5. Konflik

1588 Kata
"Isma mana?" tanyaku membuka pembicaraan. Dari tadi aku tidak melihat dirinya, entahlah dia ke mana lagi, terlalu banyak kesibukan yang dibuat untuk dirinya sendiri. Padahal dia bisa berdiam diri di rumah untuk menghabiskan waktunya dengan Keysha atau pun aku, tetapi dia tidak melakukan itu, dia malah memilih pergi keluyuran di luar sana tanpa memikirkan anak dan suaminya. Ketika pulang dia selalu membawa banyak paper bag, dan kalian tahu apa isinya? Ya, semua itu berisi pakaian dan tas branded terbarunya. Kalau kalian bingung dari mana dia mendapatkan uang untuk membeli semua itu, jawabannya adalah karena ada aku yang menjadi mesin ATM-nya. Mungkin kalau istri lain akan sangat bersyukur sekali memiliki suami sepertiku. Aku tidak pernah menyuruhnya apa pun, aku juga membiarkannya melakukan apa yang dia suka, dengan semua uangku pula, tetapi dia malah membalasku dengan seperti ini. Entah bagaimana aku bisa mencintai wanita seperti Isma, dan kenapa pula aku selalu menurutinya. "Bu Isma belum pulang, Pak," jawabnya takut-takut, aku menggeram pelan. Aku sudah menduga jika dia tidak di rumah lagi, entah apa yang dia urus di luar sana. Dia hanya tahu menghamburkan uangku saja, membeli barang yang sama sekali tidak dia butuhkan. Dia hanya berniat pamer kepada semua teman sosialitanya itu. Pergi pagi dan pulang larut malam, sebegitu banyaknya waktu terbuang, dia hanya gunakan untuk berbelanja. Kalau dipikir-pikir, dia tidak perlu keluar rumah hingga pulang larut hanya demi berbelanja barang-barang kesukaannya itu. Dia bisa memesan dari rumah lewat media sosial, sehingga waktu yang tidak terpakai bisa dia luangkan untuk kami. Dasar Isma memang seperti itu, suka nongkrong, belanja sesukanya, atau juga dia suka meneraktir teman-temannya. Aku tidak mengerti dengan wanita sepertinya, terlalu memusingkan. "Ke mana memangnya dia?" tanyaku geram, Mawar yang mendengar itu langsung menampilkan wajah ketakutan. Aku tahu dia sangat takut dengan amarah seseorang, terlebih lagi itu adalah aku yang selama ini tidak pernah berbicara keras pada siapa pun. "Saya tidak tahu, Pak. Bu Isma tidak ada bilang apa-apa," jawabnya dengan suara pelan, tetapi masih bisa kudengar. Aku langsung panas seketika saat mendengarkan penuturan Mawar. Bisa tidak, sih, Isma memberitahu ke mana dia pergi?! Kalau begini semua orang sulit untuk mencarinya. Kalau terjadi sesuatu padanya, siapa yang tahu?! "Sialan! Istri seperti apa kamu, Isma?!" batinku kesal. Dia memang seperti itu, pergi begitu saja tanpa meninggalkan pesan apa pun. Dia sama sekali tidak memikirkan aku dan Keysha. Dia berlaku seenaknya saja, seperti dia bisa hidup sendiri saja. Aku mendorong kursi ke belakang dan langsung meninggalkan meja makan menuju ruang kerja, selera makanku sudah tidak ada lagi karena Isma. Aku sudah kelelahan bekerja seharian di kantor, ditambah lagi masalah seperti ini setiap harinya. Lalu di mana lagi aku bisa beristirahat? Kalau di rumahku sendiri pun aku tidak bisa relaks untuk sejenak saja. Saat aku baru—masih di depan pintu ruang kerja, aku mendengar suara knop pintu depan terbuka. Ceklek "Masih ingat pulang?" tanyaku pada seseorang yang baru masuk melalui pintu utama rumahku ini. Dengan pakaian yang masih rapi dan bersih, muka lelah seharian mengunjungi mal, dan juga semua paper bag yang ada di genggamannya. Aku tahu dia menghabiskan semua uang yang kuberi hanya untuk kesenangannya semata. Selama ini aku diam, bukan karena aku tidak berani untuk menegurnya, hanya saja aku terlalu lelah untuk melawan semua bantahan yang dia katakan nantinya. Aku hanya membuang waktuku dengan mengurusi dirinya yang sama sekali tidak mengurusku sedikit pun. "Aku capek!" jawabnya singkat, lalu dia hendak beranjak menuju tangga. "Capek? Dari mana aja kamu?" tanyaku dengan kesal. Bisa-bisanya dia berkata capek, entah apa yang ia lakukan hingga bisa berkata seperti itu. Kerjanya hanya menghabiskan uangku saja, mana mungkin kelelahan, yang ada dia malah senang. "Sudahlah. Aku nggak mau bertengkar sama kamu!" ucapnya sambil berlalu ke atas. Ia sudah tidak memiliki sopan santun lagi rupanya, baiklah jika memang itu yang ia mau, aku tidak akan berkata apa pun lagi tentang dirinya. Dia memang berbicara seenaknya saja sekarang! Sudah kukatakan di awal jika Isma tak lagi menghormatiku sebagai suaminya. Entah di mana letak salah dan dosaku padanya. Yang penting sekarang ini, ia tidak memperlakukan aku dengan baik! Huh, aku sangat kesal jika terus membicarakan semua perlakuannya padaku. Malam ini aku akan tidur di ruang kerja saja, ini lebih nyaman daripada harus satu ranjang dengan istri yang selalu membuatku kesal. Harusnya dia sadar akan semua tingkah lakunya yang membuat anak dan suaminya sedih. Dia sudah sangat dewasa, tetapi mengapa kedewasaan itu tidak berlaku di pikirannya?! Sungguh menderita sekali hidupmu, Anton. Betapa menyedihkannya dirimu diperlakukan seperti ini oleh istrimu sendiri. Harusnya kamu memiliki hidup yang baik, rumah tangga yang harmonis, dan hubungan yang indah. Ah, tetapi kenyataannya malah semua hal-hal baik itu tidak berpihak padaku. ??? Mawar's POV Setelah pekerjaanku di dapur selesai, aku membawa Keysha ke kamar dan segera menidurkannya. Sebelum itu, aku menggantikan pakaiannya dengan piama, sehingga ia bisa tidur dengan nyenyak nantinya. Setelah ia tertidur, barulah aku akan beranjak untuk ke kamarku. Hari ini sungguh melelahkan sekali, entahlah kapan semua ini akan berakhir. Huffttt.... Hoaammm.... Belum lagi aku turun ke bawah, aku sudah menguap saja karena mengantuk, mungkin malam ini aku tidur dengan Keysha saja. Mataku pun sudah benar-benar ingin menutup, saking tidak bisa lagi untuk menahan rasa kantuk ini. Tidak mungkin jika aku turun ke bawah untuk ke kamarku, bisa-bisa aku terjatuh dan terguling-guling. Pasti rasanya sangat menyakitkan, kalau begitu aku tidur saja sekarang bersama Keysha. * * * Kringgg kringgg Bunyi jam weker Keysha membuatku terbangun dari tidur nyenyakku semalam. Kuraih jam weker kecil berwarna pink itu untuk mematikannya. Tak sengaja aku melihat jam yang berputar itu, aku langsung terkejut melihat arah jarum pendeknya. 07:30 WIB "Ya ampun, aku terlambat bangun!" batinku menggerutu, aku sangat kalut sekarang. Aku segera berlari ke bawah menuju dapur, tanpa berpikir ingin membersihkan diri terlebih dahulu. Tetapi setelah aku sampai di dapur, kulihat Bu Isma dan Pak Anton sudah duduk tegak di kursi—meja makan. Ah, aku akan dimarahi lagi karena ini. Sudahlah, Mawar, kamu memang bodoh sekali. Sudah tahu majikanmu seperti singa, kamu malah memancingnya keluar dari kandang. Tamatlah riwayatku saat ini, Bu Isma pasti marah besar karena kelalaianku. Bisa-bisanya aku terlambat bangun, padahal aku sudah terbiasa melakukan semuanya. Ah, mungkin karena sangat kelelahan, makanya aku tidur terlalu nyenyak sekali tadi malam. Sekarang aku harus mempersiapkan hatiku untuk dibentak oleh Bu Isma lagi, seperti yang biasa ia lakukan padaku, atau kali ini lebih. "Sudah bangun, NYONYA?!" tanya Bu Isma dengan menekankan kata nyonya. Sudah kuduga, ia memang sangat cocok untuk menjadi pemain sinetron dengan memerankan watak antagonis. Huh, sekali saja pun tidak bisa ia memperlakukan pembantu dengan baik. Aku tahu kali ini aku yang salah, tetapi yang kemarin-kemarin?! Ia selalu seperti itu, tidak menghargai orang lain yang ia rasa tak sepadan dengannya. Perkara ia seorang majikan dan aku pembantu, ia selalu menyalahkanku untuk semuanya. Meski semua itu berasal dari kesalahan dirinya sendiri. Ia selalu memandang orang miskin sepertiku dengan sangat rendah, mungkin tidak ada harganya di mata dirinya. Aku paham itu, ia orang yang sangat kaya raya, ia bisa berlaku seenaknya saja padaku, tetapi yang aku herankan, ia sama sekali tidak pernah melakukan hal baik apa pun. Bukan hanya untukku pun, ia bisa melakukannya untuk Keysha atau Pak Anton, tetapi ia tidak begitu, ia memang berbeda dengan yang lain. Para artis saja sangat menghargai asisten-asisten mereka, mengapa Bu Isma tidak?! Asisten juga sama sepertiku, sama-sama bertugas untuk membantu, tetapi mereka diperlakukan baik dan adil dalam bertugas, tidak seperti diriku pastinya. Aku selalu mendapat amarah Bu Isma setiap hari, belum lagi nada bentakannya itu. Uh, kalau boleh memilih, aku ingin mengundurkan diri saja sejak lama, tetapi semua itu tidak kulakukan, selain karena uang, aku juga kasihan kepada Keysha. Aku juga tidak ingin berpisah dengannya, karena kami sudah terlalu nyaman berteman. "Uhm... maaf, Bu, saya terlambat bangun," ucapku meminta maaf dengan menundukkan kepala, di sini jelas aku yang salah. Lagi pula aku tidak berani melihat wajahnya, ia akan semakin memarahiku jika aku benar-benar akan melakukan itu. "Enak, ya! Yang pembantu siapa yang majikan siapa! Udah bosan kerja di sini?!" tanyanya garang. Kalau dipikir-pikir, pertanyaan yang ia lontarkan itu cukup konyol. Jika aku sudah bosan kerja di sini, ya aku sudah mengundurkan diri dari kemarin-kemarin. Aneh sekali, untuk apa aku tetap di sini jika aku sudah merasa tidak nyaman lagi?! Tetapi tidak, aku tetap bertahan hingga saat ini karena aku sudah sangat-sangat nyaman akan rumah ini, terlebih lagi dengan Keysha. Aku terlalu menyayangi anakmu, Bu Isma. "Tidak, Bu, kemarin saya tidur terlalu larut malam, jadi nyenyak sekali tidurnya. Maaf sekali lagi, Bu!" ucapku lagi untuk meminta maaf. "Selalu minta maaf, tetapi diulangi lagi! Kamu mikir dong, kita mau makan apa?!" "Iya, Bu, saya buat dulu sarapannya." Aku ingin bergegas untuk menyiapkan sarapan pagi ini, tetapi kembali terhenti karena ucapan Bu Isma. Aku yakin, dia pasti ingin membatalkan pekerjaanku kali ini, sama seperti waktu itu. "Tidak perlu. Saya makan di luar saja!" tegasnya seraya beranjak dari kursi—meja makan, sementara Pak Anton hanya melihat kepergian Bu Isma dengan wajah yang sangat datar sekali. "Ada apa dengan mereka?" batinku bertanya heran. Ah, tetapi itu juga bukan urusanku. Ini rumah tangga mereka, untuk apa aku ikut campur di dalamnya. Mereka berdua selalu punya masalah, entah kapan masalah itu muak dengan mereka dan akhirnya pergi. Kasihan, sih. Sebenarnya mereka bisa berbaikan jika mau, dengan begitu mereka hidup dengan tenteram bersama Keysha. Keysha juga bakalan senang sekali, ia akan sangat bahagia jika itu sampai terjadi. Aku berdoa saja, semoga mereka segera berbaikan. Aku juga ingin melihat kebahagian Keysha terpancar di kedua mata indahnya itu. Bukan lagi kesedihan dan rasa terluka.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN