Terhitung sudah satu bulan Keyra menjadi karyawan baru. Selama satu bulan itu juga Keyra bekerja dengan baik. Sebisa mungkin dia menghindari kesalahan, selalu patuh dengan perintah, ya walaupun terkadang ada kelakuan Bian yang membuatnya risih.
Jika biasanya jam tujuh Keyra sudah di kantor, hari ini tidak. Sudah tiga hari kondisi Airin menurun bahkan sempat di rawat inap. Itu semua terjadi karena Airin mulai lalai melakukan cuci darah. Karena kejadian ini Keyra tidak henti-hentinya menyalahkan diri sendiri. Bagaimana tidak menyalahkan diri sendiri karena semenjak bekerja dia tidak lagi mengantar ibunya ke rumah sakit. Setiap minggu Keyra memberi uang untuk biaya rumah sakit, tapi ternyata uang itu Airin tabung untuk biaya kuliah.
"Udah jam tujuh lewat, kamu ngga ke kantor, Key?"
"Aku akan ke kantor setelah antar Ibu ke rumah sakit. Wajah Ibu pucat banget, aku takut buat ninggalin Ibu sendirian di rumah, takut kayak kemarin. Bu, asupan minumnya dijaga. Aku tau, aku paham kalau Ibu haus, tapi Ibu harus ingat pesan dokter. Emang Ibu senang tubuhnya drop begini?"
Kata demi kata yang Keyra lontarkan hanya dibalas senyuman oleh Airin. Dia sangat tahu kalau beberapa hari ini anaknya sangat khawatir. Tapi mau bagaimana lagi, semua sudah terjadi. Tangan Airin terulur, meraih tangan Keyra lalu menciumnya.
"Sebetulnya ada yang mau Ibu tanyakan ke kamu, Key."
"Apa, Bu?"
"Kamu dapat uang buat Ibu cuci darah tiap minggu itu dari mana? Sedangkan kamu baru mulai kerja sebulan, baru gajian pertama. Jadi, uang dari mana?" Airin menatap lekat wajah putrinya yang terdiam.
Ketakutan Keyra selama ini pada akhirnya terjadi juga. Pertanyaan Airin memang sangat simple, namun sangat sulit untuk Keyra jawab. Karena sangat tidak mungkin dia menceritakan dari mana sumber uangnya. Dalam diamnya Keyra memutar otak mencari jawaban yang sekiranya masuk akal.
"Keyra? Apa ada sesuatu yang kamu sembunyiin dari Ibu?"
Keyra menggelengkan kepalanya seraya menjawab, "engga, Bu, ngga ada. Uang itu ... itu tabungan aku selama kerja sebelum ini. Setelah cuti aku kan kerja, Bu, bahkan ambil part time. Jadi itu hasil tabungan aku selama ini."
"Kamu yakin? Gaji di kafe memangnya berapa? Sedangkan dalam satu minggu Ibu harus cuci darah tiga kali. Tiga dikali satu juta, lalu dalam sebulan?"
"Ibu ngga percaya sama aku, ya?"
"Ibu hanya bertanya, Keyra. Karna Ibu ngga mau kamu salah melangkah."
Tidak ada jawaban dari Keyra. Wanita itu diam seribu bahasa. Keyra tidak menyangka kalau Ibunya berfikir sangat detail. Dan semua asumsi Airin tidaklah salah. Dalam sebulan Keyra bisa mengeluarkan uang berjuta-juta. Padahal pekerjaannya selama ini hanya waiters di kafe dan restoran. Perlahan Keyra menghembuskan napasnya. Tenggorokannya seakan tercekak, apa Airin mulai menaruh curiga?
"Bu, doain kerjaanku yang ini lancar ya? Aku juga coba cari kerjaan tambahan supaya tabungan untuk transplantasi kekumpul. Aku mau Ibu segera transplantasi supaya ngga terus-terusan cuci darah. Kal–"
"Prioritasin kuliah kamu, Keyra," potong Airin. "Sekarang lebih baik kamu berangkat kerja sebelum semakin kesiangan. Ibu baik-baik aja, kalau ada masalah Ibu akan telepon kamu," sambungnya sambil mengusap lengan Keyra.
Walaupun sudah terpoles make up, Airin masih bisa melihat raut lelah di wajah Keyra. Hampir satu tahun ini anaknya bekerja dengan sangat keras. Saking kerasnya sampai mengesampingkan kesehatan dirinya sendiri.
***
"Jam berapa ini?"
Suara berat itu membuat kepala Keyra merunduk. Hatinya sangat ketar-ketir karena dirinya baru saja sampai di kantor. Saking baru sampainya dia belum sempat masuk lift karena sudah lebih dulu papasan dengan sang atasan. Beberapa karyawan berlalu-lalang, mereka tidak ada yang berani menengahi mengingat bagaimana sikap seorang Bian.
"Jawab! Jam berapa ini?!"
"M–maaf, Pak, maaf. Sa–"
"Jam berapa!"
"Jam sepuluh." Runtuh sudah nyali Keyra. Bentakan demi bentakan yang tertuju kepada dirinya membuat tubuh Keyra bergetar.
Bentakan yang Bian layangkan membuat beberapa karyawan menatap takut. Diantara beberapa karyawan itu ada Chatrine, Ana, dan Zeffana. Ketiganya kompak diam tanpa bisa membantu. Sebetulnya mereka ingin membantu, tetapi tidak berani.
"Dan kamu baru datang? Karna telatnya kamu, jadwal saya jadi berantakan semua! Niat kerja apa tidak? Ini bukan kali pertama, kemarin-kemarin masih saya pantau. Tapi hari ini sudah kelewatan. Ikut saya ke ruangan." Setelah mengatakan itu Bian pergi, masuk ke dalam lift yang sedang terbuka.
Setelah memastikan Bian pergi ketiga serangkai itu berlari menghampiri Keyra. Tangan Chatrine terulur, mengusap punggung Keyra. Hal serupa juga Anna dan Zeffana lakukan. Ketiganya sangat paham apa yang Keyra rasakan saat ini.
"Key? Are you okay?" tanya Chatrine khawatir.
Keyra masih terdiam. Nyawanya seakan melompat ke udara karena bentakkan Bian. Padahal dirinya datang terlambat bukan tanpa alasan, tetapi bosnya itu tidak memberi kesempatan untuk bicara.
"Keyra?" tegur Zeffana.
"Ah, iya, aku gapapa, aman," jawab Keyra. Bibir wanita itu tersenyum tipis.
Jawaban klasik. Chatrine kembali mengusap punggung Keyra. "Key, pasti kamu kaget banget ya ditegur tiba-tiba plus di depan umum begini? Kamu ngga ada niat mau resign, 'kan?"
Mendengar itu Keyra terkekeh kecil. Andai kata tidak terhimpit ekonomi yang mendesak, detik ini juga mungkin dia sudah kabur dari kantor. Keyra menggelengkan kepala membuat Chatrine bernapas lega.
"Ini kesalahan aku, Rin, wajar kalau pak Bian marah. Apalagi aku telatnya kelewatan. Yaudah kalau gitu aku duluan ya? Tadi pak Bian nyuruh aku buat ke ruangannya."
Ketiganya tidak menahan, mereka membiarkan Keyra pergi masuk ke dalam lift. Karena kalau mereka menahan bisa-bisa Keyra terkena amukan lagi.
Di dalam lift tubuh Keyra bersandar. Bukan lagi takut kena marah, melainkan dia memikirkan ibunya di rumah. Berkali-kali Keyra sudah membujuk untuk ke rumah sakit, tetapi wanita itu tetap tidak mau. Untuk sesaat Keyra memejamkan mata sampai lift membawa dirinya ke lantai tujuan.
Ting!
Keyra bergegas ke luar. Sebelum ke ruangan miliknya dia langsung menuju ruangan Bian. Tiga kali Keyra mengetuk pintu, lalu dia masuk ke dalam. Di dalam ruangan bosnya sudah menggu sambil berdiri. Habis sudah riwayat Keyra hari ini.
"Kunci pintunya."
"Kunci? Tapi ... kenapa har–"
"Saya bilang kunci ya kunci, Keyra Aleena Jasmine!"
Tanpa banyak tanya lagi Keyra menuruti perintah Bian. Kini di dalam ruangan hanya ada mereka berdua dengan situasi sedikit tegang. Bian berjalan maju mendekati Keyra. Tanpa aba-aba pria itu menarik pergelangan tangan Keyra, mendorong tubuh mungil itu ke dinding. Keyra tersentak kaget, sebisa mungkin dia menjaga jaraknya dengan Bian.
"Hari ini kamu harus dapat hukuman."
***