Beby meraih tasnya. Menyangkutkannya di satu bahu. Ia berjalan keluar kafe. Yona, Findy dan Arsy mengiringi.
Langkah Beby terhenti saat seseorang menghadang di depan. Seorang cowok bertubuh tinggi, rambut agak panjang, seragamnya tidak rapi, kancing kemeja bagian atas terbuka, ujung kemeja tidak dimasukkan ke dalam celana, ujung ikat pinggang menjuntai ke bawah, dan mengenakan kalung bertali hitam dengan bandul berhuruf A. Aska.
“Pulang bareng!” ajak Aska dengan tatapan dingin.
Beby geleng-geleng kepala. Bingung. Apa maksud dari tawaran itu? Sejak kejadian kemarin tentang permen karet, Aska selalu saja menghadang langkah kakinya. Entah itu saat ia hendak ke toilet, atau ke kelas. Ingin ia menjitak kepala Aska. Sayangnya postur tubuh Aska jauh lebih tinggi dibanding dirinya. Akan sulit menjitak kepala itu.
“Aku nggak mau pulang.”
“Masih pakai seragam sekolah kok ngeluyur,” celetuk Aska sambil mengunyah permen karetnya. “Pulang dulu, tukar baju, baru kelayapan.”
“Lagian, kos-an ku deket, jalan kaki aja sampai. Minggir!” seru Beby.
Aska diam dan tidak mau minggir, matanya menatap tajam ke mata Beby tanpa ekspresi.
“Minggir!” ulang Beby.
Tatapan Beby yang membunuh tak lantas membuat Aska menyingkir.
“Kamu…” Aska menjulurkan tangannya, telunjuknya menyingkirkan segumpal poni yang menutup mata Beby. “Urusan kita belum selesai.”
Beby berpaling. Ia melewati samping Aska kemudian berlalu pergi, teman-temannya mengikuti.
Arsy melirik Aska saat melewati cowok itu.
“Ganteng!” lirih Arsy mengagumi wajah itu sambil mengedip ngedipkan mata dan membingkai pipi dengan kedua tangannya.
Aska yang mendengar bisikan itu pun menjawab, “Berani juga kamu bilang aku ganteng.”
Arsy menepuk mulutnya dengan muka memerah. “Lah, perasaan gue ngomong dalam hati, kok dia denger?”
“Jaim dikit napa, mulut lo bocor banget.” Findy menyenggol lengan Arsy kesal, muka cemberut.
“Sorry…” Arsy mengangkat dua jari.
Beby geleng-geleng kepala.
Langkah keempat gadis itu kembali terhenti. Kali ini bukan Aska yang menjadi alasan mereka menghentikan langkah, komandan mereka berhenti sehingga membuat yang lain ikutan macet.
Beby meraih ponsel, membaca chat masuk. Dari Pak David, guru olah raga. Tepatnya satu-satunya guru yang akhir-akhir ini sering mendekati Beby.
Temui saya sekarang.
Di ruangan seperti biasa.
Beby mengernyitkan dahi membaca chat itu. Nih cowok maunya apa sih? Setelah olah raga pagi tadi Pak David menghukumnya hingga nafasnya mengawang-awang, sekarang ingin bertemu. Iiiiihhh… Beby ingin mencukur rambut Pak David sampai plontos. Tapi faktanya, ia tidak bisa berbuat apa-apa. Takut nilai mata pelajaran olah raganya anjlok jika sempat macem-macem sama Pak David. Kalau itu terjadi, reputasinya bisa hancur.
Eh, Pak David menyebut kata ‘ruangan seperti biasa’. Ya, ruangan yang dimaksud adalah salah satu ruangan yang ada di gedung sekolah.
“Ada apa, Beb?” tanya Findy.
“Kalian tunggu gue di sini.” Beby berbalik, meninggalkan teman-temannya yang bertukar pandang.
Banyak pertanyaan singgah di kepala Beby tentang guru muda yang selalu memiliki berbagai kejutan itu. Apa yang ingin dia bicarakan?
Beby menyeberangi jalan, kembali ke gedung sekolah, menaiki anak tangga menuju ke lantai dua. Langkahnya terhenti di depan pintu ruangan khusus yang sering digunakan untuk membicarakan hal-hal penting yang bersifat privasi. Di sanalah guru BP sering melayani anak-anak yang curhat dan kemudian beliau memberi bimbingan pada mereka. Anak-anak sering menyebut ruangan itu dengan sebutan kamar curhat.
Beby mengetuk pintu.
“Masuk!” seru suara di dalam, terdengar menenangkan, bersahabat dan manis.
Pintu dibuka dan tampak Pak David duduk di sofa membaca sebuah buku. Lalu pria itu meletakkan buku ke meja ketika melihat Beby berdiri di ambang pintu.
Aroma wangi semerbak di ruangan yang akan Beby masuki. Tak lain aroma yang ditimbulkan dari parfum Pak David berputar di ruangan ber-Ac dan menyendut sampai ke rongga pernafasan Beby.
“Duduk!” perintah Pak David.
Langkah Beby pelan memasuki ruangan. Ia duduk di sofa depan Pak David. Awas aja kalau masih mau ngebahas soal keterlambatan masuk kelas tadi pagi. Beby membatin siap meluncurkan ancaman. Beby tadi sudah menerima hukuman, jangan lagi ditambah dengan protes bernuansa wejangan gombal. Huh.
“Beby…”
“Ya?” Beby menatap mata pria yang menjadi idola para siswi. Bukan hanya karena pria itu masih muda yang membuatnya menjadi idola, tapi dia juga suka menolong. Beby menunggu apa yang akan disampaikan pak David. Apa yang genting hingga Pak David memanggilnya disaat jam segini? Seluruh ruangan kelas sudah sepi, hampir tidak ada lagi penghuni.
“Kamu tau kenapa saya memanggilmu?”
Kening Beby berkerut tajam. “Mana saya tau. Kan Bapak yang memanggil saya. Apa ini masih soal keterlambatan saya pagi tadi?”
Pak David tersenyum tipis.
“Itu kan perkara kecil. Jangan dibesar- besarin, dong. Pliiiis…” lanjut Beby.
“Bukan. Bukan itu.” Pak David menghela nafas. “Kamu adalah gadis yang cerdas, kamu memiliki masa depan yang cerah dengan kepintaran mu itu.”
Beby terpaku. Kata-kata dan tatapan mata Pak David membuatnya merasakan hawa berbeda.
Ini kenapa situasinya jadi berubah aneh begini? Apa gue doang yang ngerasain? Pikir Beby semakin deg-degan mendapat tatapan berbeda dari mata gurunya.
“Beby, saya mencintaimu,” ucap Pak David dengan tatapan dalam dan bahkan tanpa berbasa-basi.
Spontan tubuh Beby membeku. Tenggorokannya serasa mengering. Setelah selama ini Pak David sering nge-chat dan mengajaknya bergurau via telepon, tak jarang video call, kini pria itu mulai berani bicara jujur. Mimpi apa Beby semalam? Ah ya Tuhan, seluruh siswa pasti mengharapkan kejadian seperti yang Beby alami saat ini. Itu pasti. Tapi yang Beby rasakan kini hanyalah kebimbangan, dan mulutnya justru membungkam.
“Beby…” panggil Pak David. Kali ini suaranya terdengar berbeda. Lebih syahdu. “Apa kamu mau menerima saya sebagai kekasihmu?”
Pertanyaan mematikan. Beby tak berkutik. Apa yang harus ia katakan? Terlalu indah untuk ditolak, namun hatinya masih bingung. Ia tidak memiliki rasa apapun terhadap guru muda itu. Hanya sebatas kagum. Ya, kagum bukan berarti memiliki perasaan spesial terhadap pria itu. Ia butuh waktu untuk menjawab, untuk memastikan isi hatinya.
“Maaf kalau saya lancang, bahkan seharusnya saya nggak patut mengucapkannya. Ini pasti kedengaran konyol dan nggak masuk akal, tapi inilah yang saya rasakan.”
Beby masih diam membeku. Bantu gue kasih jawaban, Tuhan. Beby membatin.