**19 itu songolas**

1217 Kata
Reres kini berada di kamar bersama Bisma yang sibuk bermain ponsel. Bisma duduk di bawah, sementara Reres rebah di tempat tidur seraya memainkan rambut kekasihnya. Sejujurnya, ia cemas juga dengan keadaan rumah keluarga Yogi. Hanya saja Bisma.m melarang dirinya untuk menghubungi. Bisma mengatakan Reres pasti akan diminta kembali dan Bagus akan mengganggunya lagi. "Kak aku boleh kerja enggak sih? Deket-deket sini aja? Aku bosen di kamar terus," tanya Reres dan hanya mendapatkan gelengan kepala dari Bisma. "Kak, kalau aku hubungi Juna aja gimana ya?" tanya Reres lagi karena jujur ia khawatir dan benar-benar merasa tak enak juga kalau keluarga Yogi mencarinya. Bisma menoleh, melirik dengan tatapan tak suka. "Jujur sih, aku enggak suka kalau kamu bahas Juna. Tentang apapun itu." "Kakak jangan cemburu, aku sama Juna kan cuma teman aja. Kita saha—" "Diem, aku enggak mau dengar apapun lagi ya. Kamu tau kan aku cemburuan? Enggak capek kamu bikin aku cemburu?" Reres sebenarnya kadang kesal juga dengan sikap kekasihnya yang pencemburu dan buat ruang geraknya terbatas. Ia bahkan tak banyak bergaul karena Bisma yang melarangnya terlalu banyak bergaul dengan teman-temannya dulu. Bahkan ia juga menjaga jarak pada Juna karena tak ingin kekasihnya itu cemburu. "Kak aku enggak minta apa-apa. Aku cuma mau kasih kabar aja." Bisma merubah posisinya, memegang dagu Reres dengan tangan kanannya. "Gue enggak suka. Ngerti?" Reres coba melepaskan cengkraman tangan sang kekasih yang semakin menyakitinya. "Sakit Kak." Bisma kemudian melepaskan cengkraman tangannya. Dan kembali menatap ke depan mencoba mengalihkan rasa bersalahnya. Ia tak pernah meminta maaf jika melakukan itu pada Reres jujur itu buat hari Reres sakit. Tapi, ia lebih terluka saat tak bersama kekasihnya itu. Bisma seperti tak peduli dan merasa bersalah. Reres menatap Bisma. "Kakak, kakak merasa bersalah enggak sih setiap habis ngelakuin ini ke aku?" Bisma berdiri dengan cepat jelas ia marah. Lalu menatap Reres tajam. Selalu saja perihal kecemburuan buat amarahnya meluap. Ia selalu kesal saat Reres terlihat lebih memprioritaskan orang lain dibanding dirinya. Apalagi setiap kali kekasihnya dulu membicarakan tentang Juna yang seolah-olah bisa lebih mengenal dirinya. Bisa tidak terima, ia ingin jadi yang paling mengerti dan memahami Reres dan itu buat Reres berhenti membicarakan tentang Juna di depan Bisma dsm kini bahasannya adalah hal yang sama Juna, Juna dan Juna. Tentu saja itu buat ia semakin marah. "Lo emang nantang gue apa gimana?" Reres terdiam jujur ia takut hanya saja ia ingin sekali mendengar ucapan maaf dari Bisma. "Aku cuma mau kakak minta maaf. Aku enggak tau kenapa setiap aku ngomong tentang Juna kakak marah. Padahal cuma itu aja—" Ucap Reres terhenti saat Bisma membekap mulut kekasihnya buat Reres bergerak memberontak karena dadanya yang terasa sesak akibat tak dapat menghirup oksigen. "Lo ngerti disayang enggak sih Res! Kalau gue bilang diem tuh diem!" Reres mendorong tangan Bisma berontak sekuat tenaga saat cengkraman Bisma semakin keras di membekap mulutnya. Bisma melepaskan saat Reres meronta dan bersuara tak jelas. Reres menangis, Bisma mengacak rambutnya lalu segera memeluk kekasihnya itu. "Maafin aku Bee," ucapnya. Reres meronta berusaha melepas pelukan Bisma. "Kamu jahat banget Kak." "Maaf," ucap Bisma lagi sambil kecupi pucuk kepala Reres. Selalu seperti itu setiap kali ia melakukan kesalahan pada Reres ia akan meminta maaf saat sang kekasih sudah menangis. Bisma takut kehilangan Reres dan itu yang buat emosinya selalu tak baik. Meski seperti itu seharusnya memang ia bisa mengontrol amarah agar tak lagi menyakiti sang kekasih. *** Hari berganti menjadi pagi saat sinar matahari masuk melalui celah-celah jendela di kamar Juna. Ia tengah mengenakan kemeja untuk bergegas berangkat ke kantor. Seperti biasanya setelah berolahraga pagi menggunakan treadmill miliknya ia mandi lalu berpakaian untuk segera ke kantor. Apartemen miliknya sepi karena hanya yang tinggal sendirian di sini. Jika dipikirkan memang lebih nyaman saat ia tinggal di rumah Reina. Bahkan sang mami telah memikirkan akan membuat kamar untuk Juna. Tapi, Juna memilih untuk tinggal sendiri. Sulit untuknya terus bersama dengan Luna saat perasaannya tak baik-baik saja. Alasan ia mau belajar dan kuliah ke luar negeri juga katena agar bisa menjauh dan mengikis perasaannya pada adik angkatnya. Hanya saja, semua kembali sama saat ia kembali ke Indonesia. Hanya melihat senyum Luna saat pertama kali ia kembali dan bertemu lagi pertahanannya runtuh. Hatinya berbunga-bunga lagi, jantungnya berdebar cepat. Sejak itu Juna yakin perasaannya pada Luna masih sama. Ponselnya berdering, ia menatap nama Om Genta. Berarti itu adalah Tuan Genta ayah dari Biyan. Sebenarnya, ia malas sekali menerima panggilan itu. "Halo, iya Om?" "Juna, kamu berantem sama Biyan?" "Hmm, iya begitu Om," jawab Juna tak tau harus bagaimana menjawab pertanyaan itu. "Kalian kan udah sama-sama gede sama-sama dewasa udah lah jangan terlalu emosi." Genta berkata pada Juna. Sejujurnya, sering kali Juna putus dengan Biyan dan saat itu terjadi Juna akan diteror oleh orang tua Biyan agar segera berbaikan dengan putri bungsu mereka. "Iya, cuma memang Juna rasa Biyan sudah keterlaluan Om." "Maafkan Biyan, kamu tau kan dia memang anak bungsu. Kakak-kakak angkatnya semua memanjakan dia ya, jadi dia begitu sering egois. Juna, cuma kamu yang bisa buat mood dia bagus. Udah lebih dari seminggu ini dia manyun dan sedih terus." Juna sebenarnya kesal sekali jika Biyan terus berlaku seperti ini. Tapi, ia juga tak bisa menolak jika Genta terus memaksanya untuk terus bersikap baik pada anak gadisnya. Yang Juna ingin kan adalah, seharusnya Biyan tak bersikap seperti itu apalagi mereka bukan lagi anak remaja. "Om tapi, maaf—" "Om tau kamu anak baik dan om minta tolong kali ini maafkan Biyan." Sejujurnya ini menyebalkan sekali untuknya. Juna bergerak gelisah karena begitu kesal.. "Yaudah, nanti juga coba ajak Biyan ketemu." "Good, Good, om tau kamu anak baik dan selalu bisa diandalkan. Terima kasih ya Jun." Ucap Genta kemudian mematikan panggilan. Juna jengah ia duduk di tempat dengan kesal kemudian mengacak rambutnya. Seperti yang dikatakan Genta tadi kalau ia dan Biyan sudah dewasa dan tak seharusnya urusan seperti ini menjadi urusan yang juga diurus orang tua mereka. Ini adalah urusan keduanya dan harus dipikirkan dan dilalui keduanya tanpa campur tangan orang lain. Masalah seperti ini selalu berulang. Biyan memang selalu bertingkah dewasa apalagi masalah pekerjaan. Hanya saja untuk beberapa hal ia masih terus mengandalkan sang ayah. Saat itu ponsel Juna berdering lagi. Ia segera menerima, "Iya Om?" "Hei, hola Jun." "Res? Reres?" Juna menatap layar ponselnya mendapati nama Reres di sana. "Hmm, ini gue. Kenapa, Biyan lagi?" Suara gadis itu terdengar serak. "Lo okay?" Juna bertanya ia jelas khawatir suara sahabatnya itu jelas terdengar tak baik-baik saja. "Agak flu gue tapi, oke. Kasih tau yang lain gue baik-baik ya. Gue oke," kata Reres coba membuat Juna tak khawatir. "Res Lo di mana?" "Gue belum bisa kasih tau. Tapi, kalau suatu saat gue balik—" "Lo boleh dan harus balik. Gue nunggu lho." Juna menegaskan itu. "saat gue balik Lo udah harus bilang perasaan Lo ke Luna." Juna bahkan tak bisa tertawa saat ini. "Hei, Reres Lo oke kan?" "Hmm, oke. Udah ya Jun, Babay." "Reess! Reres!" Reres duduk di lantai bersandar pada tempat tidur. Pipinya merah akibat tamparan yang dilakukan Bisma pagi tadi sebelum akhirnya Bisma pergi untuk bekerja setelah lulus ia segera bekerja di perusahaan ekspedisi salah satu keluarga. Reres mematikan ponsel dan kembali mengganti nomor ponselnya. Air matanya masih menetes, ia dilema meski ia terus saja disakiti hatinya seolah tak bisa berpaling dari Bisma. Menurutnya Bisma baik hanya saja ia tak bisa mengontrol emosi saat ia cemburu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN