanyaku takut. "Slowly!" "Hah?" Aku mengerjapkan mata, tidak mengerti akan ucapan dan perlakuannya barusan. Dia kira aku lulusan Sarjana apa?! Sehingga membuatnya berbahasa Inggris seperti itu, memangnya aku mengerti?! Apa aku harus melakukan translate juga? Untuk mengetahui apa yang dia katakan barusan. "Cukup ikuti gerakanku." "Gerakan ap—hmppppp—" Belum lagi aku menyelesaikan ucapanku, Pak Anton sudah membungkam mulutku dengan bibirnya. Ya kami berciuman, tetapi ini salah. Apa yang dia lakukan ini adalah perbuatan yang tidak senonoh dan aku tidak menyukai itu. "Pak," ucapku di sela-sela ciuman ini. "Enghhh...." Aku merasa napasku telah habis, kupukul dengan keras d**a bidangnya itu. Huh, akhirnya berhasil juga menghentikannya. ??? Anton's POV Hari ini aku begitu kacau, sampai-sampai aku tidak bisa mengendalikan diriku sendiri. Sepulang dari kantor, aku menuju ke bar yang tidak terlalu jauh dari kantor dan rumahku. Aku melakukan itu hanya untuk menghilangkan semua beban yang ada di otakku ini. Namun, bukannya berkurang, beban ini malah semakin bertambah. Entahlah mengapa aku bisa ke tempat laknat ini. Aku tidak ingin berlama-lama di sini, karna aku takut tidak bisa mengendalikan diriku lebih jauh lagi. Setelah beberapa menit, aku melirik ke arah jam tanganku. 21:40 WIB Aku harus pulang sekarang, aku tidak ingin Keysha mengetahui jika Papa yang dia banggakan tidak pulang ke rumah malam ini. Huh... kapan penderitaan ini akan berakhir? Aku sudah sangat lelah menghadapi semua ini. Cukup sampai di sini saja aku dibodohi oleh wanita itu, sekarang tidak lagi. Anton yang begitu mencintainya dahulu, tidaklah seperti Anton sekarang yang begitu menyedihkan ketika istrinya sendiri pun tidak pernah menghargainya lagi. Terlebih lagi aku sudah tidak pernah mendapatkan hak-hakku sebagai suaminya. "CUKUP! AKU SUDAH LELAH, ISMA! SUDAH SANGAT LELAH! AKU MUAK MELIHAT SEMUA TINGKAHMU, ISMA!" batinku berteriak marah. Aku mengendarai mobil untuk pulang ke rumah dengan sempoyongan. Aku sudah tidak lagi memperhatikan bagaimana kacaunya kondisiku saat ini. Bahkan keselamatanku sendiri pun tidak kuperhatikan lagi. Aku melajukan mobil ini dengan kecepatan sedang. "Sial sekali hidupmu, Anton. Kamu memiliki istri yang tergolong idaman para lelaki. Namun, dia sama sekali tidak pernah melihatmu, melihat semua kebaikan hatimu, atas apa yang kamu berikan selama ini padanya." "Cintamu tidak pernah dihargainya, Anton, pengorbananmu pun sama. Kehadiranmu di rumah itu hanya sebagai penghias statusnya. Buka matamu, banyak wanita di luar sana yang melebihinya! BUKA MATAMU, ANTON!" teriakku dalam mobil. Semua kata-kata frustasi terngiang-ngiang di kepalaku, bahkan aku sampai bergumam sendiri. Untunglah mobil ini kedap suara, jika sewaktu-waktu aku berteriak pun tidak akan didengar oleh orang lain. "Untuk apa lagi aku bertahan dengan rumah tangga hambar ini. Toh, dia juga tidak menghargaiku lagi." "Setiap saat aku diurus dan dilayani oleh pembantu. Hingga pakaianku saja Mawar yang mengurusnya. Apakah aku sebegitu tidak berharganya di matamu, Isma? Sampai kamu pun tidak peduli padaku." "Aku tidak pernah menuntut banyak darimu, Isma. Aku juga tidak pernah mengatur dan melarangmu, tetapi mengapa kamu membalasku dengan semua ini? Kenapa, Isma?" "Hanya Mawar dan hanya dialah yang selalu ada untukku. Dia hanya seorang pembantu di rumahku, tetapi mengapa hanya dia yang dapat membuatku merasa dihargai di rumah ini? Aaahhhh...," teriakku kesal sambil menjambak rambut dengan kuat. * * * Aku sudah sampai di rumah. Dengan sempoyongan, aku mencoba untuk masuk ke dalam. Niatku ingin ke kamar untuk segera tidur. Namun, sesampainya di tangga, aku mengurungkan niat karna melihat pintu kamar Mawar yang tertutup. "Mungkin jika aku bersamanya, kekacauan di hatiku akan hilang." Tok tok tok Kucoba untuk mengetuk pintu kamarnya, tetapi tidak ada jawaban dari dalam, atau pun hanya untuk membuka pintu. "Apa mungkin dia sudah tidur? Tetapi ini masih jam sembilan. Mungkin dia tidak mendengarnya. Kucoba lagi saja." Tok tok tok Kuketuk pelan pintu kamarnya untuk yang kedua kalinya. Namun, tetap saja sama, tidak ada respon apa pun. Mungkin jika sekali lagi kuketuk dia akan membukanya. Tok tok tok Untuk yang ketiga kalinya tetap sama. Mawar tidak membuka pintunya. "Mungkin dia sudah tidur. Lebih baik aku tidur di ruang kerjaku saja." Aku melangkah ingin ke ruang kerja, tetapi aku berpikir dalam hati. "Ah, kucoba sekali lagi saja. Ini yang terakhir, mungkin dia akan membukanya." "Hufftt...." Aku menarik napas pelan. Tok tok tok Satu menit Dua menit Ceklek Dia membuka pintu kamarnya dengan sangat pelan. Kepalanya menoleh ke depan untuk mengetahui siapa yang mengetuk pintunya. Namun, dia tidak menemukan siapa pun. Karna saat ini aku tengah duduk di tangga samping kamarnya. Mana mungkin dia melihatku, itu kalau dia tidak menoleh ke samping sini, kalau menoleh, dia pasti akan tahu keberadaanku. "Huh, syukurlah ternyata hantunya sudah pergi!" ucapnya dengan pelan, tetapi masih bisa kudengar. Setelah itu ia berbalik untuk menutup pintu, aku pun segera bangkit dan menghampirinya. "Hantu apa?" tanyaku tiba-tiba. "Hah?" Dia terkejut. Karna penasaran, dia berbalik untuk mengetahui siapa yang berbicara, setelah itu baru dia bernapas lega. Apa benar dia menganggap kalau hantu yang mengetuk pintu kamarnya sedari tadi? "Kamu bilang tadi, hantunya sudah pergi. Hantu apa?" tanyaku bingung. Apa mungkin juga di rumahku ini ada hantu yang berkeliaran setiap malam? Jika begitu, mengapa Mawar atau Keysha tidak pernah memberi tahuku? Dan aku sendiri pun tidak pernah tahu sama sekali akan ini. "Hantu... Bapak kok bisa di sini?" tanyanya heran. Wajar dia penasaran. Untuk apa juga seorang majikan mengetuk pintu kamar pembantunya, itu juga kalau tidak ada maksud lain. Aku tidak ingin menjawab pertanyaannya. Makanya aku langsung masuk ke kamarnya tanpa permisi. Mungkin dia sangat heran atas apa yang aku lakukan ini, tetapi hanya inilah yang dapat membuatku terkendali. Masih dengan berjalan sempoyongan, aku mencari di mana letak ranjangnya, padahal kamar ini tidak terlalu besar—sebesar kamarku misalnya, tetapi karna pandanganku yang mengabur, aku jadi tidak leluasa untuk melihat sesuatu di depanku. "Bapak sedang mencari sesuatu?" tanyanya heran. "Ya!" singkatku. "Apa yang Bapak cari?" tanyanya lagi. "Ranjang!" "Hah?" Aku pikir ia akan terkejut, tetapi malah sebaliknya. Ia malah menampilkan ekspresi wajah seperti orang bodoh yang tidak tahu apa-apa. Sepertinya dia–apa mungkin dia masih polos? "Saya cari ranjang!" Karena sepertinya ia tidak mengerti, aku kembali mengulang ucapanku dengan nada yang tegas. Dia mengerjapkan matanya sesaat. Tidak mengerti apa yang kumaksud, dia berniat untuk bertanya lagi, itu terlihat dari gerakan bibirnya yang mulai terbuka. Sebelum dia membuka suara, aku sudah berjalan ke arah pintu untuk menutup dan menguncinya. Setelah itu aku langsung mendorong Mawar ke dinding dan menghimpitnya dengan kuat. Semua itu kulakukan agar ia tidak bisa lepas dari jangkauanku saat ini. Aku ingin bersama Mawar malam ini, hanya untuk malam ini saja. Aku ingin semua beban hilang dalam satu malam ini. "Pak, apa yang Bapak lakukan?" tanyanya dengan takut. Jelas saja, wanita mana pun akan takut jika begini. "Aku seperti penjahat kelamin!" "Slowly!" "Hah?" "Cukup ikuti gerakanku." "Gerakan ap—hmppppp—" Belum selesai dia berbicara, aku sudah membungkam mulutnya dengan bibirku. Ya, kami berciuman, dan tidak ada reaksi apa pun pun darinya. "Apa mungkin ini adalah first kiss-nya?" batinku heran. Dan aku percaya itu, karna saat ciuman ini berlangsung, Mawar sama sekali tidak membalas ciumanku. Dia diam seakan tidak mengerti caranya berciuman. Aku semakin yakin jika dia memang benar-benar tidak paham bagaimana berciuman. Uh, sungguh polos sekali dirimu, Mawar. "Pak," ucapnya di sela-sela ciuman ini, tetapi aku tetap tidak memedulikannya. "Engghh." Aku merasa napasnya telah habis, itu jelas terasa saat ia terus memukul dengan sangat keras pada d**a bidangku. Perlahan kulepas tautan bibir kami, kulihat dia sedang mengatur napasnya. Aku berjalan ke arah ranjang dan duduk santai di sana. "Pak, apa yang Bapak lakukan?!" tanyanya dengan nada marah, tetapi aku tidak peduli akan amarahnya itu. Katakanlah aku egois, aku tidak peduli, sama sekali tidak. "Kamu tahu, Mawar? Aku sudah terlalu lelah dengan hidupku yang kacau ini. Istriku sendiri tidak pernah menghargaiku," ucapku lirih, begini saja sudah membuatku ingin menangis. Aku sudah seperti anak kecil yang tidak diberikan permen oleh orangtuanya jika seperti ini. "Pak, Bu Isma hanya butuh waktu. Mungkin dia akan berubah kalau Bapak sedikit lebih bersabar." "Ia menasehatiku? Cih, memangnya dia buta melihat sikap Isma selama ini padaku?" "Sabar? Hahaha, aku kurang sabar apalagi? Sudah semua yang dia ingin aku berikan! Tapi apa?! Tidak ada gunanya!" ucapku kesal. Kulihat dia termenung sebentar, kedua tangannya masih kucekal agar ia tidak bisa memberontak sedikit pun. Aku menghembuskan napas gusar, mungkin ini saatnya. "Mawar," panggilku pelan. "Eh iya, Pak?" Ia tersadar dari lamunannya akibat panggilanku, tolong Mawar jangan seperti anak remaja yang terlalu polos. "Bolehkah saya memintamu untuk membantu saya menghapuskan kekacauan ini?" "Maksud Bapak, apa?" "Kamu terlalu polos, sayang!" "Berikan semua yang tidak diberi oleh Isma. Termasuk hak saya." "Engghhh... Bapak lagi mabuk, tolong Bapak keluar sekarang! Saya harus bangun pagi-pagi besok," ucapnya untuk mengusirku, tetapi aku pantang pergi sebelum mendapatkan apa yang aku inginkan. Lagi pula ini rumahku, siapa yang berani mengusirku?! "Please... aku sudah tidak tahu lagi harus melakukan apa untuk menghilangkannya. Tolong aku, Mawar." "Tapi, Pak—hmmpptttt...." Aku membungkam mulutnya dengan bibirku lagi, tetapi kali ini ciuman kami lebih memabukkan dan semakin panas. Gairah dalam diriku menggebu-gebu untuk segera tersalurkan. Aku sudah terbakar oleh hasratku sendiri. Mawar, tolong aku, hanya kamu yang bisa melakukannya. Hanya kamu yang menghargaiku di rumah ini. Rasanya sangat bahagia sekali jika kamu pun bersedia membantu diriku yang sudah terlalu tidak terkontrol. Aku ingin kamu membantuku, Mawar. Hapuskan deritaku selama ini. Tolong aku, Mawar.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN