Steve mendatangi Jeremy di kantin kampus, mereka baru saja selesai kelas. "Eh ngomong-ngomong siapa yang kemarin lo bicarain sama Naomi?" Tanpa basa-basi, Jeremy langsung membuka suara. Padahal Steve baru saja datang, belum menyeruput minumannya.
"Yang gue omongin sama Naomi banyak, yang jelas kalau nanya."
"Itu yang cantik, partner sewaan lo."
Steve tersedak, refleks meninju lengan Jeremy. "Dia bukan pelacuŕ, Bangkee! Nggak usah macam-macam lo, dia gadis polos banget. Kesian kalau lo tiduri cuman buat kelinci percobaań. Sama wanita di club aja sana, lo kan udah terbiasa bekasan orang!"
Jeremy berusaha membekap mulut Steve yang sangat kurang ajar, hampir saja mereka baku hantam. Sampai anak lain menatap bingung ke arah meja mereka. "Lo kalau ngomong jangan terlalu kenceng, anak ayam! Kalau yang baik-baik nggak pa-pa, ini semua kejelekan gue diumbar-umbar. Bikin malu, ke mana gue naruh muka?" Menyuap roti bakarnya hingga memenuhi mulut, kesal sekali Jeremy dengan sikap Steve. Kalau saja bukan kawannya, sudah dia ajak naik ke atas ring tinju. Tapi sudahlah, Jeremy terlalu biasa dengan sikap Steve. Orantua Steve sangat baik, entah anaknya kenapa jadi tersesat begini. Dipertanyakan dia sedang menganut ilmu apa.
Steve menaikkan bahu, tidak merasa bersalah sama sekali. Steve tidak peduli, bahkan rata-rata anak kampus juga tahu bagaimana brengseknyaa Jeremy. Dia bahkan setiap tahun hampir tidak pernah absen mengencani dua sampai tiga orang mahasiswi baru. Tebar pesona, pamer kekayaan, siapa yang tidak takluk? Hanya saja, hati-hati. Jeremy bisa memberikan yang cewek itu mau--tidak peduli berapa nominalnya, tapi harus ada imbalan setimpal. Sesudah dapat yang Jeremy incar, cewek itu akan ditinggalkan begitu saja. Kalau tidak kuat hati dan mental, bisa gilaa anak orang.
"Nggak usah jaim, semua orang sudah tau. Untung muka dan duit lo menolong, bisalah ya terampuni." Steve menghela napas jengah. Kalau saja tidak berteman sejak jaman sekolah menengah pertama, sudah Steve lempar sahabatnya itu ke lautan lepas. Begitu berbahaya, ganas dan membinasakan daripada buaya muara.
"Gue serius, siapa dia?"
"Buat apa lo cari tau? Sudah gue bilang, dia bukan pelacuŕ!"
"Yang bilang dia pelacuŕ siapa, Malin?"
"Elena."
"Orang mana? Anak kampus sebelah mana? Bukan anak sini kan ya, gue nggak pernah liat dia berkeliaran di sini."
Steve melempari Jeremy dengan kentang goreng miliknya. Lelaki itu kedengarannya begitu penasaran dengan Elena, Steve was-was. Kesian kalau Jeremy embat juga, benar-benar tidak waras manusia satu ini. Tidak bisa melihat cewek bening sedikit, langsung ingin dimiliki. Dasar kadal!
"Kepo banget Bapaknya Malika!"
"Gue nggak terlalu merhatiin pas di acara kemarin. Secantik apa sih dia? Udah lupa gue sama mukanya, lo punya fotonya nggak?"
"Nggak ada. Udah, nggak usah aneh-aneh kenapa sih, Jer? Lo mau gue penggal kepalanya? Sudah gue bilang dia gadis baik-baik, nggak usah lo hancurin masa depan dia. Kesian anak yatim piatu, Jer, lo masih punya hati kan?"
"YANG MAU NIDURIN DIA SIAPA?" Andai bukan di kantin kampus--tempat ramai, sudah Jeremy meneriaki si Steve. Dia menajamkan tatapan, menekankan setiap kata pada kalimatnya. Geram, ingin mencekik Steve Baylor.
Steve tertawa. "Sabar, sabar. Muka lo kayak orang sembelit. Lawak banget sumpah!"
"Diam, nggak usah banyak ngeledek lo!" Jeremy mencomot kentang goreng Steve, memakannya dengan kesal. "Gue nanya baik-baik malah berakhir emosi, jangan uji kesabaran gue dong."
"Lagian buat apa sih lo tanyain dia? Kek ada urusan penting aja. Gue kalau urusan cewek sama lo susah percaya, mulut dan isi kepala lo bisa beda kapan aja. Lebih dominan jahat dan brengsekk sih, gue sampai hapal di luar kepala."
Jeremy memutar bola matanya malas. "Gue jengah banget ngomong sama manusia nggak waras kayak lo Steve, nguji kesehatan jantung. Mau bikin gue cepat stroke, huh?"
"Nggak usah, ingat kan lo belum nikah. Kesian Naomi, rugi banyak pacaran sama lo. Udah ditidurî dan diselingkuhi berkali-kali, belum diberi kepastian kapan nikah, masa ujung-ujungnya ditinggal? Hati lo dipakai ya, Jer, nggak usah kelewatan pinter!"
"Kayak hidup lo bener aja. Sesama sesat itu nggak boleh saling menghujat, nanti bingung Malaikat mau mencatat dosa kita dari sebelah mana."
Steve beranjak dari tempat duduknya. "Sudahlah, gue mau cabut. Ada banyak urusan, lo nggak usah ngintilin gue."
"Lo belum jawab tentang cewek tadi. Siapa namanya ... Elena?"
"Mau apa?"
"Kata Naomi dia mirip sama bokap, tapi cara dia menatap mirip nyokap gue anjirr!" Steve langsung tersedak, batuk sambil diucap-ucap punggungnya oleh Jeremy. "Kan lo kaget."
"Ngasal lo ya!" Steve menepis kasar lengan Jeremy, membesarkan kembali kemejanya. "Nggak usah mengada-ngada."
"Makanya gue pengen ketemu sama dia sekali lagi, mau memastikan mirip atau enggak."
"Salah liat kali Naomi." Steve mengambil tasnya, mendengkus. "Gue cabut, bayarin ya pesanan gue."
"Sialann, Steve. Katanya lo lebih tajir daripada gue, minum dan makan aja minta dibayarin!"
Steve mengacungkan jempolnya di atas kepala, tidak berniat menoleh pada Jeremy lagi.
"Steve, kamu mau ke mana?" Di area parkir, Vanesa melambaikan tangannya. Melangkah cepat mendatangi Steve.
"Pulang." Steve mengenakan helm, naik ke motor harley. Biasanya Steve lebih senang bersama motor sport hitam miliknya, tapi kali ini ingin mencoba motor baru hadiah dari Papanya.
Vanesa mengerucutkan bibir. Mungkin Steve sedang merajuk akibat Vanesa abaikan teleponnya tadi malam. Bagaimana bisa mengangkat, Vanesa sedang bersenang-senang bersama Vero. Dia berada dalam kuasa kekasihnya, tidak mungkin menerima telepon sambil mendesahh bukan?
Kemarin mereka sedang merayakan kesenangan, baru saja ganti status. Tidak lagi pendekatan, tetapi sudah menjadi kekasih. "Aku lagi bersama Vero tadi malam. Maaf ya."
Steve menaikkan sebelah alisnya, lalu menganggum saja mengiyakannya. "Aku mau ada urusan habis ini, nanti saja bicaranya." Akhirnya Vanesa mengangguk, membiarkan Steve melajukan motornya.
"Kenapa tuh? Ada masalah sama kalian berdua?" Carolina bertanya penasaran. "Cemburu kali Steve lo pacaran sama Vero. Kesian Steve lo php terus. Anak orang juga punya perasaan. Lama-lama kelakuan lo sama kayak Jeremy."
Vanesa memukul lengan Carolina. "Huts! Mulut lo ya. Jangan samain gue sama Jeremy, ogah banget. Gue sama Steve sahabatan, nggak ada perasaan apa pun. Jangan berlebihan deh."
Bianca memutar bola matanya jengah. Dia dan Carolina sebenarnya paham sekali bagaimana hubungan Vanesa dan Steve, hanya saja lebih banyak diam. Tidak mungkin cewek dan cowok jaman sekarang liburan berdua jika tidak melakukan apa pun. Apalagi Vanesa sudah ketahuan tidur satu kamar dengan Steve. Mereka sudah sahabatan lama sekali, tapi untuk urusan hubungannya dengan Steve, Vanesa masih begitu tertutup. Entah apa yang terjadi, semua orang pasti berpikiran yang tidak-tidak.
"Nggak usah pusing, ayo cabut ke rumah gue. Tugas hari ini banyak banget, karaokean dulu biar nggak stress." Anak-anak dalam circle mereka tajir melintir semuanya. Jangan heran kenapa di rumah Bianca tersedia ruang untuk karaoke. Tidak hanya itu, salon pribadi dan bioskop mini pun ada.
****
Saat melihat Steve mampir ke rumah makan tempat Elena bekerja, dia tentu saja mencari gadis itu. "Di mana Elena?" tanyanya pada Arya. Tidak ada basa-basi, langsung to the point. Steve emang minim sopan santunnya.
Arya tersenyum hangat, menyapa Steve dengan ramah sebagai pemilik rumah makan itu. "Minggu ini Elena kena shift malam. Ada yang bisa saya bantu? Atau mau langsung memesan meju?"
"Tidak. Tidak jadi, saya hanya ingin mencari Elena." Setelah itu Steve beranjak dari kursinya, melenggang begitu saja setelah mengulas senyum tipis. Daripada tidak ada tujuan jelas, mending Steve tidak jadi pesan. Perutnya sama sekali tidak lapar. Dia mencari Elena sebab ada yang ingin Steve bicarakan.
Steve masih memarkirkan mobilnya di halaman rumah makan, dia memilih jalan kaki memasuki gang kontrakan Elena. Sepertinya mobil saja tidak cukup masuk gang itu, hanya perkiraan Steve--soalnya kelihatan terlalu sempit.
Steve tidak perlu bertanya pada orang di sana yang mana kontrakan Elena, sebab dia sudah tahu. "Elena ...!" Steve naik ke teras menggunakan sepatunya, mengetuk pintu Elena beberapa kali.
Mendengar ada yang memanggilnya, Elena cepat-cepat menyelesaikan mandi. Dia melihat terlebih dahulu seseorang itu melalui kaca jendela, setelah itu mata Elena melebar sempurna.
"Ngapain lo ngintip-ngintip gue? Buka pintunya, gue mau bicara sebentar."
Elena terpaksa membuka pintu, mengeluarkan bagian kepalanya saja. "Tunggu sebentar, aku habis mandi. Masih handukan, aku pakai baju dulu."
Steve memutar bola matanya malas, kemudian terpaksa menunggu sebentar. Dari celah gorden kaca itu, dia dapat melihat tubuh Elena yang hanya terbalut handuk putih. Hei, gadis itu ceroboh sekali. Untung saja setelah mengambil baju dalam gantungan, Elena berpakaian ke dalam. Jika sampai Elena melepas handuk ya di sana, bisa menganga Steve.
"Masuk, Steve."
"Lepas sepatu kah?"
"Iya. Soalnya baru aja aku sapu dan pel lantainya." Melihat Steve sudah naik ke teras menggunakan sepatu, Elena geleng-geleng kepala. "Ada tangga di bawah, kok sepatunya naik ke teras? Semua sudah aku bersihin."
"Suka-suka guelah!" Melepaskan sepatunya, menyimpan pas di depan pintu Elena. "Tutup aja pintunya, masa iya dibuka gitu aja? Kalau ada yang dengar pembicaraan kita gimana?"
"Nggak bisa, nanti orang sini mengira yang tidak-tidak. Aku nggak enak, kamu cowok soalnya." Steve menghela napas kasar, terlalu banyak aturan--pikirnya. "Ngomong apa, Steve? Jangan lama-lama ya, aku sebentar lagi mau berangkat kerja soalnya."
"Dih serba salah gue. Tadi gue datangi ke rumah makan, lo nggak ada. Giliran gue samperin ke sini, lo mau ke sana."
"Makanya cepat ngomongnya."
"Gue numpang buang air kecil dulu, kebelet." Elena mengangguk, kemudian mengantar Steve ke dapurnya. "Betah lo diam di sini?" Elena kembali mengiyakannya. "Sempit banget, lebih besar ruang tamu gue."
Elena menatap malas, tapi berusaha mengulas senyum. "Iya, nggak pa-pa. Yang penting aku nggak kehujanan dan kepanasan. Sana masuk, mau pipiss 'kan? Jangan sampai kamu ngompol di celana, bahaya!"
Steve mencibir sebal, menyuruh Elena pergi dari depan kamar mandi sekalian wc itu. Selesai buang air, Steve kembali ke depan. "Kasur lo mana?" tanya Steve secara tiba-tiba setelah melewati depan kamar Elena. Kebetulan tadi Elena lupa menutup pintunya. "Tidur cuman pakai tikar lo?"
"Steve, kamu mau ngomong apa? Nanti nggak sempat kalau ngurusin tempat tidur aku."
"Ternyata lo beneran miskin banget. Ck, ck!" Menggeleng keheranan. "Nantilah gue beliin kasur, nggak tega gue liatnya."
Elena tersenyum. "Iya, makasih ya."
Steve mengangguk, duduk kembali sambil bersandar pada tembok. "Oh, gue mau bicarain Jeremy nih."
"Kenapa dengan Jeremy? Dia yang ulang tahun kemarin kan?" Steve mengangguk membenarkan. "Ada yang salah dari sikapku pas mabuk kemarin?" Langsung cemas, takut sekali jika sampai ganti rugi.
"Tidak. Tapi dia tanyain lo tadi."
"Tanyain soal apa? Aku nggak lakuin apa pun, beneran deh. Aku belum pernah ketemu Jemery ...."
"Jeremy!" ralat Steve cepat, Elena terkekeh geli. Dia selalu salah sebut.
"Aku belum pernah ketemu Jeremy setelah acara malam itu."
"Orangtua lo beneran sudah meninggalkan?" Elena mengangguk. "Lo beneran orang kampung kan?"
"Iya, Steve, iya."
"Tapi muka lo nggak meyakinkan."
Elena mengusap kening, kebingungan. "Maksudnya gimana, Steve? Aku nggak bohong, aku emang beneran orang kampung. Aku baru pertama kali ke Kota, ke sini. Aku sebatang kara, tidak punya keluarga."
"Coba nanti lo ikut gue ke rumah, biar ketemu sama nyokap gue dulu. Dia pasti bisa menilai lo gimana."
"Eh, jangan. Aku enggak enak, nanti jatuhnya kayak pengemis kalau aku datang ke rumah mewah kamu." Dia menundukkan kepala, seketika membuat Steve tertawa. "Aku terlalu miskin kayaknya menginjakkan kaki di sana. Jangan diketawain ih."
"Lebay! Tapi kalau lo emang merasa kayak pengemis, nanti gue kasih uang." Elena memukul lengan Steve, mengerucutkan bibirnya. "Oh, sudah berani lo mukul gue meski dalam keadaan sadar ya?"
"Elena, sudah siap?" Shofia berseru riang, menghentikan obrolan Steve dan Elena. "Eh ya Tuhan, ada Steve. Maaf mengganggu, lanjut aja ngobrolnya. Aku biar tunggu di sebelah dulu." Kembali balik kanan, menuju kontrakannya.
"Terus apa hubungannya aku dengan Jeremy, Steve?"
Steve memikirkannya terlebih dahulu, kemudian terdim cukup lama. "Nggak jadi deh, dia salah kayaknya." Salah sih kemarin Steve tidak mengamati secara jelas bagaimana wajah bokapnya Jeremy. Apalagi pria itu sangat jarang berada di rumah, kalau dari bingkai foto, sepertinya kurang mirip. "Sudah itu aja, gue balik dulu. Lo berangkat kerja aja, cari duit yang banyak biar nggak miskin banget gini. Nanti gue kirim kasur dan lemari, kesian lo tidur di lantai."
Elena terkekeh. "Baiknya, terima kasih ya."
"Alah, nggak usah lo muji-muji gue. Nggak suka gue dengernya."
"Aneh-aneh aja, dipuji kok nggak mau."
Selesai mengenakan sepatunya, Steve beranjak tanpa pamitan secara sopan. Elena menghela napas sambil geleng-geleng kebingungan. Dia masih tidak mengerti apa maksud dan tujuan Steve mendatanginya. Berbicara pun tidak sampai selesai, tiba-tiba sudah mengakhiri begitu saja.
"Elena, apa yang dia bicarain? Astaga, aku kaget banget liat ada dia di sini. Orang kaya ternyata mau juga mampir ke kontrakan sempit kita."
"Nggak tau juga, Kak. Nggak jelas apa yang dia omongin, aku bingung. Ya sudah, aku sisiran sebentar ya. Kita belum terlambat kan?"
Shofia menggeleng, menggoda Elena yang semakin dekat dengan Steve. "Jangan-jangan dia suka kamu. Habisnya kamu cantik banget sih, nggak heran kalau Steve jatuh cinta."
Elena menganga, mencubit Shofia pelan. "Kakak ih, nggak ada kayak gitu. Orang dia sejak awal ketemu sampai sekarang masih aja sering ngatain aku, suka dari mananya coba? Kami kalau ketemu selalu berantem, dia tetap bicara kasar dan seenaknya sendiri."
"Ah, kadang jatuh cinta itu dimulai dari rasa benci loh. Lama-lama jadi cinta." Menyenggol lengan Elena, menaik-turunkan alisnya.
****
Hayoloh, kira-kira ada apa nih? Ayo pecahkan teka-tekinya sekarang!
Maaf update malam, semoga tetap suka ya.