Terpaksa

704 Kata
“Itu tadi Riana jatoh dari tangga?” Beby mengedarkan pandangan ke tiga wajah sahabatnya. Tiga kepala di depannya mengangguk serentak. “Trus kita malah ninggalin dia?” Beby merasa sangat tol*l dengan apa yang sudah dilakukannya. “Mau gimana lagi? Findy tuh yang bikin Riana jatuh,” ucap Yona galak, melirik Findy tajam. “Kok gue yang disalahin? Kan elo yang ngejotos badan Riana.” Findy membela diri. “Kalo elo nggak narik-narik baju gue, mana mungkin bakal kejadian.” “Udah. Jangan berdebat!” Beby menengahi. “Lo mesti bertanggung jawab.” Beby menunjuk d**a Yona dengan telunjuknya. Ia menghela nafas. Mengingat nasib Riana, seakan-akan dirinya menjadi seorang penganiaya. Jika saja ia yang dikejar-kejar penjahat, mungkin ia tidak akan setakut itu. Tapi ini masalahnya justru dirinya yang membiarkan seseorang terkapar. Itu sama saja dia bersekongkol mencelakai Riana. Bagaimana jika Riana tidak bernafas lagi? Bagaimana jika Riana gagar otak? Bagaimana jika terjadi hal buruk pada Riana? Dan ia memilih kabur hanya karena takut menjadi saksi. “Lah, kok lo nyalahin gue doang? Findy tuh yang narik-narik baju gue,” pekik Yona tidak mau disalahkan. “Gue ngajak elo kabur karena gue nggak mau ambil resiko besar. Elo liat kan Riana tadi nggak bergerak? Kalo dia sampe kenapa-napa, kita dalam masalah besar.” “Bukan kita. Tapi elo,” pangkas Beby kesal. Kesal pada diri sendiri kenapa spontan menuruti Yona untuk kabur. Menyesal kenapa tidak memilih menolong Riana saja. Ya Tuhan, tidak pernah Beby merasa sebodoh ini dalam hidupnya. Masih terekam jelas di ingatannya bagaimana Riana terkapar dan tidak bergerak. Beby berbalik. Berjalan meninggalkan teman-temannya. “Kemana lo?” tanya Yona. Beby tidak menghiraukan teriakan Yona. Findy dan Arsy tampak ragu-ragu, ingin mengikuti Beby tapi tertahan oleh kebimbangan. Yona menarik tangan Findy dan Arsy. Mengajak dua gadis yang saling pandang itu berjalan menuju kelas. Di sepanjang balkon, mereka melintasi beberapa pintu kelas yang masing-masing kelas sudah diisi oleh guru yang mengajar. Beruntung, ketika mereka memasuki kelas, Pak David, guru olah raga yang mengisi jam pertama belum masuk kelas. Beby berjalan cepat menuju tangga yang ditinggalkan. Tubuhnya terpaku sejenak melihat lantai di ujung anak tangga, kosong. Riana sudah tidak ada. Kemana dia? Beby masih mengamati lantai dimana Riana terjatuh. Sampai kini ia tidak habis pikir bagaimana caranya Riana bisa pergi secepat itu. Beby menuruni anak tangga, mengamati sekeliling. Ia tidak menemukan apa-apa. Seluruh lorong, teras, balkon dan sekitar tangga terlihat sepi. Andai saja terjadi sesuatu yang buruk terhadap Riana, ia akan merasa sangat bersalah karena telah membiarkan Riana merasa kesakitan sendirian tanpa mendapat pertolongan Beby yang saat itu menyaksikan. Beby kembali menaiki anak tangga setelah melihat arloji di tangan. Sepuluh menit telah berlalu sejak bel berbunyi. Ia berlari menyusuri balkon. Melintasi beberapa pintu kelas. Beby dan ketiga temannya duduk tenang di sebuah kafe. Sengaja Beby mengajak ketiga temannya duduk di kafe sepulang sekolah dan masih mengenakan seragam sekolah. Kafe tersebut tak jauh dari gedung sekolah. Cukup hanya menyeberangi jalan saja, mereka sudah bisa duduk manis di sana menikmati jus sesuai selera. “Kalian harus ikut gue ngejenguk Riana?” ucap Beby tegas. Ketiga teman Beby bertukar pandang. “Emangnya elo tau rumah Riana dimana?” tanya Findy. Beby mengamati ekspresi teman-temannya yang terlihat tak menyetujui ajakannya, hanya karena alasan takut ketahuan. “Nggak tau alamat rumah bukan berarti jadi alasan untuk nggak ngejenguk Riana,” jawab Beby mulai kesal. “Gue udah tanya ke temen-temen dimana alamat rumahnya, kok.” “Gue nggak ikut,” jawab Yona cepat. “Gila lo ya, elo yang nyikut Riana malah nggak mau ngejengukin dia,” sela Arsy. Yona terdiam dan tidak bisa membela diri. Pagi tadi Beby mendatangi UKS setelah selesai jam olah raga. Ia menanyai pegawai UKS apakah Riana sempat memasuki UKS atau tidak. Dan pegawai mengatakan Riana sempat istirahat di sana. Ia dibawa oleh seorang siswa dalam keadaan tak sadar. Beberapa menit kemudian, Riana sadar, tapi mengaku sangat pusing. Kemudian ia diberi ijin pulang dan dijemput orang tuanya. Beby merasa prihatin mendengar kabar itu. Andai saja Riana tidak apa-apa, tentu gadis itu akan mengikuti pelajaran. Tapi pada kenyataannnya dia pulang. Ditengah rasa prihatin, Beby bersyukur karena ternyata keadaan Riana tidaklah separah yang ia bayangkan. Setelah perdebatan yang berjalan alot, akhirnya ketiga teman Beby mengangguk meski terpaksa.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN