Setelah Elena pulang ke rumah, Shofia langsung mendatangi dan menutup pintu kontrakannya. Gadis itu nampak menyimpan banyak pertanyaan, membuat Elena bingung sendiri. Tentu saja Shofia merasa amat penasaran, dia takut Elena kenapa-kenapa saat dibawa Steve. Meski kelihatan lelaki itu tidak kriminal, bisa saja dia melakukan sesuatu dengan uangnya bukan? Jangan sampai Elena yang polos diracuni, Shofia tidak segan akan memukul kepala Steve. Persetann jika lelaki itu marah, Elena gadis yang baik, tidak untuk dirusak. Elena juga bukan barang yang bisa dipakai kapan saja, lalu setelah tidak berguna lagi akan disingkirkan. "Kamu ke mana semalam? Kok bisa-bisanya nggak pulang ke rumah? Dia nggak apa-apain kamu kan, Elena? Ya Tuhan, aku sampai nggak fokus kerja, mikirin keadaan kamu." Shofia membolak-balikkan tubuh Elena, mencecar khawatir. Membuat sang empunya kebingungan sambil mengerutkan kening. Elena masih mengenakan dress tadi pagi, dia menolak Steve membelikannya baju lagi, sudah terlalu banyak merepoti.
Elena mengangguk polos sekali, sambil bertanya-tanya. "Memangnya aku kenapa? Aku baik-baik aja." Shofia menganga, kemudian setelah menelisik tatapan Elena barulah menghela napas lega. "Aku tidur di apartemen Steve, terus bangunnya kesiangan sampai jam sembilan. Aku kemarin ke pesta ulang tahun teman Steve. Hem ... Jemery, eh Jeremy namanya." Dia kembali menautkan alis, tidak begitu yakin dengan nama Jeremy. Dia lupa nama persis lelaki satu itu.
"Kok bisa nggak langsung pulang? Kalian pulang subuh apa gimana?"
"Pestanya itu di tempat yang banyak banget lampu kedip-kedip, berisik banget musiknya di lantai bawah. Bikin sakit gendang telinga, tapi pas naik ke lantai dua sedikit lebih bersahabat. Aku nggak tahu pulang jam berapa, udah nggak sadar diri lagi." Shofia membelalak, Elena mengusap lengannya agar dia tidak mencecar dulu selama Elana menjelaskan. "Aku minum apa ya namanya, lupa. Pokoknya ada yang rasanya aneh, terus ada juga yang manis. Aku suka yang manis itu, aku minum banyak-banyak. Terus mabuk deh, kepala aku pusing banget." Elena terkekeh, seperti kejadian semalam tidak berarti apa pun.
Shofia memukul lengan Elena, membuat gadis itu mengaduh. "Itu perbuatan yang tidak baik. Jangan diulangi lagi. Untung Steve nggak ngapa-ngapain kamu. Bahaya kalau mabuk-mabukan, apalagi kamu pemula. Ya Tuhan, jangan terlalu polos Elena. Aku takut kamu dibodohi lelaki di luar sana, jangan terlalu baik juga ya? Kalau di ajak Steve ke club malam lagi, jangan mau. Di sana bukan tempat bermain, jauh-jauh dari dunia malam yang kayak gitu."
Elena mengangguk paham. "Aku juga sudah nggak mau lagi minum minuman aneh itu lagi, kepalaku rasanya mau pecah. Di sana penuh wanita yang berpakaian seksi, aku juga terpaksa mengenakannya. Steve yang belikan, tapi kata Carolina dan teman-temannya aku sangat cantik." Dia mengeluarkan gaunnya yang tadi malam Elena kenakan, memperlihatkan pada Shofia yang langsung membelalakkan mata. "Adem dipakai, aku suka. Lumayan buat tidur kan, tidak bikin gerah." Dan ya, konyol sekali. Elena tidak tahu saja berapa harga gaun itu, malah berencana menjadikannya baju tidur.
Shofia mengambil gaun itu, memasukkannya kembali ke dalam paper bag. "Tapi kamu tidak dipegang-pegang sembarangan kan selama di sana? Maksudnya kamu tidak diapa-apain 'kan, Elena?"
"Ya enggak, aku nggak mau. Steve juga nggak lakuin yang macam-macam, bisa kupukul dia. Aku cuman temenin dia datang ke acara itu, setelahnya pulang. Aku dikasih uang dua juta, dibelanjain gaun, sepatu tinggi, tas, dan baju ini. Oh ada satu lagi ... sebentar aku kasih liat." Membongkar tasnya, memperlihatkan ponsel yang Steve belikan untuknya. Masih ada kotaknya, belum Elena buang. "Lihat, aku sudah punya hp. Bagus kan bentuknya, sedikit beda dari punya Kak Shofia."
"What?!" Shofia memekik kaget, setelah itu menutup mulutnya yang menganga. Elena ikutan mengusap dadaa, terkesiap. "Dia beliin kamu ini?"
Elena mengangguk. "Katanya kesian aku terlalu miskin, jadi nggak bisa beli hp. Nggak pa-pa banget deh aku dikatain miskin terus, tapi dikasih semua kebutuhan aku, lumayan gaji di restoran buat tabungan. Kali aja habis ini aku bisa beli rumah, biar nggak ngontrak lagi." Lalu tertawa tanpa dosa, pemikiran yang cerdas.
"Kamu tahu berapa harga hp ini, Elena?" Yang ditanya menggeleng cepat, mengulas senyum.
"Paling dua atau tiga juta."
"Salah!"
Elena mengerucutkan bibir. "Terus? Sejuta ya harganya?"
"Dua puluh juta lebih!" Elena memekik kaget, memegangi dadanyaa yang langsung berdebar lebih cepat. Dia hampir saja kena serangan jantung, menggeleng tidak membenarkan. "Aku nggak bohong, kalau kamu tidak percaya, cek saja sendiri. Ini iphone 12 pro max. Biasanya yang pakai hp ini orang-orang kaya, yang punya banyak duit."
Elena tertawa. "Bohong. Nggak ah, nggak mungkin. Masa iya Steve belikan aku yang mahal gitu, mending buat cicilan rumah." Shofia mengambil kotak iphone itu, kemudian menyuruh Elena membaca. Shofia mencarikan harganya di internet, menunjukkan pada Elena. "Astaga, sayang banget dua puluh juta lebih cuman buat beli hp. Mending beli tanah buat bangun rumah."
"Kalau mau beli tanah, jual aja hpnya." Shofia tergelak, bercanda.
"Nggak, nanti Steve marah." Shofia mengangguk, untung Elena tidak mengiyakan ucapannya, bisa gawat. "Oh satu lagi, aku juga nggak ngerti banget sama si Steve, apartemen dia kan sudah sangat besar. Terus katanya rumah dia jauh lebih besar dari itu. Kamar tempat aku tidur tadi malam juga besar, tapi kata Steve kamar dia di rumah utama malah dua kali lipat lebih besar. Bayangin aja gimana kediaman orangtuanya, mungkin seperti istana kerajaan." Elena begitu antusias menceritakan kekayaan Steve, wajahnya begitu serius sekali. Sesekali dia geleng-geleng, merasa begitu heran dan penasaran juga bagaimana mewahnya kediaman Baylor.
"Beruntung banget kamu. Simpan hp ini baik-baik, jangan sampai rusak. Ini mahal banget, harus dirawat sebaik mungkin. Setelah ini, kamu juga harus lebih berhati-hati ya. Pokoknya jangan mau kalau diajak ke club, di sana berbahaya sekali. Aku percaya kamu akan menjaga diri, hanya saja kepolosan kamu kadang membuat aku nggak yakin. Kamu mudah banget dibegoin sumpah, takut kebaikan kamu dimanfaatkan oleh orang nggak bertanggung jawab. Pokoknya kalau Steve sudah macam-macam atau meminta imbalan dari kebaikannya, jangan kamu berikan. Langsung kamu tinggalin aja, nggak usah diladenin lagi. Aku takut banget, soalnya udah banyak kejadian yang seperti ini."
Elena nampak bingung, matanya menyipit untuk sekadar memahami ucapan Shofia. "Oke, oke!" Lalu jalan keluarnya hanyalah dengan jawaban singkat itu.
"Kamu tidak paham kan?"
"Aku paham, aku tidak boleh menyerahkan diri aku kan?" Elena mengangguk, menjentikkan jari. Shofia bingung mencari kalimat yang pas agar Elena tidak tersinggung. Tidak ada salahnya berjaga-jaga terlebih dahulu. "Aku melihat di club banyak sekali orang yang berciuman di bibir. Tidak di lorong menuju toilet, di tengah ruangan juga ada. Mengerikan, bibirnya sampai ditarik-tarik dan digigit gitu. Aku sebelumnya tidak pernah liat, tapi setelah tahu kemarin ... menakutkan."
Shofia menganga, mengusap wajahnya. "Terus kamu lihatin sampai mereka selesai melakukannya?" Elena mengangguk, sangat membekas dalam ingatannya bagaimana pasangan itu saling melumatt ganas. "s**t! Mantaplah, otak kamu mulai tercemari. Padahal baru sekali ke club, heran aku."
"Tenang saja, Kak, aku nggak ikut melakukannya. Selama di pesta aku hanya berdansa bersama Steve, itu juga cuman sebentar. Aku nggak bisa, hampir jatuh terus. Gimana sama Bu Riska, dia nggak marah aku libur kerja kan?"
"Tentu tidak, Bu Riska sangat baik. Tidak masalah jika kita mau ambil libur kerja, apalagi kalau alasannya sakit. Tapi ingat, meski ada ruang untuk mengambil libur, kita perlu tahu diri. Paling tidak sebulan hanya dua sampai tiga kali. Terkecuali memang sakit parah, kayak harus dirawat di rumah sakit, mungkin bisa lebih panjang waktu liburnya."
"Aku ngerti. Aku takut aja Bu Riska marah, apalagi aku anak baru. Steve sih resek, masa iya aku nggak dibangunin." Shofia tersenyum mengusap lengan Elena. "Ngomong-ngomong, aku mau mandi dulu deh. Udah lengket banget badan aku, tadi juga habis beberes di apartemen Steve. Tapi tenang aja, aku sudah beli makanan untuk kita berdua. Kak Shofia belum makan malam kan?"
Shofia menggeleng. "Baik sekali. Makasih sudah ingat aku dan belikan makan."
"Kak Shofia udah baik banget sama aku, iyalah aku bakal inget terus."
****
Nyonya Baylor masuk ke dalam kamar Steve, langsung menutup pintunya dengan cepat. Steve sedang duduk di ayunan balkon, sambil bermain gitar dan bernyanyi. Malam ini langit nampak cerah, sepertinya tidak ada tanda-tanda akan turun hujan. "Steve, Mama mau ngomong!" Datang secara tiba-tiba, membuat Steve terlonjak kaget. Lelaki itu sampai mengelus dadaa, menghela napasnya mencoba memaklumi lagi kelakuan ibunya. Selalu saja senang membuat keributan, tidak ada kalem-kalemnya kalau sudah behadapan dengan Steve.
Steve memutar bola matanya malas, menaruh gitar itu di sebelahnya. "Ngomong apa? Perasaan Mama ngomong terus, tadi di ruang makan juga berkicau banget. Aku pusing, suara Mama kayak terngiang-ngiang di kepala aku." Nyonya Baylor mengajar Steve duduk di kursi santai, tempat biasanya Steve dan teman-temannya nongkrong di balkon sambil menikmati suasana sore yang cerah.
"Kamu ngajak siapa ke apartemen?" tanyanya belum memberitahu apa pun, Nyonya Baylor memiliki bukti, Steve sudah tidak bisa mengelak. Untung saja suaminya belum liat, kalau tidak bisa kacau.
"Tidak mengakak siapa-siapa. Mama jangan ngaco, jangan menuduh sembarangan." Steve sudah was-was, dia tidak yakin Nyonya Baylor hanya menggertak dirinya. Mungkin ada seseorang yang melapor?
Nyonya Baylor menunjukkan sesuatu yang ada dalam ponselnya. "Jangan bohong kamu, Mama punya bukti. Siapa perempuan itu, Steve? Kamu jangan kurang ajar ya, nggak boleh tidur sembarangan, nanti nggak baik dilihat orang. Mungkin iya kamu sudah dewasa dan bisa hati-hati saat melakukannya, tapi bisa saja tiba-tiba kecolongan yang akan membuat perempuan itu hamil kan? Jangan gegabah, Mama nggak mau kamu melulai perempuan, apalagi sampai memperlakukannya secara rendah." Potret itu memperlihatkan Steve sedang melangkah bersisian dengan Elena menuju area parkiran.
"Sial!" Steve mengumpat kesal. "Aku nggak melakukan apa pun, terserah kalau Mama nggak percaya. Itu namanya Elena, dia gadis polos banget. Aku ngajakin dia ke pesta Jeremy tadi malam. Aku nggak ada pasangan, malu datang sendirian. Jadi ya sudah, aku bayar jasa dia. Karena dia kelewatan polos, nggak tahu apa itu minuman alkohol. Diajakin sama yang lainnya minum, dia memilih menegak tequila sampai mabuk. Katanya manis, dia suka."
"Astaga, Steve. Tapi nggak kamu apa-apain dia kan?"
"Nggaklah. Mama pikir aku tidak memiliki otak? Dia terlalu polos, kesian aku." Steve menaikkan bahu. "Dia sudah nggak punya orangtua, hidupnya sebatang kara di Kota ini. Makanya dia mau aku ajakin, karena butuh duit biar bisa ditabung untuk memenuhi kebutuhannya."
"Berapa usianya, Steve?" Nyonya Baylor mengerutkan kening, sedikit simpati dengan cerita Steve. "Dia kelihatan cantik, sayang sekali orang ini memotretnya dari belakang."
Steve mengambil gelas stehnya, menyeruput untuk membasahi kerongkongan. "Delapan belas tahun." Nyonya Baylor menganga, Steve terkekeh. "Kalau jelek aku tidak mungkin mengajak dia kumpul sama yang lainnya. Muka dia tertolong banget, makanya aku sampai nggak yakin dia asli anak desa tempat tinggalnya. Banyak anak desa yang cantik, anggun, tapi wajahnya tetap terlihat Indonesia. Kalau Elena ini wajahnya menurut aku kayak orang arab, tapi kata Naomi malah kayak orang Rusia. Wajahnya kayak familiar, entah mirip siapa."
"Benarkah? Seberapa cantik dia? Apa kulitnya sangat putih? Biasanya kalau orang Rusia memiliki kulit putih bersih, sesekali terkesan pucat." Steve menjentikkan jemarinya, mengangguk mengiyakan. "Kerja apa dia di sini?"
"Jadi pelayan di rumah makan. Dia terlalu polos, jadi sering banget nguji kesabaran aku. Sering aku katain ooń, dia nggak marah."
Nyonya Baylor memukul Steve, mendesis pada putranya yang sama sekali tidak sopan. "Siapa yang mengajarkan kamu senang mengatai orang seperti itu? Mama jewer ya telinganya!"
Steve kembali mengambil gitarnya. "Pembicaraan sudah selesai, dipersilakan Nyonya Baylor untuk meninggalkan kamar anaknya. Aku mau bersantai, jangan ganggu."
"Cih, kamu! Untung saja Mama yang bicara sama kamu perihal ini. Kalau ketahuan Papa gimana? Bisa diamuk kamu."
"Orang aku nggak ngapa-ngapain. Nggak mungkin aku ajak Elena pulang ke kontrakannya dalam keadaan mabuk, yang ada dia dikira perempuan nggak bener. Aku bawa dia ke unit biar aman."
"Ya sudahlah, awas saja kamu kalau bohongin Mama. Nakal itu boleh saja, tapi ingat batasan. Kalau bisa jangan nakal juga, tapi kamu udah terlanjur sih. Pusing Mama, mau istirahat dulu deh."
"Iya, istirahat yang banyak. Nggak boleh ngomel terus, nanti cepat hipertensi. Selamat malam, Ma. Nggak usah ngomel lagi."
Nyonya Baylor memutar bola mata jengah, mendengkus sebal. "Kamu jangan begadang, tidur secepat mungkin biar besok bangun pagi. Selamat malam."
****