Amaya berlari keluar kamar hotel terkutùk itu dengan menangis sesenggukan. Memeluk tubuh bagian atasnya, Amaya berusaha menyembunyikan kekacauan penampilannya karena ulah si berengsek.
Wanita malang itu berjalan cepat menuju mess karyawan atau tempat tinggalnya kini yang terletak tak jauh dari hotel tempat si berengsek bermalam. Karena tadi si berengsek minta diantar ke hotel terdekat. Amaya jadi sedikit menyesal telah menuruti perintah si berengsek bila ujungnya seperti ini. Nahas sekali apa yang menimpa Amaya malam ini, walau belum sampai pada inti.
Tangis Amaya akhirnya berhenti dengan sendirinya saat hampir tiba di gerbang mess karyawan. Amaya tak ingin menjadi pusat perhatian teman-temannya, termasuk Nirina. Amaya malu pada apa yang baru saja didapatkannya dari si berengsek itu.
“May, dari mana aja sih!?” tegur Nirina dengan raut muka khawatir. Sepertinya Nirina sengaja menunggu Amaya di depan kamar mereka.
Wajar saja, jam dinding kamar telah menunjukkan pukul sepuluh kurang sepuluh menit.
Amaya mencoba menghindari tatapan Nirina, ia masuk ke dalam kamar seraya memberikan jawaban palsu. “Aku habis jalan-jalan, cari angin.” Lantas, berbaring begitu saja di atas kasur, membelakangi Nirina yang masih setia berdiri seusai mengunci pintu kamar ini. “A–aku tidur duluan, ya..”
“May, cuci tangan dan kaki dulu!” titah Nirina yang langsung mendapat gelengan kepala dari Amaya.
“Ngantuk, mau langsung tidur..”
“Dasar jorók,” olok Nirina, tapi tangannya tetap bergerak menyelimuti tubuh Amaya.
Setelahnya, Nirina mematikan lampu kamar ini. Ikut berbaring di samping Amaya dan berbagi selimut.
Sebenarnya, Nirina merasa ada yang aneh dengan teman sekamarnya ini. Sejak kembalinya Amaya tadi, Amaya kentara sekali menghindarinya. Amaya yang tidak biasanya jorók seperti ini, membuat dugaan Nirina semakin kuat.
‘Pasti ada yang enggak beres sama Maya. Sebenarnya kamu kenapa, May?’ batin Nirina bertanya-tanya.
Malam itu pun, Nirina tertidur lebih dulu karena lelah sekali setelah seharian bekerja di rumah makan SANJUNG RASA. Hal itu dimanfaatkan Amaya yang sebenarnya belum tidur. Ia hanya membual perihal mengantuk karena sampai dini hari rasa kantuk itu belum datang juga.
Mungkin karena Amaya merasa risih. Bagaimana bisa Amaya tidur dengan sisa-sisa jamahan si berengsek?
Maka saat itulah Amaya diam-diam menyelinap keluar kamar dengan membawa peralatan mandinya. Tak memperdulikan waktu yang memasuki dini hari, Amaya tetap pada tekadnya yakni, membersihkan diri.
Wanita itu berjalan mengendap-endap agar tak menimbulkan suara gaduh, menuju kamar mandi yang biasanya menjadi tempat antre di pagi hari. Tak peduli dengan suasana mess karyawan yang begitu sunyi nan sepi. Amaya melewati pintu kamar-kamar rekan kerjanya dengan hati-hati.
Saat ini, setán dan anak-anaknya tidak akan bisa membuat Amaya takut. Selain setán bernama Respati! Itu pun masih kerap Amaya tantang.
Di dalam kamar mandi, Amaya mengguyur tubuhnya dengan air dingin dan menggosok kasar bagian-bagian yang dijamah oleh Respati. Tak Amaya pedulikan dingin dan sakitnya, yang terpenting jejak Respati hilang saat ini juga.
Sambil menggigit bibir bawahnya demi meredakan isak tangis yang menyesakkan dadá, Amaya mengutùk Respati. Ia benci sekali dengan pria berengsek itu.
Lagi-lagi, Amaya Saditha kalah di bawah kungkungan Respati Ararya.
Seperti mengulang peristiwa kelam empat tahun yang lalu. Harusnya malam ini Amaya bersyukur karena Respati belum sampai di kegiatan inti.
Pria itu sepertinya masih ingin bermain-main dengan Amaya.
“Baiklah jika itu maumu. Akan kuturuti sampai kamu muak sendiri dan membebaskanku dari rantai kepedihan ini,” putus Amaya mengusaikan mandi dini harinya dan kembali ke kamar.
Akhirnya Amaya bisa tidur walau waktu tidurnya tersisa beberapa jam.
Sayangnya, Amaya tidak menyadari bahwa teman sekamarnya terusik dengan bau wangi yang menguar dari tubuhnya seusai mandi.
Diam-diam, Nirina terbangun tapi masih tetap mempertahankan posisi berbaringnya. Sehingga Amaya tidak curiga sama sekali. Kini justru Nirina yang dibuat curiga dan bertanya-tanya dalam hati, ‘Maya barusan mandi? Nanggung banget. Padahal sebentar lagi juga subuh. Kamu sebenarnya habis dari mana dan ngapain sih, May? Jangan bikin aku berpikiran negatif dong..’
Tidak ingin larut dalam pikiran negatif yang semakin menjadi-jadi, Nirina memaksakan matanya untuk terpejam kembali, meneruskan mimpi sampai nanti saatnya bangun dan menjalani aktivitas seperti biasanya.
***
Respati tidak bisa tidur sampai pukul setengah tiga dini hari.
Bayang-bayang dirinya mencumbù paksa Amaya, membuatnya setiap memejamkan mata selalu mengingat tangis dan ekspresi menyedihkan Amaya. Hal itu membuat dadánya sakit, bak tertusuk-tusuk benda tak kasatmata. Respati tak menyukai rasa sakit ini, baginya aneh.
Amaya yang merasakan. Mengapa ia juga harus merasakan? Sepertinya Amaya mempunyai ajian menularkan rasa!
Ada-ada saja Respati..
Dalam kejadian malam tadi, Respati tidak sepenuhnya bersalah. Ia masih ingat tawa puas Amaya seusai berhasil mengerjainya.
“Kenapa tadi bisa kelepasan, sih? Lagian, salah dia juga. Siapa suruh ngerjain pakai nasi goreng kematian itu? Rasanya burùk sekali.”
Hal itulah yang semalam membuat Respati berani mengerjai balik Amaya. Walau cara Respati berlebihan dan kentara sekali mengambil keuntungan pada moleknya tubuh wanita cantik yang dulu pernah ia tiduri.
Respati masih ingat bahwa dulu ialah yang pertama kali memasuki Amaya. Kala itu, Respati mendapati darah perâwan Amaya. Respati semakin bahagia kala itu karena berhasil menghancurkan Amaya yang lelah meronta di bawahnya.
Ternyata, Amaya belum sampai berjualan area bawahnya. Bukan berarti Amaya suci. Di mata Respati, Amaya tetaplah pemandu lagu istimewa di tempat karaoke plus-plus milik tantenya yang licik, yang empat tahun lalu turut ambil bagian dalam rencana jahât Respati membalas dendam seseorang melalui Amaya.
Respati menampilkan senyum miring setánnya. Lantas bergumam, “Berani berbuat harus berani bertanggung jawab, Amaya Saditha..”
Keesokan paginya, sekitar pukul setengah delapan, Respati sudah mandi dan bersiap-siap akan pergi ke rumah makan adiknya. Bukan untuk meminta makan. Tapi untuk melihat kondisi salah satu karyawan adiknya yang semalam sempat dikerjainya.
Harapan Respati, semoga wanita cantik bernama Amaya itu tidak sakit fisik dan libur bekerja.
Kalau itu sampai terjadi, sia-sialah pengorbanan Respati meninggalkan ranjang empuknya padahal matanya masih begitu pedas. Efek tidur hanya dua jam.
Respati mengenakan pakaian olahraga. Berlari kecil di pagi hari yang cerah ini dari hotelnya menuju rumah makan SANJUNG RASA.
Sebenarnya selain melihat kondisi Amaya, Respati juga belum menyerah untuk mengajak adiknya bekerja sama. Mau bagaimanapun, villa peninggalan orang tua yang dikelola Respati itu harus tetap berdiri dari generasi ke generasi. Lagipula, nama REST’Villa sudah cukup dikenal banyak orang. Meski penerusnya saat ini—Respati—jarang sekali terekspos di media. Hal itu sengaja Respati lakukan demi menjaga privasinya.
Tapi sepertinya Respati akan muncul secara terang-terangan untuk membantah berita hoax mengenai villanya yang berhantu! Respati yakin, itu hanya ulah segelintir orang yang merasa tersaingi karena REST’Villa banyak antrian penyewaan.
Setibanya di rumah makan sang adik. Ternyata situasi dan kondisi rumah makan masih sangat sepi. Banyak kursi yang belum diturunkan dari atas meja. Itu artinya, rumah makan ini masih belum buka. Wajar saja karena jam tangan mewah Respati masih menunjukkan pukul delapan kurang lima menit.
Respati berkacak pinggang, bertanya-tanya, “Sebenarnya rumah makanmu ini buka jam berapa sih, Dik?”
Akan tetapi, hal tersebut tak membuat Respati pergi. Ia malah menurunkan beberapa kursi dari atas sebuah meja. Kemudian, menduduki salah satu kursi yang diturunkannya.
Memainkan ponsel, agar tak terlalu sepi Respati memutar musik penyemangat pagi dan mendengarkannya melalui earphone. Respati mulai menikmati hawa sejuk di sekitar rumah makan ini.
Jalan raya di depan rumah makan ini tidak terlalu ramai, karena kawasan ini bukanlah kawasan kerja seperti kantor atau pabrik. Sehingga tidak ada polusi udara karena asap kendaraan.
Overall, rumah makan adiknya ini memang sangat strategis untuk makan dan bersantai. Tak heran bila banyak pengunjung yang datang dari berbagai kalangan.
“Maaf, Pak. Kami belum buka,” kata seorang pegawai wanita yang asing di mata Respati. Jelas, kemarin ia tidak ikut mengerubunginya saat insiden pemukulan terhadap Raiden.
Respati melepas sejenak salah satu earphone yang menyumpal telinganya. Mengulas senyum ramah, Respati menanggapi, “Tidak apa-apa. Tapi saya boleh ‘kan duduk manis di sini?”
“S–silahkan, Pak..”
Pelayan itu mempersilahkan dengan gugup. Lalu, berniat pergi.
“Tunggu, apa pelayan bernama Amaya ada?” tanya Respati yang sukses menghentikan langkah pelayan wanita itu.
Si pelayan wanita mengangguk dengan rasa penasaran yang begitu besar. “A–ada, Pak. Bapak ada perlu dengan Amaya?”
‘Ada hubungan apa Amaya sama kakaknya Pak Raiden? Wahh..gosip baru ini!’
Respati senang sekali mendengar jawaban itu dan langsung berpesan. “Iya, sampaikan padanya untuk membuatkan saya secangkir kopi yang tidak terlalu manis.”
“Baik, Pak. Mohon ditunggu..”
Pelayan wanita itu pun akhirnya pergi untuk menyampaikan pesan Respati pada Amaya. Tepat sekali, ia berpapasan dengan Amaya yang sepertinya hendak mengelap meja. “Amaya?” panggilnya. Kemudian langsung menyerocos, “Aku enggak nyangka ternyata kamu kenal sama kakaknya Pak Raiden yang kemarin buat onar. Kenal dimana?”
Untung saja di sekitar mereka sedang tidak ada rekan kerja yang lain. Karena semua sibuk dengan tugasnya masing-masing sebelum rumah makan dibuka.
Amaya berpura-pura bodòh. “Hah? M–maksud kamu apa, Ci, aku enggak ngerti.” Walau tak bisa Amaya pungkiri bahwa jantungnya berdetak amat kencang saat ini.
‘Petaka apa lagi ini ya Tuhan?’
Rekannya bernama CICI itu mengibaskan tangan di depan. “Halahh! Enggak usah pura-pura gitu, deh. Aku udah tau semuanya.” Ia tersenyum lebar sekali. Tidak tahu saja senyum lebarnya justru membuat Amaya semakin pucat.
“S–soal apa, Ci?” tanya Amaya mengulik informasi yang Cici ketahui.
Semoga Cici tidak mengetahui terlalu dalam. Amaya takut Cici akan menyebarkan gosip tentangnya di kalangan pelayan rumah makan ini. Apalagi, Amaya sebenarnya menghindari Cici dan beberapa rekan lainnya karena kerap bergosip.
“Pokoknya aku tau!” kukuh Cici sok tahu. Padahal Cici sebatas tahu bahwa kakak bosnya mengenal Amaya. Sampai berpesan agar Amaya membuatkan secangkir kopi sesuai seleranya. “Tapi udahlah, enggak usah dibahas, ada yang lebih penting daripada itu. Kakaknya Pak Raiden minta kamu buatkan secangkir kopi yang enggak terlalu manis. Sana buruan, May! Nanti ngamuk lagi orang itu.”
“Oh ya, pesanku. Karena kamu kenal kakaknya Pak Raiden, kamu harus pastikan rumah makan aman, jangan sampai ada kegaduhan lagi kayak kemarin. Bye!”
Usai berpesan seperti itu, Cici ngacir begitu saja. Meninggalkan Amaya yang kesal setengah mati karena lagi-lagi Respati mengganggunya. Tidak cukupkah gangguan hebat semalam? Astaga..leher dan dadà Amaya bahkan masih sedikit sakit akibat Amaya gosok terlalu kasar. Demi menghilangkan jejak Respati yang sialnya tetap terasa masih ada.
“Cici!?”
Teriakan Amaya tak Cici hiraukan sedikit pun. Membuat Amaya menggerutu kesal, “I–ini apalagi, sih? Masih pagi juga. Ya Tuhan..”
Amaya berjalan menuju jendela yang ada di dekatnya untuk mengintip dan memastikan keberadaan pria berengsek yang hobi mengganggunya itu. Setelah mengetahui posisi duduk Respati, Amaya segera membuatkan pesanan Respati. Meski tetap diiringi dumelan. “Ngapain dia pagi-pagi udah nongkrong di depan? Ganggu orang kerja aja!”
“May buruan!!” seru Cici mengingatkan agar Amaya segera menghidangkan apa yang Respati pesan.
Seruan Cici itu mendapat sorot penasaran dari beberapa rekan pelayan lainnya. Tak terkecuali Nirina yang langsung melempar tatapan bertanya pada Amaya. Tapi Amaya hanya menunjuk kopi panas yang sedang diaduknya dengan muka cemberut.
Pagi yang suram dan menyebalkan!
“Kopi pesanan Bapak. Kalau begitu saya permisi.” Begitu kata Amaya seusai menghidangkan secangkir kopi sesuai pesanan Respati.
Kali ini Amaya bersungguh-sungguh, membuatkan kopi sesuai pesanan. Pasalnya, ia masih trauma dengan akibat dari memberikan nasi goreng spesial pada Respati semalam. Maka pagi ini, yang normal-normal saja walau rasanya Amaya ingin mencakar-cakar wajah tampan pria berengsek itu.
‘Dia pasti tidur nyenyak semalam! Síalan memang!’
“Begini ya pelayanán di rumah makan ini? Burùk. Bintang dua.”
Komentar pedas Respati barusan membuat Amaya terpaksa menghentikan langkahnya yang hendak pergi. Sejujurnya, Amaya sedang menghindar. Tapi Respati selalu bisa menghentikan aksinya.
“Masih pagi, Pak. Mohon kerjasamanya untuk tidak membuat kegaduhan seperti kemarin,” ucap Amaya yang kali ini nada bicaranya lebih enak didengar.
Respati menoleh sambil tersenyum geli. Tumben sekali Amaya tidak mencak-mencak. “Makanya layaní yang baik, dong.” Kemudian pria itu mencondongkan tubuhnya ke depan guna lebih jelas memandangi wajah cantik Amaya pagi ini. “Apa perlu saya beri contoh, hm?”
“Berengsek.”
Respati terkekeh. Ternyata Amaya masih berani mengumpatínya. Di tempat kerja? Bahkan, pada pelanggàn pertama sepertinya? Keberanian yang patut diacungi jempol!
Tapi bukan Respati bila tidak bisa menghadapi kemarahan Amaya dengan manis. “Apa, Sayang? Barusan kamu bilang apa? Coba ulangi.”
Di sinilah, Amaya menyadari kesalahannya yang lagi-lagi dengan berani menantang Respati. Amaya menghela napas lelah, ia dengan berat hati mengalah karena posisinya. “Selamat menikmati kopi pagi tidak terlalu manis ini, Pak Respati. Semoga sesuai dengan pesanan Bapak. Kalau begitu, saya pamit undur diri. Masih ada banyak pekerjaan di belakang. Mari..”
“Nah begitu, dong. Kan kopi saya manisnya jadi PAS karena ditambah senyummu.”
‘TERSERAH!’
Langkah Amaya yang hendak menuju dapur dihadang Cici yang tiba-tiba menodong pertanyaan. “May, ada hubungan apa kamu sama kakaknya Pak Raiden? Aku dengar, dia manggil ‘Sayang’. Kamu sama kakaknya Pak Raiden..”
Amaya langsung menyahut, “ENGGAK, CI! Kamu salah dengar. Aku mohon, jangan sebarin berita aneh-aneh.”
Amaya yakin bahwa yang Cici dengar hanya percakapan saat Respati memanggilnya ‘Sayang’. Selain itu, entahlah telinga wanita centil ini pasti tersumbat! Termasuk umpatán Amaya pada Respati, Cici pasti tak mendengarnya.
“Yakin? Terus, gimana ceritanya kamu kenal kakaknya Pak Raiden?” Cici kepo sekali dan terus bertanya-tanya.
Terpaksa lagi-lagi Amaya berbohong seperti kemarin. “Kami teman lama. Soal panggilan ‘Sayang’ cuman candaan aja kok, Ci.”
“Yang bener?”
“Iya, Ci. Balik beres-beres, yuk! Pukul sembilan nanti ‘kan harus buka,” ajak Amaya yang sudah tidak betah diinterogasi.
Akan tetapi, menghentikan bibir lancip Cici yang terus mengoceh tidaklah mudah. “Tapi aku masih curiga.”
Sehingga Amaya juga harus menanggapi agar ocehan Cici tidak merembet kemana-mana. “Udahlah, Ci. Lupain aja! Enggak penting..”
“Gimana bisa lupa, May!? Kakaknya Pak Raiden manggil kamu ‘SAYANG’. Mana manggilnya mesra banget. Kegantengannya pas manggil ‘SAYANG’ itu loh bertambah berkali-kali lipat, May. Ya ampun..kamu yang dipanggil ‘SAYANG’, aku yang mabuk kepayang!”
Puncaknya, Amaya membekap bibir lancip Cici. “Sssttt..jangan teriak-teriak, Cici. Malu-maluin aja.”
Saat Cici bisa melepaskan bekapan tangan Amaya dari bibirnya, Cici langsung berkata dengan ekspresi bahagia luar biasa, “Ngapain malu, Maya? Ini tuh gosip terpanas pagi ini! Semua orang harus tau~”
“Cici!?” kesal Amaya.
Sampai tak menyadari bahwa keduanya menarik perhatian Raiden yang baru saja turun dari lantai dua.
“Masih pagi kamu sudah berisik sekali. Ada apa, Amaya?”
Selama ini, Raiden memang memutuskan tinggal di lantai dua. Toh, lantai dua merupakan area privat. Para karyawannya yang hendak naik harus atas seizinnya dulu. Jika tidak, siap-siap mendapat omelan darinya. Raiden memang baik, tapi bila karyawannya salah tetap saja akan mendapat hadiah berupa omelan darinya.
“Ada kakak Pak Raiden di depan! Terus tadi Amaya mmmmbbb..mmhhh.”
“Terus tadi saya sudah suguhkan sesuai pesanan Pak Respati, Pak Raiden. Kalau begitu, saya dan Cici ingin melanjutkan pekerjaan. Mari, Pak Raiden..”
***